news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Aku Bangga Menjadi ASN (2): Pasang Surut Kehidupan, Nikmati Saja

Maria Sihotang
ASN, Pengawas Farmasi dan Makanan Ahli Muda, staf penguji Kelompok Substansi Pengembangan Pengujian Mikrobiologi dan Biologi Molekuler, Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional, Badan POM. S1 Biologi USU, S2 Bioteknologi ITB.
Konten dari Pengguna
13 April 2021 11:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maria Sihotang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penjual Rujak di Pinggir Pantai Natsepa Ambon (Foto dok pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Penjual Rujak di Pinggir Pantai Natsepa Ambon (Foto dok pribadi)
ADVERTISEMENT
Masih lekat dalam ingatanku, Sabtu 10 Januari 2004, setelah seminggu mengikuti pembekalan di BPOM pusat aku harus berangkat ke Ambon. Kala itu aku berangkat berdua dengan seorang teman yang juga ditempatkan di Ambon. Keberangkatanku saat itu dapat dikatakan nekat.
ADVERTISEMENT
Aku tidak seberuntung temanku ini. Temanku sudah mendapatkan tempat indekos yang dicarikan oleh kenalannya di Ambon. Tapi yang membuatku semangat karena dia mengizinkan aku untuk tinggal bersamanya hingga aku mendapatkan tempat tinggal.
Sensasi menjadi perantau
Namun semua itu hanya sebatas angan. Karena setibanya di Ambon, ternyata pemilik indekos tidak mengizinkan 1 kamar dihuni oleh 2 orang dan mereka tidak memiliki kamar kosong lainnya untuk bisa aku tempati. Aku diberi waktu 3 hari untuk mendapatkan tempat tinggal.
Setelah beberapa waktu tinggal di Ambon, aku baru tahu bahwa saat itu, umumnya masyarakat di Ambon masih trauma dan menyimpan kekhawatiran untuk menerima pendatang di rumahnya. Ambon saat itu baru pulih pasca kerusuhan yang pecah di tahun 2009.
ADVERTISEMENT
Malam itu aku tak dapat memejamkan mataku. Aku tidak ingin memberitahu bapak dan ibu mengenai keadaanku. Takut kalau mereka mengkhawatirkanku berlebihan. Aku merasa sebatang kara.
Aku membayangkan jika dalam 3 hari aku masih belum mendapatkan tempat tinggal, maka aku harus hidup menggelandang dengan menyeret koper berat setinggi pinggangku.
Air mataku mulai berjatuhan.
Aku menenggelamkan diri dalam doaku yang khusyuk malam itu. Kemudian aku mulai menyusun rencanaku untuk mendapatkan tempat tinggal. Ada 2 rencana yang terpikirkan olehku.
Rencana pertama, karena aku tidak mempunyai kenalan di tempat ini, maka aku harus mencari kenalan. Tapi aku harus hati-hati juga, jangan sampai kemalanganku ini dimanfaatkan oleh orang jahat. Aku berencana mengikuti misa minggu pagi, lalu setelah misa aku akan menemui pastor paroki atau suster ataupun pengurus gereja yang dapat kutemui. Aku berharap mereka bisa memberikan solusi untukku.
ADVERTISEMENT
Rencana kedua, jika aku tidak mendapatkan jalan keluar dari rencana pertamaku, maka aku akan minta tolong pada teman-teman di BPOM Ambon. Namun hal ini baru bisa dilakukan pada hari Senin. Kemungkinan terburuk yang terpikirkan olehku adalah aku harus tinggal di kantor sementara waktu hingga aku dapat menemukan tempat tinggal.
Akhirnya Tuhan Kembali mengulurkan tanganNya untuk menolongku. Aku diizinkan tinggal di sebuah biara kecil dekat kantor bersama suster-suster.
Aku menjalani hari-hari sebagai CPNS dengan penuh semangat. Dan semakin hari semakin betah dengan keramahan masyarakat Ambon. Masyarakat Ambon benar-benar ramah, dan aku sangat tersentuh.
Suatu malam di bulan April, aku seperti mendengar suara petasan bersahut-sahutan. Aku bertanya-tanya dalam hati ada apa. Pagi hari saat keluar rumah aku baru menyadari bahwa yang kudengar sepanjang malam adalah suara tembakan dan bom. Dapat kulihat di kejauhan asap mengepul di banyak titik.
