Cak Rusdi Keburu Pergi, Tersisa Sesal Kini

Sattwika Duhita
Masih dalam proses belajar baca dan tulis.
Konten dari Pengguna
3 Maret 2018 13:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sattwika Duhita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cak Rusdi Keburu Pergi, Tersisa Sesal Kini
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Hari ini saya belajar, sekaligus tertampar hingga terkapar.
Di usia yang masih amat produktif, saya sudah mengidap satu penyakit luar biasa mematikan kalau tak segera disembuhkan: malas. Mageran, bahasa trendinya. Begitu malasnya kaki ini untuk bepergian barang seratus meter saja dari rumah. Jangankan bepergian, ambil air minum di dapur saja malas. Tak heran punggung sering ngilu dan bibir pecah-pecah.
ADVERTISEMENT
Sebetulnya, sudah ratusan kali saya dibunuh oleh penyakit ini. Namun, dari sekian kali pembunuhan, ada satu masa terbunuh yang selalu saya ingat dan sesali: tak (akan) pernah sempat bertamu, bertemu dan berguru pada Cak Rusdi Mathari.
Cak Rusdi, seorang yang baru sempat saya kenal namanya saja, embuskan napas terakhir, kemarin (2/3). Terhitung tiga tahun sudah beliau berjuang dengan keratan kanker dalam tubuhnya, hingga akhirnya menang mutlak sampai titik darah terakhir. Saya tidak pernah bicara langsung dengarnya. Jangankan ngobrol, bertemu saja tak pernah.
Kekaguman saya pada Cak Rusdi berawal dari membaca status Facebook mendiang. Alih-alih berisi curhat ala-ala yang acap diunggah para netijen, status Facebook Cak Rusdi berisi narasi segar nan pueenak dibaca--memantik diri untuk sejenak berpikir dan kontemplasi.
ADVERTISEMENT
Sesederhana status Facebook-nya, Cak Rusdi mampu membawa saya ingin tahu dan kenal beliau lebih dekat.
Tak dinyana, pintu perkenalan itu sempat terbuka lebar.
Hari Minggu, 4 September 2016 lalu, Post Santa--toko buku indie yang bertempat di Pasar Santa--adakan diskusi buku Aleppo garapan Cak Rusdi. Saya semangat bukan main untuk pergi. Sudah terbayang bagaimana serunya menjadi bagian dari obrol ngalur-ngidul bikin mikir khas cendekiawan saat itu. Agenda itu saya catat rapi di kalender personal, lengkap dengan pengingat nyaring di H-1 acara.
Saya pikir semangat untuk datang diskusi akan membara sampai hari H. Bukannya kian membara, antusiasme saya lantas keok pada pagi harinya.
“Pasar Santa jauh bener dari Bekasi,” pikir saya.
ADVERTISEMENT
Dan pastilah anda dengan mudah menebak apa yang terjadi selanjutnya: saya batal pergi, lalu sukses tidur nyenyak di lantai rumah yang anyep.
Sial.
(Monggo bersumpah serapah, sebab saya sudah lebih dulu sumpah serapahi diri saya.)
Namun tunggu, nyatanya Semesta begitu baik. Kesempatan buat setidaknya kenal dan dengar cerita Cak Rusdi secara langsung kembali datang--bahkan lokasinya jauh lebih dekat--setahun kemudian. Saya tak sengaja baca sebuah unggahan di Facebook yang mengabarkan kawan-kawan Cak Rusdi bakal buka kegiatan bertajuk Sore Bersama Cak Rusdi pada Sabtu, 14 Oktober tahun lalu, di daerah Jagakarsa, Jakarta Selatan. Dekat sekali dengan kosan saya di Pejaten. Jelas saja, saya begitu semangat untuk hadir di sana kala itu.
ADVERTISEMENT
Beberapa opsi kendaraan (termurah) sudah disiapkan, mulai dari rencana sepedaan hingga naik ojek daring dengan tarif paling rendah. Tak lupa saya tandai lokasi kegiatan di peta Mbah Google.
Sedang untuk pemanasan, saya baca kumpulan tulisan Cak di blognya rusdimathari.com yang eksentrik berjargon "karena jurnalistik bukan monopoli wartawan". Sungguh, hanya satu yang muncul di benak tiap kali membaca tulisan mendiang: wong iki ora tau nulis elek (orang ini tidak pernah jelek tulisannya.)
Pemanasan ini saya lakukan untuk menjaga semangat menyambangi temu seru dengan Cak Rusdi di Sabtu sore. Saat itu, saya hanya berpikir tak mau hilang kesempatan untuk bersua dengan sang master. Semangat itu terus membara, hingga tiba hari H….
Matahari keruan teriknya. Sialnya lagi--kalau memang ini pantas dianggap kesialan, cucian saya menumpuk dan hari itu bisa jadi satu-satunya hari baik untuk menjemur pakaian sebab musim hujan sudah tiba. Maka, dengan seluruh tumpukan cucian dan kesialan, saya membiarkan diri terbunuh oleh penyakit kronis: mager, dan memutuskan batal pergi.
ADVERTISEMENT
Sial. Sial. Sial.
Sabtu sore itu malah saya habiskan dengan asyik berdendang di halaman kosan, sambil menjemur puluhan potong pakaian yang sudah menggunung. Sungguh, pepatah sesal datang di belakang itu memang sahih. Saya tersentak saat mendengar kabar kembalinya Cak Rusdi ke Rahmatullah. Sesal merundung dan tak segera pergi.
Dua kali sudah kesempatan terbuka untuk saya bisa bertemu dan belajar dari Cak Rusdi, dan dua kali pula saya campakkan hal baik itu. Sesal. Dan, ya, sial.
Kepergian Cak Rusdi menjadi toyoran kencang bagi saya yang mengajarkan satu hal: mager pangkal hilang ilmu.
Sebab begitu malas, kamu bisa saja gagal berilmu.
Cak Rusdi sudah keburu pergi, dan saya baru menyesal kini. Terlepas dari semua sesal dan sial, kepergian Cak Rusdi menjadi tamparan yang mengingatkan saya untuk terus berjuang sembuh dari penyakit malas kronis.
ADVERTISEMENT
Ah, selamat jalan, Cak. Belum sempat saya jabat tangan Cak Rusdi. Namun, bisa saja tiba suatu masa saya boleh bersua dan berguru pada Cacak. Siapa tahu. Semoga.