Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Napas Ibu Tien Soeharto dalam Miniatur Nusantara
28 April 2017 10:31 WIB
Diperbarui 30 April 2020 8:18 WIB
Suatu hari di kawasan Jakarta Timur. Anak-anak sekolah sibuk menghabiskan waktu study tour di Keong Mas—gedung teater berbentuk keong mas raksasa.
Hari itu, sebuah film pendek bertajuk Indonesia Indah diputar. Sudah usang memang. Toh, itu tak menghentikannya diputar. Film itu sudah menjadi roh Keong Mas.
Berjalan sedikit keluar dari area Teater Keong Mas, pengunjung disambut dengan ragam keyakinan di Indonesia yang dihadirkan dalam rupa tempat ibadah masing-masing. Masjid, klenteng, wihara, dan gereja berjejer rapi berdampingan.
Nampaknya, Taman Mini Indonesia Indah mampu menghadirkan sebuah imaji Indonesia yang begitu indah: damai, tenang, minim perkara.
Walau nyatanya, sejarah panjang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pekat dengan prahara politik dan pertentangan—sebuah kenyataan berbeda dari Indonesia yang dihadirkan oleh taman itu sendiri.
Taman Mini Indonesia Indah (TMII) didirikan sebagai implementasi ide Ibu Tien Soeharto yang ingin memiliki cagar budaya etnik Indonesia. Taman seluas 150 hektare itu digarap untuk menghadirkan wajah Indonesia yang penuh ragam budaya.
Ide besar TMII berawal dari Ibu Tien yang berpendapat bahwa Indonesia membutuhkan sebuah landmark yang khas Indonesia. Menurutnya, landmark tersebut harus mengandung nilai-nilai budaya Indonesia.
Satu kali, Bu Tien pergi ke Disneyland California, Amerika Serikat. Di sana, Ibu Tien terperangah akan kemegahan wahana bermain impian tersebut.
Ibu Tien sadar betul Disneyland mampu memberi gambaran mengenai bangsa Amerika Serikat dengan tepat. Akhirnya, Ibu Tien membawa inspirasi yang ia dapatkan selama di AS itu ketika kembali ke tanah air.
“Dengan demikian, taman ini sekaligus menjadi tempat rekreasi yang sehat; suatu kebutuhan yang makin menjadi bagian dari kehidupan masyarakat modern,” ucap Ibu Tien dalam pidatonya, seperti tercantum dalam biografinya yang berjudul Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia.
Sebuah gagasan yang terdengar begitu manis, namun memicu gejolak di tengah masyarakat.
Ide mengenai TMII dikuliti dan dibabat oleh kalangan mahasiswa. Mereka mengklaim, tak ada gunanya membangun TMII. Bagi para mahasiswa, proyek TMII hanya akan menggembosi anggaran untuk rakyat.
Namun gejolak itu mampu diredam oleh pemerintah dengan cara membentuk Panitia Khusus DPR yang berwenang membentuk public hearing untuk mendapat masukan dari berbagai lini.
Upaya tersebut berhasil. Pada 7 Januari 1972, Bu Tien bertemu dengan mahasiswa guna menyampaikan gagasannya secara lengkap. Seluruh masukan dan komentar publik yang ia terima lantas dirangkum oleh panitia khusus menjadi memorandum berisi 13 kesimpulan.
Aksi unjuk rasa berhenti setelah memorandum dikeluarkan. Proyek TMII berjalan lancar.
Taman Mini Indonesia Indah bukan satu-satunya tempat yang membangkitkan memori tentang Ibu Tien.
Masih ada lainnya, semisal Rumah Sakit Harapan Kita.
Rumah Sakit Harapan Kita di Jakarta Barat berdiri pada 22 Desember 1979, digagas Ibu Tien, dan ditujukan untuk melayani anak dan persalinan.
Kala itu, angka kematian anak dan ibu di Indonesia tinggi dan menimbulkan keprihatinan Ibu Tien. Ia berniat menekan angka tersebut, dan akhirnya dibangunlah Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita yang menjadi bagian dari nawaitu Ibu Tien untuk menekan angka kematian ibu dan anak.
Rumah sakit itu semula dikelola di bawah koordinasi Yayasan Harapan Kita, dilandaskan pada gagasan bersama bahwa anak-anak adalah tunas bangsa yang dapat mengangkat derajat bangsa Indonesia di masa yang akan datang.
Presiden Soeharto, sebagai pemimpin negara yang juga suami bagi Ibu Tien, meresmikan rumah sakit tersebut.
Dua buah prasasti dengan tanda tangan Soeharto dan Ibu Tien ditempatkan di rumah sakit itu.
