Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Apakah OMS Kita Siap Tanpa Dana Donor?
4 Februari 2025 20:05 WIB
·
waktu baca 11 menitTulisan dari Martin Dennise Silaban tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkah kita merenungkan seberapa kuat fondasi yang menopang Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Indonesia? Ketika pendanaan dari USAID yang sudah berlangsung lama akhirnya berhenti, dampaknya terasa sangat besar. OMS yang selama ini bergantung pada dana donor asing mendapati diri mereka terombang-ambing, bingung, dan terhuyung-huyung mencari sumber pendanaan pengganti. Hal ini tidak hanya memperlihatkan kelemahan yang menggerogoti OMS kita, tetapi juga menyentakkan kita untuk menyadari betapa rentannya ekosistem sosial ini.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan OMS yang ada di Indonesia, bahkan di banyak negara berkembang, cenderung mengandalkan pendanaan donor internasional sebagai oksigen hidup mereka. USAID, melalui berbagai program hibahnya, telah lama menjadi penyokong penting bagi banyak inisiatif sosial di negeri ini. Akan tetapi, ketika pendanaan itu berhenti, terbuka lebarlah kenyataan pahit tentang ketergantungan yang telah lama terjalin. Apa yang seharusnya menjadi kesempatan untuk bertransformasi dan mencari cara untuk membangun pendanaan yang lebih mandiri, justru berujung pada kegamangan yang mendalam.
Diversifikasi pendanaan lokal, seringkali dijadikan solusi utama dalam menghadapi permasalahan ketergantungan terhadap donor. Banyak yang berpendapat bahwa mencari dana dari sektor swasta, komunitas lokal, atau mekanisme pendanaan berbasis hasil adalah langkah strategis untuk mencapai keberlanjutan. Namun, meski secara teori tampaknya sangat rasional, kenyataannya lebih kompleks dari sekadar mengubah aliran dana.
ADVERTISEMENT
Mentalitas yang Masih Terbelenggu
Setiap organisasi, baik besar maupun kecil, memiliki cara pandang yang mengarahkan mereka dalam bertindak dan membuat keputusan. Pandangan ini, yang sering disebut sebagai mentalitas atau budaya organisasi, adalah suatu sistem keyakinan yang telah terbentuk sejak lama baik yang tersurat maupun yang tersirat (Bob Doppelt, 2010). Dalam konteks OMS, pandangan ini mencakup ide-ide tentang bagaimana seharusnya mereka mendapatkan dana, bagaimana mereka harus bekerja untuk mencapai tujuan, serta bagaimana dunia sosial-politik ini beroperasi untuk mendukung mereka.
Ketika donor internasional menjadi sumber pendanaan utama, OMS secara perlahan mulai mengadopsi pandangan bahwa pendanaan hanya bisa diperoleh dari luar, dari sumber yang lebih besar, dari lembaga yang memiliki kapasitas untuk memberikan dana besar melalui hibah atau sumbangan. Keyakinan ini kemudian membentuk perilaku OMS yang semakin bergantung pada siklus pendanaan luar negeri. Mereka menjadi terfokus pada pengajuan proposal, pengumpulan dokumen, dan pelaporan yang dibutuhkan donor untuk memperoleh dana. Pada titik tertentu, peran donor bukan hanya sebagai sumber pendanaan, tetapi juga sebagai penjaga eksistensi mereka.
ADVERTISEMENT
Pandangan semacam ini, meskipun mungkin efektif dalam jangka pendek, justru menjadi penghalang terbesar untuk pergeseran menuju sistem pendanaan lokal yang lebih berkelanjutan. Ini mengingatkan kita bahwa ide-ide yang diyakini oleh suatu organisasi tentang apa yang dapat dilakukan, bagaimana melakukannya, dan apa yang dianggap sebagai "cara yang benar" akan membentuk seluruh perilaku dan keputusan yang diambil. Dalam hal ini, mentalitas bergantung pada donor menjadi budaya yang sulit diubah, bahkan ketika donor internasional mulai berkurang atau berhenti memberikan dana.
