Konten dari Pengguna

Cerita Manis di Balik Kegarangan Pasola

14 April 2019 12:03 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marina Ulfa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Para penunggang kuda saling memacu kudanya berlari kencang, mengintai lawan, berteriak, lalu melempar lembing tanpa rasa takut. Rasanya seperti melihat scene Dothraki berperang dipimpin oleh Daenerys Targaryen di Game of Thrones.

ADVERTISEMENT

Panas menderu seiring derap kuda, terik menerpa. Suka enggak suka, harus dinikmati. Rasanya seperti menjadi Marlina pada Marlina si Pembunuh Empat Babak, yang sering kali memicingkan mata menahan panas saat menyusuri jalanan Sumba.

ADVERTISEMENT
Saya masih ingat film Pendekar Tongkat Emas yang dibintangi oleh Nicholas Saputra, Tara Basro, Eva Celia, dan aktor lainnya. Apa ceritanya? Jujur, saya lupa persisnya. Tapi saya masih ingat scene lanskap Sumba yang begitu indah. Padang rumput luas, langit biru, dan matahari merah menyala.
Weekuri Lagoon, Sumba Barat Daya, NTT. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Bukit Lendongara, Sumba Barat Daya, NTT. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Lalu, Marlina si Pembunuh Empat Babak. Film ini bikin saya ikut kepanasan karena teriknya matahari di scene Marlina berjalan di bukit membawa potongan kepala suaminya. Ada juga biru langit, padang rumput, dan terik yang enggak kalah menarik. Semenarik parade kain-kain manis khas Sumba yang dikenakan oleh para pemainnya.
ADVERTISEMENT
Dua film tersebut berhasil membuat saya scrolling Instagram, melihat lebih jauh bagaimana keindahan Sumba. Pengin ke sana, tapi... pas liat tabungan kok sedih sih.
Lalu bertahun-tahun lamanya saya berharap ada keajaiban alam semesta yang bisa mengantarkan saya menuju Sumba demi saya bisa ikut merasakan menjadi Marlina yang naik kuda dan kepanasan. Sampai akhirnya, Maret lalu sebuah tugas kantor mengantar sampai tiba di Sumba. Bikin paket video 'Heritage' tentang ritual di Sumba.
Asyik! Enggak apa-apa deh tuntutannya banyak, yang penting sampai di Sumba!
Perlu lima jam perjalanan udara dengan satu kali transit di Kupang atau Denpasar. Saya memilih untuk transit di Kupang. Alasannya, karena saya belum pernah ke sana. Kalau Denpasar sih, jangan ditanya, banyak kenangannya, bikin sedih.
ADVERTISEMENT
Dari Kupang, saya melanjutkan penerbangan menuju Bandara Tambolaka di Sumba Barat Daya. Ada apa sih di Sumba Barat Daya?
Ada ritual Pasola, dan Pasola cuma ada di Sumba Barat Daya. Pasola apa sih? Coba cek di Google banyak kok risetnya. Tapi jangan asal percaya. Karena berdasarkan pengalaman yang saya alami, setiap kampung adat di sana yang menyelenggarakan Pasola itu mempunyai perbedaan waktu pelaksanaan ritualnya. Ceritanya juga berbeda-beda, walaupun untuk besaran tata caranya semua sama.
Hal yang menarik perhatian saya ketika ikut menonton Pasola adalah bagaimana masyarakat kampung adat sangat antusias menonton atraksi ini. Pasola mulai dibuka sekitar jam 10 pagi, ketika dua kuda sakral (Kuda Nyale dan Kuda Halato) menyelesaikan ritualnya dan mengelilingi lapangan. Kemudian satu persatu penunggang kuda masuk ke lapangan.
ADVERTISEMENT
Kuda Nyale sebelum melakukan ritual untuk membuka acara Pasola di Wainyapu. Foto: Marina Ulfa/kumparan
Yohanes Ndara Kepala, penunggang Kuda Halato. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Atmosfer di lapangan mulai berubah. Panas matahari dan 'panas' pertarungan ikut saya rasakan saat menyaksikan mereka memacu kudanya mengelilingi lapangan dan mengacungkan lembing. Saya seperti melihat scene Dothraki sedang perang dipimpin oleh Daenerys Targaryen di Game of Thrones. Para penunggang Sumba itu gagah dan tanpa rasa takut.
Para penunggang tanpa rasa takut. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Sabar menunggu giliran melempar. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Ketika mereka mulai melempar satu sama lain, teriakan penonton menambah kewaspadaan saya. Otomatis mata saya mencari ke tengah lapangan dan bertanya, siapa yang terkena lembing?
Mata saya tidak bisa lepas dari tengah lapangan memperhatikan bagaimana lembing mereka terbang. Ada yang meleset, ada juga yang tepat sasaran. Dan kemudian penonton riuh kembali. Sepertinya kami yang menonton ikut merasakan bagaimana menjadi penunggang kuda tersebut.
Para pemuda sedang serius menonton Pasola. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Pemuda yang serius menonton dari atas pohon. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Matahari bergeser tepat ada di atas kepala saya dan penonton. Para penunggang kuda semakin mempercepat permainannya. Semakin sering juga teriakan penonton terdengar.
ADVERTISEMENT

