Aku Bangga Menjadi ASN (3): Jangan Berkecil Hati Jika Kau Tidak Disebut Pahlawan

Maria Sihotang
ASN, Pengawas Farmasi dan Makanan Ahli Muda, staf penguji Kelompok Substansi Pengembangan Pengujian Mikrobiologi dan Biologi Molekuler, Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional, Badan POM. S1 Biologi USU, S2 Bioteknologi ITB.
Konten dari Pengguna
13 April 2021 11:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maria Sihotang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Laboratorium Biohazard BPOM (Foto dokumen pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Laboratorium Biohazard BPOM (Foto dokumen pribadi)
ADVERTISEMENT
Meninggalkan Ambon adalah hal yang berat bagi aku dan suami. Rasanya lebih berat daripada saat memutuskan untuk merantau meninggalkan kampung halaman sendiri. Namun keputusan berat ini harus kami ambil dan jalani. Suami pindah tugas ke Jakarta, agar seluruh keluarga tenang maka dengan berat hati kami menitipkan putri kami kepada bapak dan ibu di Medan.
ADVERTISEMENT
Selama 1 tahun kami bertiga hidup terpisah. Kami tidak ingin keadaan seperti ini berlarut-larut. Kami harus bisa menyaksikan tumbuh kembang putri kami. Setelah berdiskusi dan mempertimbangkan berbagai hal, kami sampai pada keputusan bahwa aku harus mengajukan pindah dari Ambon untuk ikut suami ke Jakarta.
Urusan kepindahanku pun rasanya sangat mudah. Hanya memakan waktu 1 bulan sejak aku memasukkan permohonan pindah ke BPOM pusat, SK pindah sudah aku terima. Semua itu pasti berkat doa bapak dan ibu juga atas kebaikan hati atasanku di BPOM Ambon.
Malam terakhir aku di Ambon, hatiku merasa kosong. Rasanya ada yang hilang. Aku memandang langit malam dari jendela dapur. Rasanya ingin kuraup semua suasana malam itu dan kudekap. Mulai besok tidak akan kudengar lagi sapaan Ibu Raja Halong yang tinggal di sebelah rumahku, tidak akan kudengar salam hangat anak-anak SD mengucapkan selamat sore tante saat mereka pulang sekolah sambil berlari-lari. Semua keramahan dan kehangatan itu akan berganti dengan hingar bingar dan keangkuhan ibu kota. Tapi, bukankah hidup harus memilih? Dan inilah pilihan kami.
ADVERTISEMENT
Badai pasti berlalu
Tiga hari sejak kepindahanku dari Ambon, bapakku menghadap Sang Khalik. Aku sangat kehilangan. Berbulan-bulan aku sering menangis diam-diam di bawah kolong mejaku. Tidak pernah ada yang tahu.
Pindah ke BPOM pusat, mengharuskanku belajar hal baru. Namun aku menikmatinya. Aku pun mendapat kesempatan untuk melanjutkan sekolah ke SITH ITB.
Sepuluh tahun meninggalkan bangku sekolah, membuatku agak gentar Kembali sekolah. Di angkatanku aku dan seorang temanku adalah mahasiswa tertua. Selebihnya anak-anak muda yang baru lulus S1, bahkan ada yang belum selesai S1nya karena mengikuti program fast track.
Selama 2 tahun melanjutkan sekolah, aku tinggal di Bandung sendiri dan pulang tiap 2 minggu sekali untuk menemui suami dan kedua putriku. Meninggalkan 2 balita selama 2 tahun sungguh membebani pikiranku. Belum lagi jika ibuku menelepon mengabarkan si kakak atau si adik masuk rumah sakit, aku harus buru-buru pulang. Kepulangan yang tiba-tiba karena anak-anak sakit di sepanjang masa sekolah itu menyisakan trauma bagiku hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Saat melanjutkan sekolah, aku sempat mengalami badai tiroid. Aku adalah pengidap hipertiroid. Selama sekolah aku sering lalai berobat. Aku melakukan kebodohan dengan mengabaikan kesehatanku. Alhasil berat badanku turun drastis, tanganku tremor dan jantungku berdebar. Pernah aku sangat ketakutan dan kupikir aku akan mati.
Saat itu jantungku berdebar sangat kencang. Hingga aku merasa bisa mendengar bunyi detak jantungku saking kencangnya. Aku menghitung nadiku, jumlahnya 130 per menit. Aku semakin ketakutan. Aku menenangkan diriku dan mencoba untuk tidur, namun tidak berhasil.
Karena tidak tahan lagi, aku pergi ke RS Boromeus dan langsung ke UGD selepas magrib. Saking kalutnya, di UGD aku hanya bisa menangis sesenggukan sambil mengatakan pada dokter jaga bahwa jantungku berdebar kencang dan aku takut.
ADVERTISEMENT
Tapi percayalah, badai pasti akan berlalu, kita hanya perlu meningkatkan kesabaran, terus berusaha dan berdoa. Dengan ketekunan dan kemurahan hati teman-teman seangkatan untuk belajar bersama setiap hari, aku bisa menyelesaikan sekolahku tepat waktu.