Mentalitas ini bukan hanya berpengaruh pada perilaku sehari-hari, tetapi juga secara mendalam memengaruhi keputusan strategis organisasi. OMS yang terjebak dalam mentalitas donor ini seringkali merasa bahwa mereka tidak perlu berinovasi dalam cara mereka mencari dana atau mengembangkan sumber daya lokal mereka. Alih-alih mengeksplorasi pendanaan yang bisa dikerjasamakan (co-creation social business) dari masyarakat lokal, atau model bisnis sosial, mereka lebih memilih untuk tetap bergantung pada pola-pola lama yang lebih familiar, seperti mengajukan proposal untuk hibah donor.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga menciptakan ketergantungan intelektual. Proses-proses internal yang ada dari pengajuan proposal hingga pelaporan kepada donor sering kali membentuk cara berpikir dan bertindak seluruh organisasi. Ketika sebuah OMS terbiasa mengandalkan donor sebagai sumber dana utama, mereka tidak pernah mengembangkan kapabilitas internal untuk mencari sumber pendanaan alternatif. Mereka mungkin kurang memiliki mentalitas kewirausahaan sosial yang diperlukan untuk beralih dari "bergantung pada donor" menuju "mandiri secara finansial".
Selain itu, mentalitas ini dapat membatasi kreativitas dan inovasi dalam merancang solusi yang lebih berkelanjutan dan relevan dengan kebutuhan lokal. Banyak OMS yang terlalu terfokus pada memenuhi kebutuhan administratif dan logistik untuk donor, sehingga mengabaikan potensi yang ada dalam masyarakat lokal. Jika organisasi terus-menerus terfokus pada pendanaan luar, mereka mungkin kehilangan peluang untuk memanfaatkan sumber daya lokal yang lebih besar, seperti masyarakat yang mendukung visi mereka.
ADVERTISEMENT
Membangun Mentalitas Mandiri
Untuk membuat diversifikasi pendanaan lokal berhasil, perubahan mentalitas harus dimulai dari dalam organisasi itu sendiri. Mentalitas bergantung pada donor yang sudah begitu mapan perlu digantikan dengan mentalitas mandiri yang lebih berorientasi pada keberlanjutan dan inovasi. Ini adalah langkah yang sulit, tetapi bukan tidak mungkin. Jika OMS berhasil mengubah paradigma mental dominan, maka secara otomatis kita dapat mengubah cara organisasi tersebut diatur dan beroperasi. Paradigma baru akan mempengaruhi kebijakan, budaya kerja, dan praktik sehari-hari.
Pertama, organisasi harus mulai melihat diri mereka bukan sebagai pihak yang terus meminta bantuan, tetapi sebagai agen perubahan yang dapat menawarkan solusi dan nilai bagi masyarakat. Ini mengarah pada pengembangan model bisnis sosial yang bukan hanya mencari dana, tetapi juga menciptakan nilai tambah yang bisa diterima oleh berbagai pihak, termasuk masyarakat, sektor swasta, atau lembaga pemerintah lokal.
ADVERTISEMENT
Kedua, membangun mentalitas kemandirian. Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) harus memperkuat kapasitas internal mereka agar lebih mampu mengelola berbagai sumber daya, termasuk aspek pendanaan. Penguatan ini dapat dimulai dengan menanamkan budaya kewirausahaan dalam organisasi, sehingga inovasi dalam mencari dan mengelola pendanaan menjadi bagian dari nilai inti OMS.
Namun, salah satu tantangan utama dalam proses ini adalah rendahnya literasi finansial di kalangan aktivis (Lisa Cannon, 1999). Banyak aktivis yang memiliki komitmen kuat terhadap aktivisme sosial, tetapi kurang memahami strategi keuangan yang dapat mendukung keberlanjutan organisasi. Oleh karena itu, meningkatkan pemahaman tentang manajemen keuangan, perencanaan bisnis sosial, dan diversifikasi pendapatan menjadi langkah krusial untuk memastikan OMS tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang secara mandiri.