Di balik semua ingar bingar dan adegan pertarungan, ada yang 'manis' di Pasola.

Pasola bisa diibaratkan seperti hari raya. Semua menyambut dengan rasa senang, juga pakaian terbaik. Penonton yang datang kebanyakan muda-mudi yang terlihat malu-malu memandangi satu sama lain. Dengan hoodie warna mencolok, sepatu kinclong, celana jeans, dan baju yang istilahnya masih bau toko. Ditambah lagi aksesoris seperti kacamata hitam atau kalung, gelang dengan rambut yang dikuncir atau diurai dengan gaya silky smooth hair. Saya iseng bertanya dengan teman saya tentang gaya mereka. “Mereka datang berpakaian seperti itu karena pakaian tersebut hanya mereka pakai setahun sekali,” katanya.
Pemuda keren yang menonton Pasola dari atas motor. Foto: Marina Ulfa/kumparan
Posisi ini merupakan tempat menonton yang nyaman, teduh dengan pohon yang rindang, untuk menghindari panasnya matahari Sumba. Foto: Faiz Kurniawan/kumparan
Nona manis dari Sumba. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Pasola memang rasanya seperti hari raya. Semua keluarga dalam satu desa adat berkumpul di rumah keluarga besar. Sehari-harinya mereka biasa tinggal di rumah kebun (rumah pribadi). Setiap keluarga membawa ayam, anjing, atau babi, istilahnya potong ayam, tikam babi, pukul anjing. Kemudian dimasak dan dimakan bersama.
ADVERTISEMENT
Setelah itu mereka, para bapak-bapak, menyirih pinang. Ah, tapi mereka mempunyai kebiasaan membuang ludah sembarangan. Kalau yang ini jangan ditiru.
Di sebuah teras rumah di kampung adat Ratenggaro. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Walaupun hujan tapi akan selalu hangat kalau bersama keluarga. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Setelah Pasola selesai, para penunggang dan penonton kembali ke rumah. Untuk para turis seperti saya, datang ke desa adat yang jaraknya dekat dengan lapangan menjadi daya tarik. Bisa berinteraksi dengan masyarakat lokal di sana rasanya seru. Tapi yang membuat saya sedih adalah ketika banyaknya anak kecil terang-terangan meminta uang kepada saya.
Saya bertanya, untuk apa? Untuk beli buku. So, sad. Haruskah mereka melakukan itu? Kayaknya bukan soal kebutuhan, tapi kebiasaan. Tanpa malu dan sungkan minta uang ke orang yang belum dikenal. Setiap senyum dan memotret anak-anak di sana, mereka akan tersenyum balik, mendekat dan meminta uang. Lama-lama risih juga ya. Bisik-bisik, mereka sering dibiasakan oleh turis sebelumnya yang datang diberikan uang. Jadi mereka menganggap kalau setiap turis akan memberi uang.
Nona kecil yang manis sedang sibuk makan permen. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Saranghae! Dikirimi cinta dari anak-anak Sumba. Foto: Marina Ulfa/kumparan
Akhir kata, saya lebih beruntung daripada film-film yang saya sudah sebut di awal. Karena saya enggak cuma sampai di Sumba, tapi bisa menyaksikan Pasola yang cuma ada setahun sekali. Ihiy!
ADVERTISEMENT