Hasil tidak pernah mengkhianati usaha
Setiap peserta tugas belajar yang telah menyelesaikan sekolahnya harus membuat proyek inovasi. Tidak ingin ditagih terus menerus, aku langsung menyusun proposalnya dan meminta persetujuan dari atasan.
Proyek inovasiku diikutkan dalam lomba orasi ilmiah di Pekan Ilmiah BPOM 2016. Aku mengetahuinya sangat mendadak. Aku harus membuat PPTnya dalam waktu 2 hari. Padahal datanya belum kukumpulkan. Namun hasil tidak pernah mengkhianati usaha. Proyek inovasi yang kupresentasikan meraih juara 2. Sungguh sebuah kejutan dan berkat yang tidak pernah kusangka sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Tuhan mengetahui ketulusanmu
Saat pandemi Covid-19 menghantam dunia, Indonesia juga tidak luput dari serangannya. Indonesia membutuhkan banyak relawan dan tambahan laboratorium pengujian Covid-19. Banyak pengumuman masuk dalam WA ku. Negara memanggil alumni biologi, terutama dari laboratorium biologi molekuler untuk menjadi relawan membantu pengujian sampel pasien Covid-19.
Pertama sekali menerima pengumuman itu di tanggal 24 Maret 2020, hatiku menangis. Aku ingin berpartisipasi. Aku merasa inilah saatnya aku membayar Kembali apa yang sudah negara berikan kepadaku. Aku sudah mendapatkan kesempatan sekolah dan segala macam pelatihan baik di dalam maupun luar negeri untuk meningkatkan kualitas diri ini, sekarang waktunya untuk membantu negara.
Aku menyampaikan niatku pada suamiku. Suamiku tidak memberi izin, mengingat kondisi tubuhku. Aku hanya terdiam.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari kemudian, aku dan 2 orang temanku mendapatkan disposisi membuat kajian terkait laboratorium BSL 2 untuk pengujian spesimen Covid-19. Kami bertiga mencurahkan seluruh pikiran kami, membaca banyak referensi dan pengalaman-pengalaman negara lain, menonton youtube dan bertanya pada expert yang kami kenal di perguruan tinggi. Hampir setiap hari kami berdiskusi dan berdebat hingga larut malam.
Setelah kajian itu selesai, disposisi baru datang lagi. Kami diminta untuk merancang lay out untuk laboratorium pengujian Covid-19. Berbekal pengetahuan yang telah dimiliki ditambah dengan pengetahuan baru yang kami peroleh dengan mengikuti webinar-webinar terkait pengujian Covid-19, kami akhirnya berhasil menyelesaikan tugas dan mengawal proses renovasi hingga laboratorium pengujian Covid-19 di BPOM diresmikan dengan nama Laboratorium Biohazard.
ADVERTISEMENT
Lega rasanya saat menyadari bahwa kami dapat menyelesaikan tugas yang cukup berat itu. Tidak berlebihan rasanya kalau aku menyebutkan nama mereka berdua dalam tulisan ini. Maria Berlina Purba, seniorku saat S1 di FMIPA USU, sosok yang kuanggap kakak. Dialah yang selalu hadir di kantor untuk mengawal proses renovasi Laboratorium Biohazard. Febriana Sari, alumni Biologi UI, sahabatku sejak aku pindah ke BPOM pusat dari BPOM Ambon. Kami bertiga masuk di BPOM pada tahun yang sama.
Aku kembali meminta izin pada suamiku untuk menjadi relawan penguji Covid-19 di Laboratorium Biohazard PPPOMN BPOM. Namun aku tetap tidak mendapat ijin. Suamiku mengatakan bahwa dia khawatir dengan kondisiku yang tidak tahan panas dan kadang kala terserang vertigo karena hipertiroid yang aku derita.
ADVERTISEMENT
Dalam suatu kesempatan saat menelepon Febri, aku bercerita tentang keinginanku untuk menjadi relawan penguji Covid-19 namun tidak mendapat izin dari suami. Febri menanggapiku dengan berkata: “sama mbak, suamiku juga tidak mengijinkan aku. Tidak apa, mbak tidak usah berkecil hati. Tidak semua orang memiliki fisik yang kuat. Walaupun nama mbak tidak dieluk-elukkan dan dikenang sebagai pahlawan dalam pengujian Covid-19 ini, Allah tahu dan melihat ketulusan kita saat kita mengupayakan agar teman-teman relawan dapat aman dan nyaman saat melakukan pengujian.”
Aku merenungkan ucapannya yang mengatakan agar jangan berkecil hati jika kau tidak disebut pahlawan, karena Tuhan telah mencatat ketulusanmu.
Dia sahabatku, yang menenangkan kegelisahan hatiku dan menghilangkan rasa tak berguna dalam diri ini. That’s what friends are for.
ADVERTISEMENT