Konten dari Pengguna

Universal Design for Learning sebagai Solusi Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

Maria Ardianingtyas
Maria Ardianingtyas, S.H., LL.M, Advokat dan Pemerhati Hukum di Indonesia www.malawfirm.net
24 Oktober 2024 17:52 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maria Ardianingtyas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Judul Asli: Universal Design for Learning sebagai Solusi Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Yang Benar-Benar Inklusif
Tutor sebaya berarti siswa mengajar siswa lainnya atau yang berperan sebagai pengajar (tutor) adalah siswa.
zoom-in-whitePerbesar
Tutor sebaya berarti siswa mengajar siswa lainnya atau yang berperan sebagai pengajar (tutor) adalah siswa.
Pendidikan inklusif berkualitas masih menjadi hal yang langka & mahal di kalangan orangtua anak berkebutuhan khusus. Bukan hanya soal kuota kelas di satuan pendidikan saja, tetapi juga jumlah guru pendamping khusus berkualitas juga masih terbatas. Belum lagi terbentur dengan keragaman kondisi peserta didik berkebutuhan khusus itu sendiri. Sehingga tak jarang, peserta didik berkebutuhan khusus yang memiliki hambatan ringan sampai hambatan sedang dijadikan dalam satu kelas oleh satuan pendidikan yang mengaku penyelenggara pendidikan inklusif. Alhasil perkembangan akademik peserta didik dengan kebutuhan khusus yang memiliki hambatan ringan tersebut menjadi terhambat. Salah satu penyebab munculnya hambatan tersebut adalah faktor lingkungan sekolah yang kurang mendukung perkembangan anak.
ADVERTISEMENT
Kesulitan anak berkebutuhan khusus yang memiliki hambatan ringan untuk mendapatkan akses ke sekolah reguler seolah menjadi ladang bisnis tersendiri oleh beberapa satuan pendidikan di Indonesia. Dengan biaya uang sekolah yang tinggi dan mutu pendidikan yang seadanya, orangtua yang sudah terbuai dengan judul Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif (“SPPI”), tanpa pikir panjang dan melakukan riset langsung ke sekolah tersebut, mendaftarkan anak berkebutuhan khususnya. Dengan harapan anak mereka bisa bersekolah dan berkembang dengan baik dengan sistem pendidikan dan kurikulum berkualitas yang sesuai dengan kondisi dan profil anak. Padahal satuan pendidikan yang menyatakan sebagai SPPI belum tentu benar-benar menyelenggarakan pendidikan inklusif yang sebenarnya. Mengingat saat ini memang belum ada keseragaman terhadap pemahaman definisi dari pendidikan inklusif itu sendiri yang menjadikan pengertian inklusif menjadi bias. Misalnya peserta didik dengan kebutuhan khusus ringan masih dibedakan kelasnya dengan pelabelan nama khusus dengan kelas regular peserta didik tipikal pada umumnya. Padahal yang namanya pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan yang sama kepada setiap anak untuk mendapatkan pendidikan tanpa memandang kondisi anak dan memungkinkan peserta didik berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah reguler. Sampai tulisan ini dibuat, belum ada baik aturan, standar acuan maupun pengawasan terhadap izin operasional dan pelaksanaan SPPI, sehingga semua sekolah yang merupakan SPPI bebas membuat kurikulum pendidikan inklusif dengan versi masing-masing.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana dikutip dari website disdik.depok.go.id dengan artikel berjudul “Pendidikan Inklusif”, yang dimaksud dengan Pendidikan Inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Dikutip dari kumparan.com dalam artikel yang berjudul “Arti Inklusif, Manfaat dan Penjelasan tentang Pendidikan Inklusif”, United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (“UNESCO”) telah mencanangkan pendidikan inklusif dimana tidak ada batasan akses terhadap pendidikan yang disebabkan oleh kondisi awal yang menjadi latar belakang seorang pelajar. Pendidikan inklusif berkaitan erat dengan sekolah inklusif. Sekolah inklusif merupakan sekolah dengan pendidikan terpadu yang berorientasikan pada anak yang berkebutuhan khusus. Sekolah inklusif menyesuaikan kebutuhan muridnya secara individu, mulai dari kurikulum, metode pembelajaran, sarana-prasarana, sistem pendidikan, hingga tenaga pendidiknya.
ADVERTISEMENT
Beberapa satuan pendidikan mengaku merupakan SPPI menyelenggarakan kurikulum pendidikan inklusif, namun faktanya sekolah tersebut tidak menyelenggarakan pendidikan inklusif dalam arti sesungguhnya, melainkan pendidikan integrasi. Karena sebenarnya sistem pendidikan integrasi dengan sistem pendidikan inklusif itu berbeda. Sebagaimana dijelaskan di website disdik.depok.go.id, pendidikan inklusif dirancang sesuai kurikulum dimana sebagian besar peserta didik berkebutuhan khusus dapat belajar di sekolah umum atau sekolah reguler dengan akses dan lingkungan yang kondusif, kemudian guru dapat memperkaya wawasan serta meningkatkan kreativitas dalam pengelolaan kelas inklusif tersebut, peserta didik lain atau siswa tipikal dapat menerima perbedaan yang ada dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi serta mampu menjalin persahabatan dengan peserta didik berkebutuhan khusus. Dan terakhir orangtua peserta didik berkebutuhan khusus merasa yakin bahwa anak mereka akan mendapatkan pendidikan dengan kurikulum yang lebih baik dan inklusif.
