Konten dari Pengguna

Tajhin Peddis dan Tradisi Malem Lékoran

Kauleh Torul
Bernama asli Ir. M. Matorrurozaq M.MT, dilahirkan di Jrengik Kab. Sampang. Alumnus pesantren dan juga insinyur teknik. Santri yang juga insinyur.
8 Juni 2017 8:15 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kauleh Torul tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tajhin Peddis dan Tradisi Malem Lékoran
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Budaya mengekspresikan rasa syukur dengan berbagi makanan tampaknya sudah jamak saja di Indonesia. Umumnya kita menyebutnya selamatan, tapi tiap daerah seolah punya istilah sendiri-sendiri.
ADVERTISEMENT
Orang Madura menyebutnya salametan, yang artinya memberi ucapan selamat dan rasa syukur. Dengan bersyukur, berkah dipercaya akan selalu datang.
Karena pada dasarnya berkah diharap datang dari berbagai hal, tradisi salametan ini mudah sekali dijumpai pada banyak kegiatan. Mulai dari hajatan yang cenderung bersifat individual, hingga kegiatan yang lebih komunal.
Seperti bersyukur akan tersedianya sumber air bersih bagi warga, orang mengadakan salametan somor. Bersyukur datangnya bulan Muharram, orang mengadakan salametan sorah. Bersyukur datangnya Ramadhan atau Idul Fitri sambil mendoakan sanak yang sudah meninggal, orang mengadakan salametan makam.
Ramadhan ini kiranya bulan yang cukup sibuk. Ucapan syukur tidak cukup diekspresikan hanya untuk menyambut bulan ini saja.
Di sepertiga pada penghabisan Ramadhan, umat muslim masih perlu mengadakan selamatan. Ini karena sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan merupakan hari-hari yang istimewa. Terlebih lagi pada malam-malam ganjil.
ADVERTISEMENT
Al-Qur’an, kitab suci umat Islam, dipercaya turun pada satu malam di antara malam-malam ganjil di sepertiga bulan Ramadhan, atau biasa disebut malam Lailatul Qadr. Tidak ada kepastian pada malam ganjil yang manakah. Karenanya, selamatan umumnya diadakan di antara hari-hari ganjil tersebut.
Entah hari ke-21, yang dalam bahasa Madura disebut salékor, ke-25, atau saghemik, atau ada pula yang mengadakan salametan pada hari ke-27, atau disebut petto lékor.
Tajhin Peddis dan Tradisi Malem Lékoran (1)
zoom-in-whitePerbesar
Dalam Bahasa Madura, ‘lékor’ digunakan untuk menyebut bilangan di atas 20, di bawah 30. Ini pula sebabnya, tradisi salametan pada tanggal-tanggal ganjil di sepertiga bulan Ramadhan disebut lékoran.
Salametan ini dilakukan dengan memasak makanan siap saji, lalu mengantarkannya ke tetangga, sanak keluarga dan tak lupa pada kyai yang dihormati di desa atau daerah masing-masing. Di Madura sendiri, tradisi ini juga disebut ‘ther-ather’. Dari kata ‘ather’ yang dalam bahasa Melayu maknanya mengantar.
ADVERTISEMENT
Masakan yang akan diantarkan pada tetangga dan kerabat ini umumnya tidak seragam, tergantung si pemberi, atau tak jarang sesuai kesepakatan satu kampung tertentu.
Tapi umumnya ada beberapa menu yang khas, yang hampir selalu ada pada hidangan lékoran. Seperti ketan atau sompel untuk kudapan, hingga ayam opor untuk makanan berat, yang di Madura disebut dhun-adhun.
Ada pula yang menyajikan nase’ lasor, yakni nasi yang dibentuk kerucut dengan daun pisang. Nase’ lasor biasanya disandingkan dengan sambal atau biasa disebut ‘nase’ sambhel’, atau terkadang dengan urap, salad sayur dengan taburan parutan kelapa dan sambal.
Diantara sajian tersebut, ada satu kudapan yang hampir tak pernah absen pada tradisi lékoran, atau bahkan pada jenis ritual apapun, yakni tajhin. Dalam bahasa Melayu ‘tajhin’ kurang lebih bisa diartikan sebagai bubur.
ADVERTISEMENT
Tajhin Peddis dan Tradisi Malem Lékoran (2)
zoom-in-whitePerbesar
Tajhin dibuat dari beras yang dimasak hingga memiliki tekstur yang lembut dan lembek karena air. Sajian tajhin ini pun cukup bervariasi, tergantung kampung tertentu atau acara tertentu.
Pada tradisi lékoran, ada yang menyajikan tajhin rojhak dan bubur mie, yang biasa disebut tajhin mie, yakni bubur yang diberi topping mie. Ada pula yang menghidangkan tajhin resem, atau tajhin campur. Sesuai namanya, tajhin dihidangkan dengan campuran masakan lain, seperti ubi, kacang panjang atau kacang hijau.
Di Sampang sendiri, umumnya orang-orang memilih menyertakan tajhin peddis pada hidangan yang diantarkannya pada kerabat dan tetangga. Variasi tajhin yang terbilang cukup praktis dan sederhana ini biasanya disertai campuran daging sapi, telur dadar, acar mentimun berwarna kuning dan taburan irisan cabai.
ADVERTISEMENT
Irisan cabai ini mungkin yang membuatnya disebut tajhin peddis atau pedas. Meski tetap saja, rasa yang dominan sejatinya bukan pedas, melainkan gurih dan asin. Sebab tajhin juga dicampur dengan kuah campuran petis ikan, petis khas Madura dengan dominasi rasa gurih.
Hidangan tajhin sebagai takjil di bulan Ramadhan juga cukup populer di Madura, termasuk di Sampang. Tak perlu menunggu hingga sepuluh hari terakhir. Jika ingin menikmati gurihnya tajhin peddis, banyak penjual yang menjajakan variasi bubur ini di kawasan Monumen Sampang setiap menjelang buka puasa. Harganya juga cukup ramah, sekitar Rp 5000 per porsi.
Banyak cerita tentang tajhin sebagai hidangan khas, bukan hanya pada tradisi lékoran saja. Pada beberapa ritual salametan lain, tajhin hampir tak pernah ketinggalan untuk dihidangkan. Ada yang mengaitkannya dengan kisah Nabi Nuh a.s. dan umat-umatnya yang beriman yang selamat dari banjir bandang.
ADVERTISEMENT
Konon, mereka bertahan hidup dengan memasak sisa-sisa perbekalan pelayaran yang ternyata hanya cukup untuk membuat bubur. Karenanya, bubur dihidangkan sebagai doa agar selamat dari musibah, sebagaimana umat Nabi Nuh yang beriman.
Ada pula yang mengaitkannya dengan tekstur tajhin yang liat dan kental. Teksturnya yang kental dianggap sebagai representasi ikatan silaturahmi yang erat. Tradisi ther-ather sejatinya memang lebih dari sekedar mengantar makanan.
Ketika memberikan makanan, sebenarnya kita juga menerima. Prosesi ini kiranya yang akan makin menguatkan silaturahmi dengan para tetangga, kerabat sekaligus wujud hormat kita pada kyai.