Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Melewati Tahun Hak Cipta dengan Interpretasi Teori Stimulus Pertumbuhan Ekonomi
3 Januari 2023 8:06 WIB
Tulisan dari Ahmad Mathori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sepanjang tahun 2022 (tahun Hak Cipta), Kementerian Hukum dan HAM banyak melakukan kerja strategis pada aspek peningkatan permohonan kekayaan intelektual. Hal demikian menjadi penting untuk dilakukan oleh Kementerian yang mempunyai otoritas paling tinggi tentang perlindungan hukum Kekayaan Intelektual, karena berdasar pada teori yang dikembangkan oleh Robert M Sherwood pada tahun 1990 melalui buku yang berjudul, ”Intellectual Property and Economic Development” (Kekayaan Intelektual dan Pembangunan Ekonomi).
ADVERTISEMENT
Menurutnya terdapat beberapa teori yang mendasari perlindungan kekayaan intelektual, diantaranya adalah, Teori Reward, Teori Pemulihan, Teori Insentif, Teori Resiko, dan Teori Stimulus Pertumbuhan Ekonomi.
Sekilas tentang penjelasan teori-teori di atas yang penulis kutip dari sebuah penelitian milik I Wayan Wiryawan dkk, dengan judul “Perlindungan Hukum Karya Inteletual di Bidang Software dan Animasi Bagi Wirausaha Muda”; teori hadiah (reward theory), oleh Robert dikatakan yang pada intinya teori ini memberi pengakuan serta hadiah terhadap karya intelektual yang telah dihasilkan seseorang, biasanya berbentuk penghargaan ataupun perlindungan; kemudian teori pemulihan (recovery theory ), orang yang telah mengeluarkan waktu dan biaya serta tenaga dalam menghasilkan karya intelektualnya harus memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkannya tersebut; teori insentif (incentive theory), dimaknai sebagai pengembangan kreatifitas dengan memberikan insentif bagi para penemu atau pencipta dimana insentif perlu diberikan untuk mengupayakan lahirnya kegiatan-kegiatan penelitian yang berguna; dan teori terakhir sebelum membahas teori inti dalam artikel ini; yaitu teori resiko (risk theory) adalah Hak Kekayaan Intelektual merupakan hasil dari suatu penelitian yang mengandung resiko, sehingga dengan demikian wajar untuk memberikan perlindungan hukum terhadap upaya atau kegiatan yang mengandung resiko tersebut.
ADVERTISEMENT
Teori terakhir, teori stimulus pertumbuhan ekonomi (economic growth stimulus theory), dijelaskan bahwa teori stimulus pertumbuhan ekonomi ini mengakui perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual merupakan suatu alat pembangunan ekonomi, yaitu suatu sistem perlindungan Hak Kekayaan Intelektual yang efektif.
Dikutip dari laman dgip.go.id., interpretasi teori stimulus pertumbuhan ekonomi ini mendapat panggung istimewa dalam dinamika perkembangan Hak Kekayaan Intelektual, khususnya sepanjang tahun 2022 yang disebut-sebut sebagai tahun Hak Cipta.
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual yang merupakan kepanjangan tangan dari Kementerian Hukum dan HAM gencar melakukan sosialisasi betapa pentingnya permohonan pencatatan hak cipta dan merek sebagai bagian dari upaya perlindungan hukum terhadap Kekayaan Intelektual.
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual menerjemahkan teori stimulus pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan oleh Robert M. Serwood ini dengan memberlakukan sistem baru yang sifatnya prosedural, yaitu sistem Persetujuan Otomatis Pencatatan Hak Cipta (POP HC), yang diluncurkan pada Desember 2021, diejawantahkan dalam bentuk aplikasi perangkat lunak dan bisa diakses dari mana saja, dimana saja, serta mempercepat proses pendaftaran yang hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit --dari yang sebelumnya membutuhkan waktu berbulan-bulan.
ADVERTISEMENT
Sistem ini memang tidak terbilang baru, pengembangannya sudah dilakukan sejak tahun 2014 dan resmi digunakan pada tahun 2015, sistem yang diyakini cukup mampu mendongkrak birokrasi lama ini mendapat banyak penghargaan, misalnya aplikasi e-Hak Cipta menjadi wakil Indonesia di ajang “Public Service Exhbition, IT Based Public Service Innovation with Citizen Engangement, ASEAN-ROK Commomerative Summit 2019", Busan Korea. Selain itu, aplikasi e-Hak Cipta juga direncanakan akan diadopsi oleh The African Regional Intellectual Property Organization (ARIPO) sebagai wujud South-South Cooperation.
Dan berdasarkan laporan yang dirilis dalam agenda Yassona Mendengar Jakarta luncuran Ditjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM pada 21 November 2022 lalu, tercatat kenaikan pesat dialami sektor permohonan hak cipta dan pendaftaran merek.
ADVERTISEMENT
Pendaftaran merek di tahun 2020 jumlahnya hanya 18.917, kemudian menjadi 20.605 pada tahun berikutnya, dan naik 50% di tahun 2022 dengan jumlah 30.983 pendaftar. Untuk pegajuan pencatatan Hak Cipta sendiri di tahun 2020 sejumlah 5.996, menjadi 8.724 setahun setelahnya, dan menjadi 10.534. Catatan ini wilayah untuk DKI Jakarta yang menempatkan posisi teratas dari masing-masing wilayah di seluruh Indonesia.
Untuk keseluruhan pencatatan Hak Cipta se-Indonesia, periode sebelum menerapkan POP HC (2020) sebanyak 58.082 permohonan, naik menjadi 83.708 pada masa peralihan ke POP HC, dan menjadi 91.566 setelah diberlakukannya POP HC (per 19 November 2022).
Jumlah angka di atas kemudian dipertegas oleh Yassona H Laoly, Menteri Hukum dan HAM, dalam memandang pentingnya pencatatan hak cipta, menurutnya; “Ada sebuah penelitian mengatakan. Jumlah permohonan Kekayaan Intelektual di suatu negara, berbanding positif dengan kemajuan ekonominya. Semakin tinggi permohonan dan pendaftaran Kekayaan Intelektual di negara tersebut, semakin maju negara tersebut,” kata Menteri yang memegang otoritas penuh terhadap perlindungan Kekayaan Intelektual Tanah Air.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, penulis menilai bahwasanya Ditjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM telah tepat dalam menerjemahkan teori yang dikemukakan oleh Robert M Sherwood, teori stimulus pertumbuhan ekonomi menjadi dasar bagi Kementerian Hukum dan HAM melakukan berbagai macam gawai dengan tujuan mempermudah proses pendaftaran hak cipta dan merek.
hal demikian juga berhubungan dengan teori hadiah dan teori insentif, dimana para pelaku hak cipta yang memastikan karyanya atau bentuk usahanya didaftarkan kepada pihak yang dapat menjamin perlindungan hukum bagi mereka (pelaku hak cipta), maka keberlangsungan perputaran roda ekonomi dapat lebih optimal.
Kemudian, apabila hal tersebut dikorelasi pada situasi pasca pandemi COVID-19, maka jawaban dari percepatan pemulihan ekonomi telah mampu dijawab oleh Ditjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM.
ADVERTISEMENT