Konten dari Pengguna

Kesehatan Mental Bukan Ajang Untuk Trend

Marini Gifari
Mahasiswa Sastra Indonesia - Pegawai Swasta
31 Desember 2024 8:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marini Gifari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://images.pexels.com/photos/5699864/pexels-photo-5699864.jpeg?auto=compress&cs=tinysrgb&w=1260&h=750&dpr=2 (Alex Green)
zoom-in-whitePerbesar
https://images.pexels.com/photos/5699864/pexels-photo-5699864.jpeg?auto=compress&cs=tinysrgb&w=1260&h=750&dpr=2 (Alex Green)
ADVERTISEMENT
Kesehatan mental kini menjadi topik yang sering dibicarakan di media sosial, bahkan beberapa orang cenderung menganggapnya sebagai sebuah tren. Namun, gangguan mental bukanlah sesuatu yang seharusnya dijadikan tren, melainkan penyakit jiwa yang memerlukan perhatian dan pengobatan serius. Saat ini, banyak orang yang mendiagnosis diri sendiri tanpa melibatkan tenaga medis profesional seperti psikolog atau psikiater, yang justru memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam bidang ini. Lebih memprihatinkan lagi, sejumlah individu yang merasa terpengaruh oleh tren di media sosial malah melakukan tindakan melukai diri sendiri (self-harm), yang diikuti dengan alasan bahwa banyak orang melakukannya dan membagikan pengalaman mereka di media sosial.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini semakin meningkat, terutama di kalangan anak muda yang mengalami gangguan kesehatan mental akibat tekanan sosial dan lingkungan yang memengaruhi cara mereka mengekspresikan diri. Namun, penting untuk diingat bahwa mendiagnosis diri sendiri tanpa bantuan ahli bukanlah solusi yang tepat. Gangguan mental memerlukan penanganan yang tepat dan tidak bisa sembarangan diidentifikasi oleh individu yang tidak memiliki keahlian di bidangnya.
Menurut data dari Ditjen P2P Kemenkes RI, sekitar 6,1% penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kesehatan mental. Meskipun sulit untuk mendapatkan data yang akurat karena label yang melekat pada masalah kesehatan mental, berbagai penelitian menunjukkan bahwa jumlah penderita gangguan jiwa, seperti depresi, kecemasan, dan gangguan bipolar, terus meningkat. Lonjakan ini disebabkan oleh sejumlah faktor sosial, antara lain ketidakstabilan emosional, stres akibat pekerjaan, ketidakpastian ekonomi, dan terbatasnya akses terhadap layanan kesehatan mental yang memadai.
ADVERTISEMENT
Seseorang yang memiliki kontrol emosi yang baik cenderung lebih mampu mengatasi tekanan hidup sehari-hari. Sebaliknya, individu yang mengalami kesulitan dalam mengelola emosinya rentan terhadap gangguan emosional yang lebih berat dan membutuhkan perawatan lebih lanjut. Hal ini menjadi tanda bahwa penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk menyadari kondisi kesehatan mental yang sedang terjadi di masyarakat. Kurangnya pemahaman dan edukasi tentang kesehatan mental menyebabkan masalah ini dianggap tabu atau bahkan asing bagi banyak orang.
Menteri Kesehatan RI dalam sebuah acara di Jakarta Convention Center (JCC) mengungkapkan keprihatinannya atas tingginya angka gangguan jiwa yang terjadi di Indonesia pada tahun 2024. Salah satu gangguan yang paling banyak dialami adalah gangguan kecemasan (anxiety disorder) dan gangguan bipolar. Menurut data WHO, sekitar satu dari delapan orang di dunia, yang berarti hampir satu miliar orang, mengalami gangguan jiwa. Hal ini menunjukkan betapa besarnya dampak kesehatan mental terhadap kualitas hidup manusia di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Gangguan mental, jika tidak ditangani dengan benar, dapat menimbulkan dampak negatif yang sangat besar dan bahkan mengancam jiwa. Sayangnya, banyak orang yang masih meremehkan kondisi kesehatan mental mereka, yang pada membuat mereka merasa sendiri dan merasa tidak di pedulikan. Hal ini memperburuk kondisi seseorang yang sedang mengalami gangguan mental, karena rasa kesepian dan ketidakpedulian lingkungan sekitar sering kali memperburuk keadaan.
Tubuh kita memberikan tanda-tanda saat kita mengalami masalah dengan kesehatan mental, mirip dengan cara tubuh memberi sinyal saat kita sakit fisik. Jika seseorang sedang flu, misalnya, hal pertama yang dirasakan adalah gejala tidak enak badan dan tenggorokan yang gatal. Begitu pula dengan kesehatan mental; jika seseorang merasa tidak bisa lagi melakukan aktivitas sosial seperti biasanya dalam jangka waktu yang cukup lama, itu adalah pertanda bahwa ada masalah yang perlu segera ditangani. Dalam kondisi ini, sangat disarankan untuk segera mencari bantuan dari profesional seperti psikiater atau psikolog, bukan mencoba untuk mendiagnosis diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Menggunakan tenaga ahli dalam menangani masalah kesehatan mental akan mempercepat proses pemulihan dan memberikan pengobatan yang tepat. Oleh karena itu, penting untuk tidak menjadikan gangguan mental sebagai sebuah tren yang dapat dipermudah. Jika seseorang merasa bahwa dirinya tidak baik-baik saja, langkah pertama yang harus diambil adalah mencari bantuan medis dari ahli yang kompeten untuk mendapatkan diagnosis dan penanganan yang sesuai. Jangan menunggu hingga keadaan semakin buruk atau merasa enggan untuk mencari bantuan, karena penanganan dini dapat membantu mencegah kondisi tersebut semakin parah.
Kesimpulannya, kesehatan mental adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian penuh dari individu dan masyarakat. Mendiagnosis diri sendiri tanpa keahlian profesional dapat berbahaya dan tidak memberikan solusi yang tepat. Kita perlu mengubah cara pandang kita terhadap kesehatan mental dan menganggapnya dengan serius, bukan sebagai fenomena sementara yang dapat dijadikan bahan percakapan di media sosial. Jika kita merasa ada yang tidak beres dengan kondisi mental kita, langkah yang bijak adalah segera mencari bantuan dari tenaga medis profesional agar bisa mendapatkan penanganan yang sesuai dan memulihkan kesehatan mental kita secara optimal.
ADVERTISEMENT