ADVERTISEMENT
Kewirausahaan di sini bukan sekadar soal mencari keuntungan, tetapi tentang bagaimana OMS bisa lebih inovatif dalam merancang dan menjalankan program yang berdampak sekaligus berkelanjutan secara finansial. Inovasi dalam mencari pendanaan lokal dan mengelola program harus menjadi bagian dari nilai inti mereka.
Penting untuk disadari bahwa dalam kerja-kerja Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), budaya kewirausahaan tidak bisa dipisahkan dari aktivisme yang mereka lakukan. Seringkali, muncul anggapan keliru bahwa kewirausahaan dan aktivisme adalah dua hal yang saling bertolak belakang. Ada pandangan bahwa upaya mencari pendanaan secara kreatif, terutama melalui kegiatan usaha, dianggap sebagai bentuk kompromi atau bahkan pengkhianatan terhadap nilai-nilai perjuangan sosial. Padahal, jika dikelola dengan prinsip yang benar, kewirausahaan justru bisa menjadi alat yang memperkuat misi sosial OMS.
ADVERTISEMENT
Gagasan untuk menciptakan sumber dana sendiri melalui unit usaha juga masih menjadi topik perdebatan yang cukup hangat di kalangan OMS (Richard Holloway, 2001). Perdebatan ini muncul di dua tingkat, yaitu teknis dan ideologis. Di tingkat teknis, banyak OMS yang tidak memiliki pengalaman dalam mengelola usaha komersial. Mereka terbiasa dengan mekanisme pendanaan donor, yang lebih menekankan pada laporan keuangan berbasis proyek, bukan pada pengelolaan usaha yang berorientasi pada keuntungan. Keterbatasan dalam hal manajemen bisnis sosial, pemasaran, dan pengelolaan risiko menjadi tantangan yang nyata bagi OMS yang ingin mengeksplorasi model pendanaan ini.
Sementara itu, di tingkat ideologis, pertanyaan yang muncul adalah apakah keterlibatan dalam aktivitas usaha komersial sejalan dengan visi dan misi organisasi. Ada kekhawatiran bahwa fokus pada penghasilan dapat mengaburkan komitmen organisasi terhadap nilai-nilai sosial yang mereka perjuangkan. Beberapa pihak bahkan melihat langkah ini sebagai potensi komersialisasi gerakan sosial, yang dapat mengurangi integritas dan kepercayaan publik terhadap OMS.
ADVERTISEMENT
Namun, jika dikelola dengan prinsip yang kuat, kewirausahaan tidak harus bertentangan dengan aktivisme. Sebaliknya, ia dapat menjadi pendorong kemandirian finansial yang memungkinkan OMS untuk tetap konsisten dengan misi sosial mereka tanpa terus-menerus bergantung pada pendanaan eksternal. Transparansi, akuntabilitas, dan komitmen terhadap nilai-nilai sosial harus tetap menjadi pilar utama dalam setiap aktivitas usaha yang dilakukan. Dengan pendekatan yang tepat, kewirausahaan dapat menjadi bagian integral dari strategi keberlanjutan OMS, memperkuat kapasitas mereka untuk memberikan dampak yang lebih besar kepada masyarakat.
