Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Simbol Petunjuk dalam Obor Tradisi Luk-Culuk
15 Juni 2017 16:07 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
Tulisan dari Kauleh Torul tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sangat beragam cara penghuni bumi di berbagai belahan yang berbeda dalam memaknai simbol api. Tahun ayam api, begitu kata astrologi Tionghoa dalam menyambut 2017 ini. Jika ayam jago adalah representasi kedisiplinan dan ketepatan waktu, konon, elemen api di dalamnya merupakan simbol kehangatan dan ketenangan batin. Geser ke barat, legenda Yunani kuno memercayai bahwa api adalah simbol kesucian. Simbol ini pula yang menginspirasi orang-orang Eropa untuk menyalakan obor pada setiap perhelatan olimpiade.
ADVERTISEMENT
Di tanah air, kiranya api adalah simbol semangat. Sebagaimana lapisan emas murni yang membentuk jilatan api pada puncak Monumen Nasional di jantung ibukota, yang merepresentasikan kobaran semangat ketika memperjuangkan kemerdekaan.
Madura sendiri lekat dengan legenda api abadi. Mitos yang sejauh ini dipercaya adalah bahwa sejarah api abadi ini erat kaitannya dengan kisah seorang tokoh penyebaran Islam di Madura, khususnya di Pamekasan. Adalah Hadagi atau kerap disebut Ki Moko, sang tokoh, yang bermaksud menggelar upacara pernikahan di bawah pohon Palembang yang rimbun. Karena kondisi gelap, Ki Moko mengetukkan tongkat saktinya ke tanah, kemudian muncullah ke permukaan kobaran api dari dalam tanah. Kobaran api inilah yang kemudian mampu memberi penerangan meski upacara dilaksanakan pada malam hari.
Simbol api sebagai pemberi penerangan ini juga bisa kita temui pada tradisi unik Madura yang dijuluki Luk-Culuk. Tradisi ini khususnya masih terus dilakukan hingga kini di Bangkalan.
ADVERTISEMENT
Tradisi Luk-Culuk berasal dari kata ‘colok’ dalam bahasa Madura, yang artinya dalam bahasa Melayu adalah obor. Tradisi ini dilakukan setiap malam ke-21 atau kerap disebut malem lekoran, pada bulan Ramadhan. Khususnya untuk memperingati malam turunnya kitab suci Alquran atau malam Lailatul Qadr, yang turun pada sepertiga malam ganjil di 10 hari terakhir bulan Ramadhan.
Sebagaimana julukannya, tradisi ini dilakukan dengan menyalakan obor beramai-ramai. Menjelang malam ke-21 warga umumnya sudah menyiapkan obor yang akan dinyalakan semenjak sebelum waktu berbuka puasa tiba. Jelang berbuka warga akan nyare malem dengan berkumpul di lapangan desa. Obor-obor mulai dinyalakan.
Sesaat setelah berbuka, sehabis masing-masing membatalkan puasa, mereka mulai berarak keliling kampung. Umumnya arak-arakan ini didominasi oleh anak-anak kecil, meski tetap didampingi beberapa paruh baya. Sambil berarak dan menjunjung obor, puluhan anak-anak ini akan terus melantunkan shalawat Nabi, ayat-ayat yang memuat sanjungan dan doa untuk Rasulullah saw sebagai penerima mukjizat Alquran.
ADVERTISEMENT
Pawai mini ini tidak berlangsung lama. Yakni hanya setelah waktu berbuka hingga menjelang waktu shalat taraweh tiba. Setelah berkeliling kampung, arak-arakan akan menuju masjid untuk melaksanakan ibadah taraweh yang dilanjutkan dengan mendaras Alquran, inti dari peringatan malam turunnya Alquran. Meski malam lailatul qadr diyakini turun pada salah satu malam di seluruh malam ganjil di 10 hari terakhir Ramadhan, tradisi ini umumnya hanya dilakukan satu kali pada malem lekoran saja.
Kiranya tradisi ini menambah unik kekhasan Madura dalam merayakan malam ganjil di bulan Ramadhan. Melalui tradisi-tradisi ini, kita juga bisa melihat bagaimana masyarakat Madura pada umumnya dalam memaknai keistimewaan bulan Ramadhan. Utamanya melalui simbol-simbol yang direpresentasikannya.
Malem lekoran tidak hanya soal ther-ather sajian tajhin yang liat, seliat ikatan persaudaraan yang mereka harapkan semakin mengental di bulan Ramadhan. Ramadhan di Madura juga berkisah tentang obor, tentang suluh atau penerang. Ini sekaligus memaknai bulan Ramadhan sebagai bulan turunnya kitab suci Alquran. Bagi umat muslim, Alquran yang diturunkan ke bumi melalui Rasulullah saw adalah penerang, adalah pemberi petunjuk. Kiranya ini yang hendak disampaikan ketika puluhan anak-anak berkumpul jelang malam ke-21, menyumpali ujung bambu-bambu dengan secarik kain yang sudah direndam ke dalam bahan bakar, kemudian menyalakan api, berarak sambil melantunkan shalawat nabi.
ADVERTISEMENT