Konten dari Pengguna

Mengapa Mencoblos Semua Paslon dalam Pemilu bisa Dianggap "Benar"?

Maulana Akbar
Peneliti di Pusat Ekonomi Industri, Jasa, dan Perdagangan - BRIN
11 September 2024 6:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maulana Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mengapa mencoblos semua paslin dalam Pemilu bisa dianggap 'benar'? (illustrasi; dibuat olah AI)
zoom-in-whitePerbesar
Mengapa mencoblos semua paslin dalam Pemilu bisa dianggap 'benar'? (illustrasi; dibuat olah AI)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Akhir-akhir ini terdapat tren untuk mencoblos semua kandidat dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Jakarta. Gerakan tersebut merupakan respons dari publik atas gonjang-ganjing politik pada proses Pilkada Jakarta di tahun ini. Sebagian publik tidak puas dengan ring tinju dari kompetisi yang ada.
ADVERTISEMENT
Mereka berpendapat, calon pemimpin Jakarta tidak sesuai dengan yang publik inginkan. Hal ini menjadi wajar, dua kandidat dengan elektabilitas tinggi tidak berkompetisi di Pilkada Jakarta 2024.
Ide mencoblos semua mendapatkan respons yang beragam. Rano Karno, salah satu calon wakil gubernur, berpendapat bahwa gerakan ini akan merugikan demokrasi. Respons Si Doel ini didasari bahwa suara tersebut akan tetap dihitung tidak sah, dan percuma saja. Tidak ada perbedaan dengan meraka yang tidak datang ke TPS.
Sedangkan Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta Periode 2017-2022 berpendapat sebaliknya. Gerakan tersebut merupakan hak konstitusi dan harus dihormati.
Di sosial media, seperti X, gerakan tersebut semakin santer. Kedua pendapat memiliki alasan yang sama-sama rasional dan dapat diterima. Sampai saat ini tidak ada konsensus yang menentukan benar-salahnya untuk melakukan gerakan golput seperti itu.
ADVERTISEMENT
Gerakan seperti ini sebenarnya sudah tertuang dalam Pasal 284 UU Pemilu yang berbunyi “bahwa pelaksana dan tim Kampanye Pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu baik secara langsung atau tidak langsung untuk tidak menggunakan hak pilihannya atau menggunakan hak pilihannya dengan memilih peserta pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suara tidak sah … akan dihukum paling lama 3 tahun dan denda paling banyak 36 juta (di pasal 515)”
Ada dua kata kunci yang menarik, yaitu pelanggaran yang terjadi berdasarkan “menjanjikan memberikan materi” dan “tim pelaksana dan tim kampanye pemilu.” Hal ini berarti gerakan dianggap melanggar UU Pemilu apabila dilaksanakan secara terorganisir olah tim pelaksana atau salah satu tim kampanye dengan memberikan imbalan. Hal ini berarti gerakan yang dilakukan secara organik dan tanpa imbalan tidak melanggar UU Pemilu.
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu pemilih di Pilkada Jakarta, saya merasa bahwa panggung pilkada mestinya menyajikan orang-orang terbaik, bukan memberikan ruang tarung bagi orang-orang yang dipilih dengan kepentingan segelintir kelompok. Saya merasakan seperti apa yang kelompok 'penggerak coblos semua paslon' rasakan.
Tapi di sisi lain, saya adalah orang yang tidak pernah golput sejak ber-KTP. Kurang lebih sejak sekitar pemilihan presiden 2009 saya selalu memberikan suara saya. Rasanya benar kata Bang Rano, sangat sayang sekali atas upaya demokrasi yang telah kita lalui selama ini apabila kita buang-buang kesempatan untuk memilih. Di negara lain, belum tentu ada keistimewaan untuk memilih calon gubernur secara langsung seperti di Indonesia.
Saya rasa, di titik tengah dua dilema tersebut, kita bisa beranggapan bahwa negara kita sedang berproses pada demokrasi yang adil bagi semua. Pengambilan suara, tidak hanya angka, tetapi juga bagaimana pilihan tersebut juga meningkatkan nilai proses demokrasi kita yang sudah berjalan selama ini. Hematnya, apakah upaya-upaya kita untuk pemilu dapat mengumpulkan semua aspirasi dengan reliabel?
ADVERTISEMENT
Untuk menjawab itu, dapat dilihat golput dengan dua hal. Pertama, adalah golput bagi mereka yang bodo amat. Saya punya kok teman yang memilih golput karena malas, terlalu sibuk, atau memang tidak ada minat untuk memilih. Tetapi ada juga golput yang merupakan sikap. Mereka datang, mencoblos semua, karena sikap bahwa “suara saya tidak hilang, terlalu mahal, tapi tidak akan diberikan pada siapa pun.”
Nah ini sebenarnya sudah bisa menjawab dua sisi. Bagi orang yang tidak setuju, seperti apa yang disampaikan Rano Karno, itu sangat tepat untuk disisipkan pada kelompok pertama. Sedangkan pada kelompok orang yang kedua dapat dijawab oleh pendapat Anies Baswedan. Kelompok kedua adalah mereka yang memiliki pertimbangan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Kelompok ini adalah kelompok yang mesti kita hormati, seperti apa yang disampaikan Anies Baswedan.
ADVERTISEMENT
Gerakan golput ini pun bisa dijadikan satu variabel terhadap evaluasi kinerja dan kebijakan pemilu di Indonesia. Angka golput yang tinggi, berarti ada hal yang perlu di evaluasi. Tentunya, dengan adanya gerakan ini pemerintah akan terpacu untuk memberikan sistem pemilu dan set kebijakan yang mendorong tingkat partisipasi sah pemilu.
Pemerintah juga, sepertinya bisa mengakomodir gerakan ini pada sistem politik yang lebih baik. Misal, menyediakan pilihan abstain pada lembar suara. Pilihan tersebut akan membuat proses pilkada akan semakin kompetitif. Para calon akan berusaha kuat untuk dapat meyakinkan publik untuk memilih mereka.
Pada akhirnya, saya berharap demokrasi kita terus bergerak pada sisi yang positif. Kita tahu dan merasakan benar, perlu upaya dan keringat yang banyak untuk mendapatkan hak memilih seperti ini. Kita pernah melewati masa di mana pemilu hanya sebuah hajatan rutin, dan kita tidak ingin hal itu terjadi lagi di negeri ini
ADVERTISEMENT