Kewirausahaan sosial memungkinkan OMS untuk tetap teguh pada prinsip-prinsip aktivisme, sambil menciptakan model operasional yang lebih berkelanjutan. Aktivisme yang hanya bergantung pada donor sering kali terjebak dalam agenda dan prioritas pihak luar. Sebaliknya, dengan sumber pendanaan yang mandiri, OMS memiliki kebebasan lebih besar untuk menentukan arah perjuangan mereka sesuai dengan kebutuhan komunitas yang mereka layani. Kemandirian ini memperkuat suara mereka di ruang publik, menjadikan mereka bukan hanya pelaksana proyek donor, tetapi juga aktor perubahan yang benar-benar mewakili kepentingan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dengan menghapus dikotomi palsu antara kewirausahaan dan aktivisme, OMS dapat mengadopsi pendekatan yang lebih holistik, menjadi organisasi yang kritis sekaligus adaptif, ideologis namun inovatif. Perubahan mentalitas ini adalah kunci untuk memastikan bahwa OMS tidak hanya bertahan di tengah berkurangnya dana donor, tetapi juga berkembang sebagai organisasi yang lebih kuat, mandiri, dan berpengaruh dalam menciptakan perubahan sosial.
Ketiga, Mengubah Paradigma tentang Laba dalam OMS. Salah satu langkah penting dalam memperkuat kemandirian finansial OMS adalah menghapus pandangan keliru bahwa OMS tidak dapat atau tidak seharusnya menghasilkan laba (Richard Holloway,2001). Dalam konteks bisnis konvensional, laba dipahami sebagai selisih lebih antara penghasilan dan pengeluaran yang kemudian didistribusikan kepada pemilik, pemegang saham, atau individu terkait. Model ini memang menjadi dasar operasional perusahaan komersial yang berorientasi pada keuntungan.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), konsep laba perlu dipahami dalam konteks yang berbeda. Setiap pendapatan atau surplus yang dihasilkan oleh OMS bukan untuk keuntungan pribadi, melainkan sepenuhnya diinvestasikan kembali ke dalam program, kegiatan, dan operasional organisasi. Tujuan utamanya adalah mendukung misi sosial yang menjadi inti dari keberadaan OMS, bukan untuk memperkaya individu atau kelompok tertentu. Dengan kata lain, tidak terjadi akumulasi modal dan OMS dapat dan seharusnya menghasilkan pendapatan, asalkan seluruh hasil tersebut digunakan untuk memperluas dampak sosial dan memperkuat kapasitas organisasi.
Menghasilkan laba atau pendapatan tidak bertentangan dengan nilai-nilai OMS. Sebaliknya, pendekatan ini justru memperkuat keberlanjutan organisasi dalam jangka panjang. OMS yang mampu menciptakan sumber pendapatan mandiri akan lebih fleksibel dalam menentukan agenda, lebih bebas dari tekanan donor, dan lebih mampu menyesuaikan program sesuai kebutuhan komunitas yang mereka layani.
ADVERTISEMENT
Namun, penting untuk ditekankan bahwa proses pengumpulan dan pengelolaan pendapatan oleh OMS harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Setiap pemasukan dan pengeluaran perlu disampaikan kepada publik melalui sarana informasi yang jelas dan mudah diakses, sehingga memastikan kepercayaan dari masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya tetap terjaga.
Dengan demikian, tidak ada alasan bagi OMS untuk menghindari aktivitas yang menghasilkan pendapatan. Selama pendapatan tersebut digunakan untuk memperkuat misi sosial dan tidak dibagikan kepada individu atau pihak tertentu, OMS justru dapat memanfaatkan peluang kewirausahaan untuk meningkatkan dampak sosialnya. Menghapus stigma bahwa OMS tidak boleh menghasilkan laba adalah langkah penting menuju kemandirian dan keberlanjutan organisasi.
Selain itu, hal ke empat yang juga penting adalah meningkatkan pemahaman OMS tentang cara membangun hubungan yang lebih simbiotik dengan sumber daya lokal. Pendekatan ini tidak hanya sekadar mencari pendanaan, tetapi juga melibatkan proses kolaboratif yang memperkuat keterlibatan dengan komunitas dan pemangku kepentingan setempat. Meskipun memerlukan waktu, upaya, dan komitmen untuk membangun kepercayaan, hubungan semacam ini akan memberikan manfaat jangka panjang yang lebih berkelanjutan dibandingkan ketergantungan pada sumber dana eksternal.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, kolaborasi erat dengan masyarakat dampingan menjadi kunci dalam membangun kemandirian OMS. Model ini menekankan pentingnya pengembangan logistik dan infrastruktur secara bersama-sama dengan komunitas yang dilayani. Dengan melibatkan komunitas dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan program, OMS tidak hanya memperkuat hubungan, tetapi juga memastikan bahwa program-program yang dijalankan benar-benar relevan dan sesuai dengan kebutuhan lokal.
