Presidensi G20, Momentum untuk Melibatkan Negara Berkembang dalam Transisi Hijau

LPEM FEB UI
LPEM FEB UI adalah lembaga penelitian di bawah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia dan komunitas peneliti akademik terbesar di Universitas Indonesia.
Konten dari Pengguna
25 Agustus 2021 17:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari LPEM FEB UI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
JAKARTA, 24 Agustus 2021. Dalam pidato kenegaraan pada 16 Agustus 2021 lalu, Presiden Joko Widodo menekankan pengembangan ekonomi melalui penguatan ekosistem investasi perlu didasarkan pada inovasi dan teknologi, khususnya ke arah ekonomi hijau yang berkelanjutan. Untuk mencapai hal tersebut, Indonesia perlu memanfaatkan momentum kepemimpinan Indonesia pada G20 yang akan berlangsung pada tahun depan.
ADVERTISEMENT
Dengan ditunjuknya Indonesia sebagai Presidensi G20 pada tahun 2022, Indonesia memiliki kesempatan untuk mengangkat sejumlah isu strategis dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 yang diadakan di akhir tahun 2022. Transisi hijau menjadi salah satu isu strategis yang bisa diusulkan untuk dibahas dalam kegiatan tersebut. Transisi hijau merupakan salah satu bentuk transformasi ekonomi menuju ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat, tetapi juga ramah lingkungan, serta inklusif secara sosial.
Alin Halimatussadiah, Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM FEB UI dalam Webinar IISD (12/07) | Sumber: IISD
Alin Halimatussadiah, Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM FEB UI, mengatakan transisi hijau dalam KTT G20 diharapkan dapat menjadi cross cutting issues, bukan hanya sebagai satu isu tunggal tetapi juga termuat dalam isu-isu yang lain. “Misalkan ada working group terkait financing atau infrastructure, juga memasukan tentang climate and disaster resilience infrastructure, selain ada isu khususnya tersendiri seperti transisi hijau atau green economy,” terang Alin.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Alin juga mengingatkan bahwa dengan terpilihnya Indonesia sebagai Presidensi G20 di tahun 2022 dan Presidensi ASEAN di tahun 2023, Indonesia memiliki posisi yang strategis dalam menciptakan momentum untuk melibatkan negara berkembang lainnya yang posisinya relatif tidak begitu diuntungkan dalam akselerasi transisi hijau. “Ketika kita menjadi host kita punya relatif banyak suara di situ, (jadi) kita juga punya kesempatan untuk membawa suara negara berkembang terkait transisi hijau, bagaimana caranya negara berkembang itu bisa mendapatkan manfaat optimal dari transisi hijau.“ terang Alin
Alin juga menjelaskan terdapat banyak banyak aktivitas yang harus dilakukan di negara berkembang untuk mengejar ketertinggalan dalam melakukan transisi hijau relatif terhadap negara maju, salah satunya melalui kebijakan insentif dan disinsentif. “Yang kita bawa bagaimana caranya G20 juga memperhatikan kemampuan negara berkembang dan juga memperkuat kapasitas dari segala hal itu untuk melakukan transisi hijau, termasuk transisi hijau itu tetap mendukung Goals SDGs, tetap dapat mendukung pertumbuhan ekonomi, meningkatkan employment, inequality berkurang, dan mengurangi kemiskinan” jelas Alin. Maka dari menurut Alin dukungan dari negara maju sangat dibutuhkan untuk dapat mendukung pelaksanaan transisi hijau di negara berkembang. “Kita mendorong sama-sama kesana (transisi hijau), tapi juga jangan melupakan negara berkembang yang harus di-support karena kapasitasnya yang berbeda.” tegas Alin.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan kondisi di Indonesia sendiri, efektivitas sejumlah instrumen untuk mencapai transisi hijau di Indonesia dirasa belum maksimal. Alin menjelaskan di sektor keuangan Indonesia telah memiliki Roadmap Sustainable Financing dari tahun 2014 dan telah ada peraturannya sejak 2017. Tetapi memang sektor keuangan tidak dapat bergerak sendirian, terdapat juga peraturan tentang green bonds dan green sukuk, baik dari pemerintah maupun swasta. Namun memang skalanya masih kecil sekali, hal ini terkait dengan keseluruhan pengelolaan sektor keuangan di Indonesia. “Pekerjaan rumah yang saat ini kita hadapi adalah masih banyak unfamiliarity, market masih tidak familiar dengan bisnis green, masih banyak yang harus dilakukan, seperti edukasi bagaimana cara meningkatkan jumlah pelaku di green sector atau bahkan membuat dari brown (sector) switching ke green (sector),” jelas Alin.
ADVERTISEMENT
Alin berpendapat efektivitas instrumen yang diterapkan dalam rangka menuju transisi hijau di Indonesia sangat bergantung pada tingkat pemahaman publik terhadap instrumen-instrumen tersebut. “Pemerintah juga ketika meng-introduce policy, (melalui) instrumennya harus juga membawa semua stakeholders ke arah sana serta memberikan edukasi dan sosialisasi juga terhadap masyarakat (dengan) melihat peluang yang akan kita dapatkan nantinya,” tambah Alin. Alin juga menambahkan instrumen-instrumen yang digunakan harus bisa memberikan sinyal yang tepat kepada pelaku pasar, yang meliputi konsumen dan produsen. “Edukasi dan desain yang tepat menjadi hal yang sangat penting (bagi terciptanya instrumen yang efektif) .” tutup Alin.