Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perempuan, Feminisme, dan Industri Musik Global
5 Januari 2023 17:03 WIB
Tulisan dari Mataair Izzata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Musik ialah rupa seni yang telah menjadi bagian dari perjalanan umat hidup manusia di bumi. Bermula dari alat musik perkusi yang sangat sederhana dari benda-benda di sekitar hingga instrumen elektronik dengan segala kekompleksitasannya. Pada era musik modern di saat dunia mulai dikuasai oleh kapitalisme, musik tidak hanya dinikmati tapi juga dijadikan sebagai bisnis. Hal ini lah yang kita kenal dengan industri musik. Para musisi berlomba-lomba agar karyanya mendapatkan jumlah views atau stream yang masif, dapat menembus tangga lagu nasional atau bahkan mancanegara, memperoleh keuntungan yang banyak dari hasil penjualan musiknya, dan pencapaian lainnya yang bisa membuktikan eksistensi mereka di industri ini.
ADVERTISEMENT
Industri musik kerap kali terlihat sebagai industri yang menyenangkan, penuh dengan gemerlap, mengalirkan banyak pendapatan, namun kenyataan di baliknya tidak seindah yang dibayangkan. Industri musik sama dengan industri lainnya yang banyak diisi oleh kaum pria. Tidak jarang kaum perempuan di industri ini mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan seperti menjadi korban diskriminasi, korban ekploitasi, hingga menjadi korban kekerasan seksual.
Berawal dari nasib yang dialami oleh sesama perempuan, kemudian terbentuklah gerakan feminisme di dalam industri musik. Feminisme sendiri merupakan gerakan emansipasi perempuan yang dengan lantang menyuarakan mengenai perbaikan keudukan perempuan dan menolak adanya perbedaan derajat antara laki-laki dengan perempuan (Marry, 1972). Gerakan feminisme dalam industri musik tidak hanya memperjuangkan para pelaku di industri namun juga menyuarakan feminisme melalui karya-karya mereka untuk terus mendorong para perempuan di seluruh dunia juga turut memperjuangkan hak-haknya.
ADVERTISEMENT
Madonna, musisi perempuan ternama yang menjadi salah satu pelopor dalam pergerakan feminisme di industri musik. Pada era tersebut sebenarnya sudah lumayan banyak yang tersadarkan akan peran perempuan di ruang publik, namun tetap saja masih kalah dengan sistem patriarki yang mendominasi. Madonna sering kali menyampaikan aspirasinya seperti di dalam pidato saat memenangkan penghargaan dan juga sering dalam program wawancara.
Tidak hanya itu ia juga menggunakan karyanya seperti dalam lagu "Express Yourself" yang menyuarakan agar perempuan tidak mudah bergantung kepada lelaki dan mampu berdiri kembali setelah berhasil melewati hubungan asmara yang abusive. Pengaruh Madonna dalam industri musik yakni dapat membuka jalan lebih lebar lagi bagi para musisi perempuan pada generasi berikutnya. Kesempatan yang dimiliki akan lebih besar dari sebelumnya dan musisi perempuan tidak lagi dipandang sebelah mata.
Musisi perempuan besar berikutnya yang juga vokal dalam isu feminisme ialah Beyoncé. Siapa sih yang tidak mengenalnya? Selain menjadi ikon pop di tahun 2000an ia juga aktif dalam memperjuangkan kesetaraan gender melalui karyanya terutama terhadap perempuan kulit hitam. Lagunya yang paling fenomenal akan bersatunya kekuatan perempuan mungkin sudah tidak asing lagi didengar banyak orang. ”Run the World (Girls)” menjadi karyanya yang monumental dalam pergerakan feminisme. Melodi serta ritme yang penuh semangat dan juga lirik yang begitu empowering sangat men-trigger para perempuan untuk terus maju dan membuktikan jika mereka juga bisa menaklukkan dunia di tangannya tanpa harus bergantung kepada laki-laki. Beyoncé juga sering kali menampilkan citra perempuan yang kuat, garang, dan sangar di setiap penampilannya.
