Konten dari Pengguna

Kepribadian dan Kepemimpinan Perempuan

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
24 Februari 2021 19:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Margaret Thatcher Foto: @barronessmargaretthatcher
zoom-in-whitePerbesar
Margaret Thatcher Foto: @barronessmargaretthatcher
ADVERTISEMENT
Pria dan wanita memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda. Pria lebih menggunakan norma keadilan sementara wanita menggunakan norma persamaan. Pria juga menggunakan strategi yang lebih luas dan lebih positif. Namun, perbedaan manajemen tidak akan terlihat jika wanita memiliki rasa percaya diri yang tinggi.
ADVERTISEMENT
RA Kartini merupakan teladan penting bagi perempuan Indonesia. Beliau adalah tokoh yang memperjuangkan hak-hak perempuan seperti hak untuk belajar di sekolah dan hak untuk memimpin sebuah organisasi. Dengan demikian, seorang wanita memiliki sifat demokratis dan rasa kepedulian yang tinggi sehingga sosok wanita pun berkompeten untuk menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi.
Dalam filosofi Jawa, wanita memiliki arti ”wani ditata” atau berani diatur. Namun, perkembangan zaman terutama dalam memenuhi kebutuhan hidup yang layak, membuat perempuan ikut bekerja demi mendapatkan penghasilan.
Saat ini, peran perempuan telah bergeser ke dimensi yang lebih luas. Kebangkitan kaum perempuan dalam era globalisasi telah membawa perubahan: perempuan bukan lagi semata-mata sebagai istri atau ibu, tetapi telah terorientasi pada kualitas eksistensinya selaku manusia.
ADVERTISEMENT
Mengapa perempuan harus tampil memimpin dan ikut dalam pengambilan kebijakan? Karena jumlah perempuan mencapai separuh penduduk dunia sehingga secara demokratis pendapat dari perempuan harus dipertimbangkan. Selain itu, partisipasi perempuan diharapkan dapat mencegah kondisi yang tidak menguntungkan bagi kaum perempuan dalam menghadapi masalah stereotip terhadap perempuan, diskriminasi di bidang hukum, kehidupan sosial dan juga eksploitasi terhadap perempuan.
Kepemimpinan perempuan secara umum ada 2 (dua), yaitu pertama kepemimpinan transformasional. Dengan penerapan kepemimpinan model ini, bawahan akan merasa dipercaya, dihargai, loyal dan tanggap kepada pimpinannya. Kepemimpinan transformasional merupakan konsep yang relevan pada situasi di mana perubahan terjadi sangat cepat dan menuntut setiap organisasi untuk dapat menyesuaikan diri.
Sedangkan kepemimpinan feminisme dapat dicirikan sebagai berikut: tak agresif, tergantung, emosional, subjektif, gampang terpengaruh, pasif, tak kompetitif, sulit memutuskan, tak mandiri, sensitif, tak berani spekulasi, kurang PD, butuh rasa aman, memperhatikan penampailan. Adapun ciri-ciri Kepemimpinan maskulin: sebaliknya. Dewasa ini sangat dibutuhkan etika feminin, sebagai penyeimbang bagi dominasi etika maskulin.
ADVERTISEMENT
Untuk menjadi seorang pemimpin tidak saja dibutuhkan bakat, tetapi juga dibutuhkan kemampuan dan keahlian yang dilatih sejak muda. Perempuan harus berjiwa pemimpin, antara lain: visioner, partisipatif, think globally, act locally, berkarakter, cerdas secara spiritual, emosional, sosial, maupun intelektual. Juga adanya passion kompetitif.
Lantas, apa yang harus dilakukan sebagai perempuan pemimpin? Perempuan harus mampu membangun personal branding/citra diri yang positif, baik sebagai sebagai individu, ibu, mitra suami, sebagai pemimpin atau pelayan masyarakat. Perempuan harus memahami konsep diri, yaitu kesadaran, sikap, dan pemahaman, tentang siapa diri kita, apa cita-cita kita, apa kekurangan, kelebihan, kemampuan, kekuatan, dll.
Perempuan pemimpin harus memiliki konsep diri positif, yakin akan kemampuan mengatasi masalah. Merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu sadar setiap keinginan dan perilaku tidak selalu disetujui masyarakat, dan mampu memperbaiki diri. Konsep diri bukan sesuatu yang tiba-tiba “jadi” tetapi harus dibentuk, dengan belajar.
ADVERTISEMENT
Seorang perempuan pemimpin harus memiliki sikap asertif, yaitu penuh percaya diri, mempunyai keyakinan yang kuat akan tindakannya dan mampu menyatakan perasaan dan pendapatnya, tanpa menyakiti perasaan diri-sendiri atau perasaan orang lain, tanpa mengganggu hak orang lain. Bagaimana menjadi perempuan pemimpin yang asertif? Di sini tentu melibatkan unsur identitas, gambaran diri, hingga harga diri.

Revolusi Total

Saat berniat tampil sebagai pemimpin, perempuan masih menghadapi tantangan, seperti rendahnya tingkat pendidikan perempuan, kurangnya semangat daya saing dan keberanian yang berpotensi menurunkan prestasi dan rendahnya tingkat partisipasi perempuan dalam bidang politik.
Maka, revolusi total (jasmani dan mental) perempuan calon pemimpin menjadi sangat penting. Perempuan harus mengembangkan diri menjadi pribadi yang tangguh tanpa meninggalkan kodrat perempuan sebagai istri, ibu rumah tangga yang baik, pendidik dan pengasuh anak yang patut diteladani, serta menjadi warga negara yang produktif dan mampu memberi kontribusi positif untuk kemajuan pembangunan.
ADVERTISEMENT
Seorang perempuan harus memiliki posisi tawar yang kuat dan sejajar dengan kaum laki-laki. Untuk itu, perlu pengembangan potensi diri meliputi aspek fisik, intelektual, maupun mental spiritual. Aspek fisik dapat dikembangkan melalui olahraga dan pola makan yang sehat. Aspek intelektual dapat dikembangkan melalui berbagai pendidikan formal dari TK sampai Perguruan Tinggi.
Sedangkan aspek mental spiritual dikembangkan melalui kegiatan keagamaan, seminar, atau pelatihan-pelatihan, sehingga dapat menjalani hidup pada jalur yang benar dengan penuh optimisme. Jadilah perempuan pemimpin yang asertif, visioner, bisa mendengar, berani mengambil keputusan, berani mengambil risiko, dan mempunyai citra diri positif.
Dunia tahu, banyak tokoh dunia perempuan yang menjadi panutan seperti Margaret Thatcher di Inggris, Indira Gandhi di India, Cory Aquino di Filipina, Megawati di Indonesia yang mampu memposisikan dirinya sebagai wanita cerdas dengan tidak melihat dirinya sebagai perempuan yang lemah melainkan kekuatan dan kecerdasan dalam menempatkan diri di rumah, dunia kerja, tempat ibadah, dan lingkungan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun, pengetahuan yang luas dan kecerdasan perempuan bukan untuk menjadi kompetitor laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tetapi agar perempuan lebih cakap dalam melakukan kewajibannya.