Konten dari Pengguna

Gus: Sebuah Identitas Sosial dalam Masyarakat Plural

Marista Indy Haqiena
seorang mahasiswa menempuh program studi Antropologi di Universitas Gadjah Mada
4 Desember 2024 17:01 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marista Indy Haqiena tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemuka agama dalam sebuah khutbah setelah ibadah dilaksanakan. Sumber: arsip penulis
zoom-in-whitePerbesar
Pemuka agama dalam sebuah khutbah setelah ibadah dilaksanakan. Sumber: arsip penulis
ADVERTISEMENT
Media sosial tengah digemparkan dengan fenomena seorang pemuka agama yang mengutarakan kata kasar kepada penjual minuman di muka umum. Fenomena yang terekam kamera ini pun kemudian tersebar di media sosial dan mendapatkan banyak tanggapan negatif atas ujaran yang dilakukan oleh pemuka agama tersebut. Gus adalah julukan yang diberikan kepada pemuka agama tersebut. Tindakan gus tersebut yang dianggap sebagai candaan pun diamini oleh rekan yang duduk di atas panggung bersamanya dengan tawa setelah “candaan” itu keluar.
ADVERTISEMENT
Kata “gus” sepertinya sudah tidak asing lagi di tengah masyarakat heterogen Indonesia. Gus adalah julukan untuk anak laki-laki seorang kiai, menantu laki-laki kiai, dan bahkan saat ini mulai melebar ke laki-laki yang memiliki garis keturunan kiai di Pulau Jawa. Sosok kiai yang dianggap prestisius karena wawasan, pengetahuan, dan adab keislamannya pun, secara langsung ataupun tidak, mewariskan kesan tersebut kepada keturunannya. Hal ini kemudian menggiring ekspektasi publik bahwa seorang gus memiliki tindak laku, tindak tutur, dan tindak rasa yang dianggap baik sesuai dengan ajaran agama. Padahal, gus tidak serta merta mendapatkan wangsit melalui gen yang diwariskan begitu saja.
Gus yang diharapkan dapat menjadi “pembimbing” keagamaan kemudian mendapatkan posisi yang tinggi di masyarakat awam: ditempatkan sebagai pengajar agama, diberi penghormatan tinggi dalam berbagai acara, mendapatkan bagian “lebih” di berbagai kesempatan, dan berbagai keuntungan lain yang didapatkan oleh gelar gus. Namun, apakah kemudian gelar gus sesuai dengan ekspektasi, anggapan, dan harapan masyarakat?
ADVERTISEMENT
Fenomena gelar gus semakin menjadi branding seolah pemilik gelar ini adalah mereka yang memiliki pengetahuan sempurna dalam ajaran agama Islam. Pada pilkada tahun ini, misalnya. Ada beberapa calon yang menunjukkan gelar gus dalam model kampanye. Perkembangan gelar gus yang masif ini diiringi dengan kemunculan tokoh-tokoh baru dengan gelar gus yang tidak jelas asal muasalnya, apakah dia anak kiai? Apakah dia menantu kiai? Apakah buyutnya kiai? Kalau iya, kiai dari mana?
Seseorang akan menunjukkan bagian dari identitasnya sesuai dengan kebutuhan apa yang dia miliki dan keuntungan apa yang ingin didapatkan. Identitas sosial inilah yang kemudian digunakan oleh liyan untuk mengidentifikasikan diri kita. Henri Tajfel menjelaskan bahwa identitas sosial adalah bagian dari konsep diri individu yang didapatkan dari interaksi dengan kelompok sosial, kesadaran yang dimiliki oleh individu untuk mengikatkan dan mengaitkan diri dengan kelompok sosial yang mana.
ADVERTISEMENT
Dalam proses pencarian identitas sosial, proses pertama yang dilakukan individu adalah social categorization. Proses seseorang membuat kategori yang memisahkan kelompok satu dengan kelompok yang lainnya. Proses ini dapat terjadi secara organik dan tidak membutuhkan energi lebih karena setiap individu akan memiliki kesadaran untuk melakukan kontak dengan individu yang memiliki status yang sama.
Proses berikutnya adalah social comparation, bagaimana seseorang mencari kesamaan dan perbedaan yang ada pada dirinya dan kelompok sosial yang dituju. Proses ini cukup subjektif karena setiap individu memiliki perspektif yang berbeda. Seseorang yang ingin mendapatkan gelar gus pada tahap awal tentunya harus memiliki persamaan agama dengan kelompok sosialnya. Kemudian menampilkan perbedaan yang secara pragmatis dapat dimunculkan melalui pakaian yang digunakannya.
ADVERTISEMENT
Proses terakhir adalah social identity atau singkatnya “kita lebih nyaman diidentifikasikan sebagai apa dan siapa?”. Dalam proses ini, kepercayaan diri individu akan semakin meningkat karena mengerti dirinya ingin dikenal sebagai apa.
Perlu diperhatikan, proses-proses di atas adalah proses untuk seseorang yang ingin menunjukkan identitasnya kepada publik. Jika seseorang ingin menampilkan gelar gus-nya, dia harus dapat menampilkan apa perbedaannya dengan masyarakat biasa dan gus yang memiliki gelar kehormatan.
Agama merupakan pembatas yang jelas dalam setiap tindakan. Masih menjadi pertanyaan besar mengapa agama dapat menggerakkan suatu isu secara masif. Satu fenomena yang memiliki unsur agama, baik sekecil apapun, selalu mengundang berbagai respons, baik positif atau negatif, tuturan (yang saat ini bisa menjadi cuitan di media sosial) dan tindakan, ataupun respons lainnya.
ADVERTISEMENT
Gus sebagai gelar identitas yang memiliki afiliasi dengan agama Islam, agama mayoritas di Indonesia, harus disadari memiliki tanggung jawab besar di masyarakat. Fenomena gus yang mendapatkan respons negatif dari masyarakat dapat dengan mudah ditemukan di media sosial, tetapi fenomena ini tidak serta merta meniadakan seseorang dengan gelar gus yang bertanggung jawab atas gelar yang dia punya.
Terlepas dari itu semua, konsep identitas sosial perlu diperhatikan lebih. Bagaimana seseorang mendapatkan dan menggunakan identitas sosialnya memiliki potensi besar dalam tindakan segregasi yang dapat menyebabkan persatuan ataupun perpecahan.