Pada 1998, pengelolaan RSAB Harapan Kita resmi diserahkan ke pemerintah, sehingga badan hukumnya berubah menjadi Perusahaan Jawatan.
Tangan Bu Tien tak berhenti pada TMII dan RSAB Harapan Kita.
Jika anda kebetulan lalu-lalang di Jalan Salemba Raya menuju Jatinegara, berdiri sebuah bangunan yang berdampingan dengan Kementerian Sosial. Gedung itu adalah Perpustakaan Nasional yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 11 Maret 1989.
Seperti Taman Mini Indonesia Indah yang dibangun dan dipersembahkan untuk Indonesia, Ibu Tien kembali menggagas pembangunan Perpusatakaan Nasional, dengan harapan dapat membawa manfaat untuk bangsanya.
Ide dan gagasan itu datang ketika Ibu Tien membaca surat kabar pada bulan Oktober 1968 yang berisi informasi pameran surat kabar di Perpustakaan Museum Pusat.
“Berita kecil itu menarik perhatian saya, dan mendorong saya datang ke Museum Pusat untuk menyaksikannya,” kata Ibu Tien.
Kondisi perpusatakaan saat itu masih jauh dari layak. Badan pengelola dengan jabatan eselon pun tak ada di sana. Fasilitas perpustakaan masih jauh dari kata baik.
Mastini Hardjoprakoso yang saat itu menjadi Kepala Perpustakaan Museum Pusat kerap tercekat karena minimnya perhatian rakyat dan negara terhadap gedung yang sesungguhnya berisi sejarah dan arsip penting itu.
Rasa kalut pekat yang dirasakan Mastini akhirnya sampai ke telinga Ibu Tien. Tanggal 8 Oktober, Bu Tien datang untuk menengok langsung kondisi perpustakaan itu.
Mastini sontak penuh rasa bahagia. Perpustakaan itu berdiri apa adanya, pengap, lembab, berisi deret jurnal dan dokumen yang sudah begitu lama, sehingga menambah kesan tua dan usang pada keseluruhan bangunannya.
Tahu betul bahwa gedung itu harus dirawat, Ibu Tien bersama Yayasan Harapan Kita memutuskan untuk membangun gedung baru bagi Perpustakaan Nasional.
Rangkaian pembangunan baru berjalan tahun 1985, setelah lebih dulu melalui proses rancangan pendanaan dan lahan yang diperlukan.
Tiga tahun gedung itu dibangun, lalu diresmikan pada 1988 oleh Presiden Soeharto.
Bu Tien seorang yang mahir menggalang dana. Suatu hari, ia menggagas pertemuan antara Presiden Soeharto dengan papra konglomerat di Istana Bogor. Ratusan pebisnis kelas atas memadati Istana Bogor. Disuguhi tari jaipongan yang gemulai, hati mereka terhibur.
Saat itulah Ibu Tien memulai proses negosiasi dan penggalangan dana. Ia berhasil mengumpulkan Rp 9,6 miliar dari 246 pengusaha. Dana itu lantas disalurkan untuk panitia Dana Gotong Royong Kemanusiaan guna menolong korban banjir di Bandung Selatan.
Untuk anda yang mendadak rindu sosok Bu Tien, bolehlah menyambangi Museum Jaten di Karanganyar, Jawa Tengah—daerah kelahiran Bu Tien.
Tempat itu, yang juga rumah Tien cilik, menyimpan sirat dan surat Ibu Tien di dindingnya. Diresmikan tahun 1992, Museum Jaten berdiri guna mengingat tanah kelahiran dan tempat kelahiran Ibu Tien.
Rumah tersebut berdiri di tanah seluas 100 meter persegi. Di sana, Bu Tien merenda masa kecilnya sebagai seorang anak kepala desa.
Tak jauh dari rumah itu, terdapat sebuah sumur yang disebut Sumur Fatimah. Lubang tua yang berumur lebih dari 100 tahun itu menjadi sumber air yang menghidupi keluarga Ibu Tien dan beberapa rumah setempat lain.
Tepat di lokasi rumah tinggal Ibu Tien, teronggok sebuah prasasti yang beratnya lebih dari 10 ton. Batu prasasti itu dibawa dari Kecamatan Matesih. Bongkahan batu tersebut menyuratkan kisah, kenangan, dan pesan manis kehidupan sang Ibu Negara.
Sudah lama sejak Ibu Tien berpulang. Namun wujudnya dapat dilihat dalam berbagai bangunan yang lahir dari gagasan-gagasannya.
Hendak mengenang atau tidak sosok seorang Siti Hartinah, itu terserah anda.
Dari berbagai sumber