Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Jepang Dengan Masalah Demografinya
20 Januari 2025 17:10 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Max Farrel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia optimis akan menjadi salah satu negara maju di tahun 2045. Alasannya karena bonus demografi yang saat ini sedang dialami oleh negara Indonesia. Jumlah penduduk usia produktif di Indonesia saat ini lebih banyak ketimbang usia non produktifnya. Namun, berkebalikan dengan Indonesia. Jepang saat ini tengah mengalami permasalahan dengan populasi penduduknya yang setiap tahun makin berkurang.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari populationtoday. Tercatat jumlah populasi penduduk di Jepang pada tahun 2024 adalah 124 juta jiwa. Angka ini terus menurun di beberapa tahun terakhir. Padahal di tahun 2016, jumlah populasi penduduk di jepang sempat menyentuh angka 127 juta jiwa. Artinya dari 8 tahun terakhir ini, populasi penduduk Jepang sudah berkurang sekitar 3 juta jiwa.
Meskipun masih menduduki peringkat ke-12 sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Nyatanya, permasalahan demografi ini menjadi masalah serius bagi pemerintah Jepang. Mulai dari menurunnya jumlah kelahiran di Jepang sampai angka usia non produktif yang sangat tinggi.
Sebenarnya tren yang sama juga terjadi di negara-negara sekitaran Jepang, seperti China dan Korea Selatan. Pemerintah dari kedua negara tersebut sedang berupaya untuk menyelesaikan masalah demografi mereka yang terus menurun. Permasalahan ekonomi biasanya menjadi masalah utama, mengapa negara-negara tersebut kesulitan menaikkan angka kelahiran.
ADVERTISEMENT
Banyak warga di negara-negara maju, seperti Jepang memilih untuk tidak menikah ataupun tidak mempunyai anak karena pertimbangan ekonomi. Alasannya mulai dari biaya pendidikan anak yang tinggi, industri kerja yang sangat ketat, serta jaminan minim untuk mereka dapat berkehidupan yang layak.
Selain itu, Jepang juga terkenal dengan budaya kerja yang konservatif dan penuh tekanan. Menurut The Japan Times, 1 dari 4 perusahaan mengakui bahwa karyawan mereka mengambil jam lembur lebih dari 80 jam per bulan. Artinya, karyawan mereka dalam sehari mengambil jam lembur 2-3 jam.
Belum lagi, budaya minum-minum yang biasa dilakukan sepulang kantor. Membuat waktu hidup setiap pekerja di jepang tersita oleh perusahaan mereka. Fenomena pekerja tertidur di stasiun kereta menjadi hal yang umum bagi kebanyakan warga Jepang.
ADVERTISEMENT
Etos kerja yang gila-gilaan tersebut sebenarnya juga terpengaruhi oleh budaya Jepang yang dikenal sebagai Bushido. Bushido merupakan kode etik bagi samurai yang akhirnya diterapkan menjadi budaya kerja modern.
Kode etik ini menekan pada nilai-nilai moral seperti kesetiaan, kehormatan, dan tanggungjawab. Sayangnya, kebanyakan warga Jepang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai ini sampai berdampak buruk bagi dirinya sendiri.
Misalnya nilai loyalitas yang ada pada nilai-nilai Bushido. Samurai digambarkan sebagai seorang ahli pedang yang memiliki loyalitas tinggi terhadap tuannya. Pada kehidupan pekerja modern, mereka menggambarkan kesetiaanya kepada perusahaan dengan bekerja lembur.
Kebanyakan pekerja lembur bukan karena keinginan pribadi. Namun, karena adanya desakan sosial yang membaut mereka terpaksa melakukan hal itu. Rata-rata pekerja di Jepang juga seringkali menolak untuk mengambil cuti karena alasan loyalitas terhadap perusahaan.
ADVERTISEMENT
Dengan kehidupan antara dunia kerja dan dunia luar yang tidak seimbang. Membuat setiap pekerja di Jepang memiliki tingkat stress yang tinggi. Bahkan, di jepang terdapat fenomena Karoshi. Sebuah fenomena banyaknya warga jepang yang meninggal karena kelelahan bekerja.
Dengan fenomena-fenomena tersebut dan biaya hidup yang sangat tinggi di kota-kota besar seperti Tokyo. Membuat kebanyakan warga di Jepang lebih fokus mengejar karir yang cemerlang ketimbang merencanakan menikah atau memiliki anak.