ADVERTISEMENT
Sedangkan sistem pendidikan integrasi adalah adanya pemisahan antara peserta didik tipikal dengan peserta didik berkebutuhan khusus ringan. Dimana peserta didik berkebutuhan khusus dari kondisi ringan sampai sedang disatukan dalam satu departemen pendidikan khusus di sebuah sekolah dengan murid-murid berkebutuhan khusus lain yang kondisinya lebih berat. Alasannya karena sistem di sekolah tersebut memang demikian, bahwa semua anak berkebutuhan khusus yang memiliki hambatan belajar berada di bawah satu departemen pendidikan khusus. Hal ini menyebabkan murid-murid berkebutuhan khusus ringan tersebut kehilangan waktu bersama dengan teman sebaya tipikal di kelas regular, dimana pertemanannya mereka hanya dibatasi sehari-hari bersama murid-murid dengan kondisi kebutuhan khusus lainnya. Padahal jika murid-murid dengan kebutuhan khusus ringan diberi kesempatan untuk bergabung di kelas regular bersama teman sebaya tipikal, bukan tidak mungkin mereka dapat mengejar ketinggalan mereka. Karena mereka punya potensi dan memiliki kemampuan belajar dan bisa bekerjasama dengan baik dengan murid-murid tipikal di kelas regular. Perlu diingat bahwa faktor lingkungan sekolah yang baik sangat mempengaruhi perkembangan anak. Jika murid-murid dengan kebutuhan khusus ringan dibedakan kelasnya yang diberi penamaan khusus dengan murid-murid tipikal di kelas regular, apakah masih bisa dikatakan inklusif?
ADVERTISEMENT
Penerapan kurikulum berbasis Program Pembelajaran Individual (“PPI”) tanpa standar tolak ukur yang jelas yang dibuat oleh pihak sekolah seolah menjadi tameng bagi sekolah tersebut untuk memberikan layanan pendidikan inklusif yang seadanya. Hal ini mengingat tidak ada aturan atau standar serta pengawasan dari Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi mengenai kurikulum PPI. Pihak sekolah seolah mempunyai otoritas dan legitimasi untuk mengatur masa depan muridnya berdasarkan label atau diagnosa anak tersebut. Orangtua yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup baik mengenai pendidikan inklusif mau tidak mau memasrahkan dan mempercayakan kurikulum PPI yang dibuat sekolah untuk anak mereka. Pihak sekolah juga tidak perlu bertanggung jawab atas masa depan pendidikan murid didik berkebutuhan khusus mereka, karena bisa berkelit bahwa memang anaknya yang belum bisa.
ADVERTISEMENT
Jika orangtua anak berkebutuhan khusus membaca penjelasan ini, sepertinya sangat ideal bagi anaknya bisa bersekolah di sekolah inklusif. Namun kenyatannya, PPI yang sifatnya individu itu bisa dijadikan sekolah untuk membuat penilaian yang mengada-ada dan tidak sesuai dengan fakta kondisi kemajuan anak. Pendidikan inklusif yang semestinya bisa mengoptimalkan hal-hal yang menjadi kelebihan seorang anak berkebutuhan khusus, bisa berpotensi menjadi batu sandungan akibat sikap diskriminasi pihak sekolah yang berlindung di balik PPI. Karena pendidikan yang tidak seragam, membuat pihak sekolah yang mengaku penyelenggara pendidikan inklusif bisa bersikap pilih kasih terhadap peserta didiknya.
Penulis sepakat dengan pendapat dosen senior Nur Azizah dari Universitas Negeri Yogyakarta dalam tulisan beliau yang berjudul, “Apa yang salah dalam penggunaan istilah inklusif di sekolah-sekolah Indonesia?”. Dimana di dalam artikel tersebut disebutkan bahwa misalnya di sekolah yang ditunjuk sebagai SPPI, inklusif hanyalah cara lain untuk menyatakan disabilitas atau kebutuhan khusus, termasuk juga hambatan belajar. Sebagai contoh, penyebutan inklusi pada sekolah inklusif berarti sekolah yang menerima penyandang disabilitas, dimana peserta didik penyandang disabilitas di sekolah reguler sering disebut sebagai “siswa/anak inklusif” atau penamaan dengan label nama kelas tempat mereka bersekolah sehari-hari, dan guru mereka disebut sebagai “guru inklusif”.