ADVERTISEMENT
Generasi berikutnya hadirlah Lizzo yang juga musisi perempuan kulit hitam dan sering kali mendapatkan body shaming karena tubuh besarnya. Berawal dari pengalamannya sebagai korban bullying ia mencurahkan seluruh isi hatinya di lagu-lagu yang ia tulis. Lizzo sangatlah vokal dalam menyuarakan keberagaman perempuan mulai dari bentuk tubuh, warna kulit, seksualitas, agama, dan lainnya. Ia juga sering mempersuasi anak perempuan di seluruh dunia jika mereka bisa bermimpi besar dan menjadi apapun yang mereka inginkan. Dedikasinya dalam pergerakan perempuan membuat dirinya ditunjuk sebagai "People’s Champion" di malam penganugerahan People’s Choice Awards 2022. Dalam pidato kemenangannya, ia menggunakan kesempatan tersebut untuk membawa naik ke panggung 17 aktivis perempuan yang bergerak di bidangnya masing-masing dan kemudian diperkenalkan satu-satu. Ia mendedikasikan kemenangannya kepada seluruh perempuan di dunia dan menjadikan malam itu sebagai momen penuh haru serta semangat baru.
Momen bersatunya perempuan dalam industri musik tidak hanya sebatas kolaborasi dalam sebuah karya. Namun juga dukungan terhadap musisi perempuan yang sering kali di bawah kendali laki-laki. Hal ini terjadi pada Britney Spears yang berada dalam konservatori oleh ayahnya sendiri selama kurang lebih 13 tahun. Kejadian ini membuat dirinya tidak diperbolehkan mengelola keuangannya sendiri, bekerja dalam kondisi apapun, dan berbagai kekangan lainnya. Kasus ini sangat menyedihkan, perempuan di berbagai penjuru dunia mulai dari sesama pelaku industri, aktivis, serta penggemar memberikan dukungan yang tiada henti terhadap Britney. Tagar "#FreeBritney" yang juga menjadi nama gerakan untuk membebaskannya dari konservatori selalu menjadi trending topic agar seluruh orang tersadarkan akan hilangnya kebebasan yang dimiliki penyanyi “…Baby One More Time” itu. Perjuangannya bertahun-tahun akhirnya terbayarkan dengan bebasnya Britney dari konservatori pada November 2021 lalu. Pengadilan resmi menyatakan ia terbebas dari “kurungan” ayahnya. Kebebasan Britney menjadi momen kemenangan bukan hanya bagi dirinya namun juga bagi seluruh perempuan di dunia.
ADVERTISEMENT
Perlakuan tidak menyenangkan yang juga sering dialami musisi perempuan adalah menjadi korban seksisme dan candaan seksis. Seksisme sendiri merupakan bentuk prasangka atau diskriminasi terhadap kelompok lain yang memiliki jenis kelamin atau gender yang berbeda (Doob, 2013). Prasangka ini bisa terjadi baik terhadap laki-laki dan perempuan, namun seringnya korban seksisme adalah perempuan. Musisi perempuan yang sering menjadi sasaran tindak seksisme adalah Taylor Swift.
Karirnya yang cemerlang tidak terlepas dari banyaknya omongan buruk terhadapnya. Ia sering dijuluki dengan panggilan “Chart Obsessed Queen” atau “Ratu yang Terobsesi dengan Tangga Lagu”. Julukan ini didapatkan hanya karena promosi musiknya yang masif, berbeda jika musisi laki-laki yang melakukan hal serupa mereka akan dianggap sebagai pekerja keras. Label buruk selalu ditujukan kepada Taylor hanya karena ia musisi perempuan yang memiliki ambisi. Perasaannya kemudian ia curahkan dalam lagunya yang berjudul “The Man” yang menceritakan bagaimana jika dirinya menjadi seorang lelaki yang dapat melakukan apapun tanpa takut dengan omongan buruk yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Hak-hak dan ruang nyaman bagi perempuan akan selalu diperjuangkan di industri musik. Diskriminasi, ketidakadilan, dan perlakuan tidak menyenangkan lainnya haruslah segera diakhiri demi masa depan industri musik yang lebih gemilang. Gerakan feminisme oleh para musisi perempuan juga tak akan ada hentinya untuk selalu menjadi pemantik api semangat bagi semua perempuan di muka bumi ini. Tulisan ini akan ditutup dengan kutipan pidato dari Chimamanda Ngozi Adichie, seorang novelis feminis berkebangsaan Nigeria, yang berkesempatan menyampaikannya pada konferensi TED Talk beberapa tahun lalu.
“We teach girls to shrink themselves, to make themselves smaller. We say to girls, ”you can have ambition, but not too much”. “You should aim to be successful, but not too successful. Otherwise, you would threaten the man”. We raise girls to see each other as competitors not for jobs or accomplishments, but for the attention of men. Feminist, a person who believes in the social, political, and economic equality of the sexes," - Chimamanda Ngozi Adichie, 2013 -
ADVERTISEMENT