Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.0
Konten dari Pengguna
Ritual Memanggil Hujan
9 Juli 2022 16:23 WIB
Tulisan dari Maryam Nurfauziah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Musim kemarau berkepanjangan membuat para petani dan sejumlah masyarakat gelisah. Mereka kesulitan mencari air untuk mengairi sawah dan memenuhi kebutuhan lainnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, seorang warga di Desa Luragung Kecamatan Luragung Kabupaten Kuningan yang bernama Aki Nata membuat sebuah mantra untuk memanggil para ruh leluhur untuk masuk ke dalam sebuah boneka yang bernama Cingcowong.
Cingcowong itu digunakan satu kali setiap musim kemarau yang bertujuan untuk meminta hujan. Pada saat itu, karena masih kental dengan hal gaib, masyarakat percaya bahwa pagelaran Cingcowong bisa mendatangkan hujan.
Boneka Cingcowong terbuat dari tempurung kelapa yang dilukis dan dihias sehingga menyerupai seorang putri cantik. Dengan badan yang terbuat dari rangkaian bubu ikan yang diberi baju dan sampur serta diberi kalung yang terbuat dari bunga kemboja yang berasal dari pemakaman.
Penggunaan bunga kemboja sangat berpengaruh dengan datangnya ruh bidadari, sebagaimana yang dijelaskan oleh Abah Oni yang merupakan penggerak seni di Luragung. “Kalau tidak menggunakan bunga kamboja, bidadari atau arwah yang dipanggil dari mantra tersebut tidak akan hadir.”
ADVERTISEMENT
Setiap ritual Cingcowong biasanya dimainkan oleh seorang pemandu yang biasanya mempunyai kemampuan khusus dibidang spiritual.
Selain boneka Cingcowong ada beberapa hal lain juga yang perlu disiapkan yaitu, taraje (tangga bambu), satu buah tikar, sesajen seperti : kemenyan, kaca, sisir, dan ember.
Mantra yang dibuat oleh Ki Nata tersebut merupakan mantra yang asal jadi, namun memiliki makna yang sangat dalam.
“Cingcowong-cingcowong, bil guna bil lembayu, shalala lala lenggut, lenggute anggedani, aya panganten anyar, aya panganten anyar, lili lili pring, denok simpring ngaliro,mas borojol gedog, mas borojol gedog, lilir guling gulinge sukma katon gelang-gelang layone, layoni putra maukung, maukung mangundang dewa, anging dewa anging sukma, bidadari lagi teka, bidadari lagi teka. Kami junjang kami loko, pajulo-julo temu bumiring mandiloko. Hujan, hujan, hujan.”
ADVERTISEMENT
Pada saat di lirik “bidadari lagi teka, bidadari lagi teka,” sang ruh putri pun langsung masuk ke boneka Cingcowong tersebut dan boneka tersebut langsung bergerak tidak karuan sehingga membuat penonton ketakutan dan lari berhamburan. Untuk menetralkan suasana sang pemandu mengucapkan kata-kata, “cingcowong, cingcowong, hulu canting awak bubu,” diiringi dengan mencipratkan air bunga kemboja kepada para penonton sambil mengucapkan kata-kata “hujan, hujan, hujan.” Kemudian sang hujanpun turun.
Akibat digerus oleh zaman, tradisi Cingcowong mulai banyak perdebatan karena menganggap hal musyrik yang dapat merusak akidah. Sehingga untuk tetap melestarikannya para penggiat kesenian di Luragung menghadirkan tarian Cingcowong agar tetap menjadi budaya di Desa Luragung dan menjadi hiburan masyarakat setempat.