ADVERTISEMENT
Aku dihubungi oleh bagian kepegawaian BPOM pusat. Beliau menanyakan keadaanku dan teman-teman CPNS lainnya. Kami ditawari untuk keluar dari Ambon sementara waktu, namun dengan halus kami menolak. Kami menolak tawaran itu bukan karena sok hebat. Teman-teman BPOM di Ambon sebelumnya telah menghubungi kami para CPNS pendatang ini. Mereka menenangkan kami, kata mereka ini tidak akan lama.
Mereka mengatakan kalau masyarakat Ambon benci kerusuhan, dan ini perbuatan orang yang tidak bertanggung jawab. Masyarakat Ambon sudah lelah dan menderita karena kerusuhan di masa lampau. Aku dan teman-teman percaya, sehingga kami tidak terlalu cemas. Namun beberapa teman yang tempat tinggalnya dilewati oleh peluru terpaksa pergi mengungsi. Takut ada peluru yang nyasar.
Bapak ibuku sangat khawatir dengan keadaanku. Mereka menanyakan kabarku hampir tiap jam. Berita di TV memang sangat mengerikan, namun keadaan di lapangan tidaklah seseram yang diberitakan media. Ternyata yang dikatakan oleh teman-teman di kantor benar. Keributan itu hanya berlangsung satu minggu. Dan selama satu minggu seluruh kantor tutup. Setelah itu keadaan kembali pulih.
ADVERTISEMENT
Untuk hemat, tidak harus jadi bodoh.
Banyak pengalaman baru yang memperkaya diriku sejak ditempatkan di Ambon. Bagiku itu semua adalah anugerah. Juga seseorang yang menjadi pendamping hidupku, yang ku kenal di tempat ini, pun anugerah bagiku. Sama-sama dari Sumatera Utara, namun kami dipertemukan di tanah Maluku.
Sebagai pasangan perantau, kami harus pintar-pintar mengatur pengeluaran. Karena untuk pulang kampung di saat cuti akhir tahun butuh biaya besar. Selain itu kami juga harus menyimpan uang untuk persalinan anak pertama kami.
Ilustrasi Pegawai Negeri Sipil berangkat kerja. Foto: ANTARA FOTO/Jojon
Tinggal di Ambon sesungguhnya membuat kami sangat bisa menabung. Karena saat itu tidak ada tempat untuk berfoya-foya. Untuk rekreasi pun tidak perlu mengeluarkan biaya khusus. Dari teras rumah kami pun sudah dapat memandang indahnya pantai.
ADVERTISEMENT
Setiap pulang kantor, kami bisa pergi menikmati indahnya matahari terbenam dari pinggir pantai tanpa mengeluarkan biaya. Cukup merogoh kocek untuk membeli rujak dan air kelapa, kami bisa melepas penat dengan duduk di pasir putih tepi pantai.
Sebagai pasangan muda, kami memang perlu banyak belajar. Termasuk belajar mengatur keuangan. Karena kekhawatiran yang berlebihan tinggal di rantau tanpa ada keluarga dekat dan ketatnya menabung, kami pernah kehabisan beras. Mau mengambil uang di tabungan rasanya sayang karena 2 hari lagi suami akan gajian.
Yang ada di rumah hanyalah kacang hijau beserta kelengkapan membuat bubur, dan juga telur ayam karena kami memang memelihara ayam di belakang rumah. Aku mengatakan pada suami kalau hingga 2 hari ke depan kami akan makan bubur kacang hijau saja hingga dirinya gajian.
ADVERTISEMENT
Suami tidak keberatan. Alhasil dalam selama 3 hari kami makan bubur kacang hijau untuk sarapan, bekal makan siang di kantor dan juga makan malam.
Apa yang kudapat dari kebodohan itu? Aku dipuji oleh ibu-ibu di kantor. Mereka bilang, bagus sekali kalau suka makan kacang hijau begini, nanti rambut anaknya bisa lebat. Aku mengamininya dalam hati. Namun jauh di dalam lubuk hatiku, aku menangis, aku pingin makan nasi.
Tepat di malam terakhir diet bubur kacang hijau kami, aku sudah tidak tahan lagi. Aku menangis saking inginnya lidahku ini merasakan nasi lengkap dengan lauk pauknya. Bersamaan dengan tangisku yang pecah, suami mengatakan gajinya baru saja masuk rekening. Luar biasa bahagianya. Namun apa daya, sudah pukul 23.00 WIT, tidak ada warung yang buka.
ADVERTISEMENT
Akhirnya kami menutup malam itu dengan memakan ceplok telur masing-masing 2 butir, tanpa nasi. Tentu saja tanpa bubur kacang hijau. Hampir setengah tahun aku trauma mencium aroma bubur kacang hijau.