ADVERTISEMENT
Penulis juga sepakat dengan pendapat Nur Azizah yang menyatakan bahwa seharusnya baik pihak sekolah maupun guru memilih pendekatan yang dapat mengembangan komunitas belajar. Ini misalnya dengan menyediakan kesempatan belajar yang memadai bagi semua siswa di kelas, seperti menggunakan pendekatan Universal Design Learning (UDL). Sebagaimana diterjemahkan dari understood.org dengan artikel berjudul,”What is Universal Design for Learning (UDL),” yang ditulis oleh Amanda Morin, UDL adalah sebuah pendekatan dalam pengajaran dan pembelajaran yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua siswa untuk berhasil. Tujuan dari UDL adalah menggunakan berbagai metode pengajaran untuk menghilangkan hambatan dalam pembelajaran. Ini adalah tentang membangun fleksibilitas yang dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kebutuhan setiap orang. Itulah mengapa UDL bermanfaat bagi semua pelajar.
ADVERTISEMENT
Menurut Amanda Morin, UDL adalah sebuah kerangka kerja untuk mengembangkan rencana pembelajaran dan penilaian, yang pada tiga prinsip utama, yaitu
1. Keterlibatan
Carilah cara untuk memotivasi siswa dan mempertahankan minat mereka dengan beberapa contoh berikut ini:
- Biarkan peserta didik membuat pilihan,
- Berikan tugas yang relevan dengan kehidupan mereka,
- Buatlah pengembangan keterampilan terasa seperti sebuah - permainan,
- Ciptakan kesempatan bagi peserta didik untuk bangkit dan bergerak
2. Representasi
Tawarkan informasi dalam lebih dari satu format. Misalnya, instruktur dapat memberikan lembar kerja bersama dengan:
- Audio, yang dapat sesederhana mengucapkan petunjuk tertulis dengan lantang
- Video yang menunjukkan cara menyelesaikan salah satu soal
- Pembelajaran langsung
3. Tindakan dan ekspresi
ADVERTISEMENT
Berikan peserta didik lebih dari satu cara untuk berinteraksi dengan materi dan menunjukkan apa yang mereka ketahui. Sebagai contoh, mereka dapat memilih salah satu di antaranya:
- Mengerjakan tes dengan pensil dan kertas
- Memberikan laporan lisan
- Membuat video atau komik strip
- Melakukan proyek kelompok
UDL dapat membantu 1 dari 5 anak peserta didik dan orang dewasa yang belajar dan berpikir dengan cara yang berbeda yaitu:
1. Membuat pembelajaran lebih mudah diakses di ruang kelas pendidikan umum, di mana sebagian besar anak yang belajar dan berpikir secara berbeda menghabiskan sebagian besar atau seluruh hari sekolah.
2. Menyajikan informasi dengan cara yang sesuai dengan profil dan kondisi siswa, alih-alih meminta siswa untuk beradaptasi dengan informasi tersebut. Misalnya siswa dengan profil belajar visual akan diberikan materi pelajaran yang sama dalam bentuk visual.
ADVERTISEMENT
3. Memberikan siswa dan peserta pelatihan di tempat kerja lebih dari satu cara untuk berinteraksi dengan materi. UDL membangun fleksibilitas yang dapat memudahkan peserta didik untuk menggunakan kekuatan mereka untuk mengatasi kelemahan mereka.
4. Mengurangi stigma. Dengan memberikan berbagai pilihan kepada semua orang, UDL tidak hanya memilih beberapa orang yang menerima akomodasi formal untuk disabilitas.
Penulis yakin jika UDL digunakan dalam penerapan kurikulum pendidikan khusus untuk peserta didik berkebutuhan khusus ringan, maka besar kemungkinan mereka dapat mengejar ketinggalan akademik mereka dan bisa duduk setara sekelas dengan peserta didik kelas reguler. Karena dengan penerapan UDL, yang namanya pendidikan inklusif yang berkualitas dalam satuan pendidikan benar-benar akan tercipta nyata. Sekolah inklusif bukan sekedar jargon yang kenyataannya tidak inklusif karena hanya memberikan layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus namun dengan pemisahan kelas reguler dan kelas khusus. Isu diskriminasi juga akan dapat dicegah dengan tanpa adanya pembedaan atau pelabelan peserta didik berkebutuhan khusus ringan di dalam satuan pendidikan. Anak-anak berkebutuhan khusus ringan dapat bersekolah di sekolah reguler setara tanpa merasa dibedakan dengan siswa-siswi lainnya. Dengan demikian, maka prinsip ketiga “No One Left Behind” atau “Tidak Ada Seorangpun yang Tertinggal” yang merupakan bagian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dapat terwujud dengan baik.
ADVERTISEMENT
(sebagaimana dimuat di https://berandainspirasi.id/universal-design-for-learning-sebagai-solusi-penyelenggaraan-pendidikan-inklusif-yang-benar-benar-inklusif/)
Penulis: Maria Ardianingtyas, S.H., LL.M (Advokat Pemerhati Anak & Remaja)