Pendekatan ini memungkinkan OMS untuk memanfaatkan potensi lokal secara optimal, baik dalam bentuk sumber daya manusia, jaringan sosial, maupun peluang ekonomi yang ada di sekitar mereka. Sinergi antara OMS dan masyarakat lokal ini akan menciptakan ekosistem yang saling menguntungkan, di mana organisasi tidak hanya menjadi pelaksana program, tetapi juga mitra strategis dalam pembangunan komunitas.
ADVERTISEMENT
Menuju OMS yang berkelanjutan
Mentalitas yang terbelenggu oleh sistem pendanaan donor bukan hanya penghalang bagi perubahan, tetapi juga tantangan terbesar bagi keberlanjutan OMS. Untuk mencapai keberlanjutan pendanaan lokal, OMS perlu merombak cara pandang mereka terhadap pendanaan, mengembangkan budaya kewirausahaan sosial, dan membangun hubungan yang lebih erat dengan komunitas lokal.
Perubahan mentalitas ini tidak bisa dilakukan dengan terburu-buru. Ini adalah proses yang membutuhkan pemahaman mendalam, komitmen yang kuat, serta kesiapan untuk beradaptasi dengan kebutuhan dan dinamika sosial-ekonomi yang ada. Namun, dengan mentalitas yang lebih mandiri dan berorientasi pada keberlanjutan, OMS tidak hanya akan lebih tahan terhadap fluktuasi pendanaan donor, tetapi juga akan semakin kuat dalam menciptakan dampak sosial yang berkelanjutan.
Jika Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) ingin bertahan dan berkembang di tengah tantangan pendanaan yang terus berubah, mereka harus mampu bertransformasi secara menyeluruh. Transformasi ini tidak hanya sebatas pada cara mencari pendanaan, tetapi juga mencakup pembangunan model organisasi yang lebih mandiri, profesional, dan berkelanjutan, tanpa mengorbankan identitas sosial dan misi utama mereka.
ADVERTISEMENT
Dengan mengadopsi pendekatan ini, OMS tidak hanya akan memperkuat dirinya sendiri, tetapi juga mendorong terciptanya ekosistem sosial yang lebih tangguh di Indonesia. Organisasi yang kuat dan mandiri akan mampu memberikan dampak yang lebih besar, menjawab kebutuhan masyarakat secara efektif, dan mengurangi ketergantungan pada donor eksternal. Pada akhirnya, kemandirian OMS adalah kunci untuk memastikan bahwa gerakan sosial di Indonesia tetap hidup, dinamis, dan relevan dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan.
Referensi
Richard Holloway. (2001). Menuju Kemandirian Keuangan. Yayasan Obor Indonesia.
Bob Doppelt. (2010). Leading Change Toward Sustainability: A Change Management Guide for Business, Government and Civil Society. Greenleaf Publishing.
Lisa Cannon. (1999). Life beyond Aid: Twenty Strategies to Help Make NGOs Sustainable. Initiative for Participatory Development.
ADVERTISEMENT
Penulis :
Martin Dennise Silaban (Peneliti di SHEEP Indonesia Institute &Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM. Berbagai tulisannya sudah dimuat di media nasional maupun lokal seperti The Jakarta Post, Kompas, Tempo, Mongabay, Solopos, Lampung post, SuaraMerdeka, GreenNetwork Asia, Tropis.id, Mudabicara.id, rmol.id, Kedaulatan Rakyat, dan Floresa.co).