Berdasarkan Worldometers, rata-rata ekspetasi hidup setiap warga Jepang cukup tinggi, yaitu sekitar 85 tahun. Hal ini membuat Negeri Sakura dipenuhi oleh orang-orang berusia tua. Sayangnya, tingginya ekspetasi hidup tersebut tidak diimbangi dengan angka kelahiran yang juga tinggi. Rata-rata kelahiran setiap perempuan di Jepang adalah 1.2 anak. Berarti rata-rata setiap satu perempuan di Jepang melahirkan tidak sampai dua anak.
ADVERTISEMENT
Menurunnya jumlah kelahiran di jepang tidak semata-mata karena faktor ekonomi saja. Di Jepang terkenal juga dengan budaya patriarki yang sangat tinggi. Pemikiran tradisional mengenai pria harus bekerja keras sedangkan wanita hanya mengurus urusan rumah tangga masih mengakar di kehidupan warga Jepang.
Sehingga urusan rumah tangga dan anak-anak masih didominasi oleh peran ibu. Sedangkan, posisi ayah jarang melakukan urusan rumah tangga dan anak mereka sendiri. Hal ini lah yang membuat setiap wanita di Jepang enggan untuk berumah tangga dan memiliki anak.
Menurut data dari Statistics Bureau of Japan, setidaknya lansia di Jepang mewakili 29,1% dari total populasi di Jepang. Artinya hampir 1/3 dari penduduk Jepang diisi oleh orang-orang lansia. Sedangkan usia dibawah 15 tahun hanya menyumbang 11.4% dari total populasi. Lebih dari setelah populasi di jepang diisi oleh rentang umur 15-64 tahun.
ADVERTISEMENT
Banyaknya jumlah lansia di Jepang dan sedikitnya jumlah kelahiran membuat demografi usia produktif di Jepang mengalami penurunan. Dengan terpaksa, banyak perusahaan-perusahaan di Jepang masih mempekerjakan orang tua karena sedikitnya populasi usia produktif di negeri mereka. Pekerjaan seperti menjadi kasir di minimarket biasanya diisi oleh kalangan lansia agar mereka masih memiliki pemasukan.
Menurunnya populasi usia produktif juga membuat kemunculan fenomena baru di Jepang. Beberapa daerah di Jepang sering terlihat adanya rumah-rumah kosong. Alasannya, pemilik terdahulu dari rumah tersebut sudah meninggal dan tidak ada anak yang akan mewarisi. Akhirnya rumah-rumah tersebut dibiarkan tergeletak dan tidak terawat.
Dengan masifnya orang-orang lansia di Jepang membuat pemerintah perlu merencanakan ulang anggaran negara. Dilansir dari tribunnews, di tahun 2025 pemerintah Jepang menyiapkan 33% dari anggaran fiskalnya untuk menyejahterakan kelompok lansia. Totalnya Pemerintah Jepang menyiapkan 115 ribu triliun yen dan menjadi rekor keuangan terbesar untuk kaum lansia.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari The Japan Times, pada akhir bulan Juni tahun 2024, setidaknya ada 3,31 juta warga asing yang tinggal di Jepang dalam jangka waktu 3 bulan atau lebih. Dari semua warga asing tersebut, negara China mendominasi dengan jumlah 844 ribu orang, lalu warga Vietnam dengan jumlah 600 ribu orang, dan dari Korea Selatan berjumlah 411 ribu orang.
Populasi demografi yang tidak stabil tersebut, membuat beberapa lapangan pekerjaan di Jepang akhirnya mengalami kekosongan. Demi mempertahankan kestabilan ekonomi yang baik, Pemerintah Jepang akhirnya memudahkan setiap imigran yang ingin masuk bekerja di jepang.
Setidaknya terdapat 4 sektor yang jarang diminati oleh setiap anak muda di Jepang, yaitu kosntruksi, manufaktur, agrikultur, dan hospitality. Alasannya kebanyakan anak muda lebih memilih pekerjaan di bidang it. Lalu, membengkaknya jumlah lansia, membuat negara Jepang kekurangan SDM yang mempu merawat orang-orang tua.
ADVERTISEMENT
Namun, mendatangkan pekerja imigran tentu saja memiliki tantangannya sendiri. Setiap imigran yang masuk belum tentu memiliki kemampuan bekerja yang baik. Lalu, tingkat kriminalitas bisanya ikut meningkat, karena adanya imigran yang gagal beradaptasi di negara baru. Belum lagi, masalah-masalah perbedaan budaya yang membuat jurang pemisah antara warga lokal dengan warga asli Jepang.
Di Jepang, sudah ada beberapa kasus kriminalitas yang melibatkan WNI dari Indonesia. Mulai dari kasus pembunuhan antar sesama WNI sampai masalah pembunuhan warga lokal di Jepang. Terbaru, Polisi jepang baru saja menangkap 11 WNI karena kasus pembunuhan antar sesama WNI.
Live Update