Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Menggerus Korupsi dalam Masyarakat Kolektivis
9 April 2023 6:59 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Maya Puspitasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kasus penganiayaan M terhadap D akhirnya membuka kembali tabir tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah. Ayah M, Rafael Alun Trisambodo (R) ternyata tidak sendiri. Mahfud MD selaku Menko Polhukam beberapa waktu lalu sempat menyebutkan bahwa ada sebanyak Rp 349 triliun transaksi janggal di dalam tubuh Kementerian Keuangan.
ADVERTISEMENT
Beberapa akun media sosial bahkan semakin gencar memperlihatkan para pejabat ataupun keluarganya yang gemar memamerkan barang-barang mewahnya (flexing). Tak ayal perilaku budaya korupsi dan flexing ini menimbulkan tanda tanya besar bagi masyarakat karena tidak sebanding dengan pemasukan resmi yang mereka dapatkan.
R sendiri akhirnya sudah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai penerima gratifikasi saat menjalankan tugasnya sebagai pemeriksa pajak pada DJP Kementerian Keuangan dalam kurun waktu 2011-2023.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan adanya Tindakan pencucian uang yang dilakukan R hingga mencapai Rp 500 miliar. Buntut dari perilaku flexing yang dilakukan oleh yang bersangkutan atau anggota keluarganya, beberapa pejabat di instansi pemerintahan dicopot dari jabatannya. Beberapa di antaranya adalah Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta dan Kepala Bea dan Cukai Makassar serta Kepala Subbagian Administrasi Kendaraan Biro Umum Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).
Yang terbaru, KPK telah menetapkan 10 pegawai Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja (tukin). Tak tanggung-tanggung, jumlah potongan tukin pegawai di lingkungan Kementerian ESDM untuk tahun anggaran 2020 hingga 2022 berkisar hingga puluhan miliar rupiah. Ironisnya perilaku menggelapkan uang rakyat ini terjadi di tengah-tengah himpitan ekonomi yang dihadapi oleh puluhan juta rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada dua penyebab mengapa sangat sulit bagi Indonesia untuk memberantas korupsi:
Pertama, persepsi kolektivisme yang diemban oleh diamini oleh sebagian masyarakat Indonesia. Dalam lima model dimensi budaya yang dikenalkan oleh Geert Hofstede, kolektivisme kebalikan dari individualisme berarti paham yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok dan lebih sering melindungi anggota kelompoknya dengan loyalitas.
Masih ingat dengan kasus 41 anggota (dari total 45 anggota) DPR Kota Malang yang terlibat kasus dugaan suap pembahasan APBN-P tahun anggaran 2015? Dalam kasus Meikarta, Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin pada tahun 2019 ditetapkan bersalah melakukan korupsi menerima suap terkait perizinan Meikarta bersama empat pejabat pemerintah Kabupaten Bekasi yang merupakan anak buah Neneng. Dua kasus ini merupakan contoh tindakan korupsi yang dilakukan secara bersama-sama.
Pelaku korupsi individu yang berhasil ditangkap dan dijadikan tersangka pun seolah-olah bergerak sendiri. Namun jika kita amati budaya korupsi di Indonesia itu tidak dilakukan sendiri namun ‘berjemaah’.
ADVERTISEMENT
Angelina Sondakh yang pernah ditetapkan sebagai tersangka korupsi dalam kasus Wisma Atlet dalam sebuah kesempatan pernah menyatakan bahwa ia tidak melakukannya sendiri. Bahkan dia dengan tegas mengatakan bahwa perilaku korupsi itu tidak mungkin “single fighter”.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, rekan sesama partainya Nazaruddin dan Anas Urbaningrum terbukti melakukan tindakan korupsi dan harus mendekam di penjara. Partai yang saat itu gembar-gembor mensosialisasikan slogan “katakan tidak pada korupsi” rupanya malah tersandung korupsi.
Kedua, hukuman yang diterima oleh pelaku korupsi tidak membuat jera pelakunya dan menjadikan yang lainnya enggan untuk melakukan. Penjara yang dimiliki oleh pelaku korupsi bisa jadi bak hotel mewah.
Bahkan pernah ditemukan dalam penjara pelaku korupsi, Artalyta Suryani fasilitas salon, ruang karaoke dan televisi layar datar yang luasnya lebih besar dibandingkan ruangan tahanan yang lain.
ADVERTISEMENT
Gayus Tambunan bahkan tertangkap kamera sedang menonton pertandingan tenis padahal saat itu ia terdaftar menjadi tahanan Brimob Kepala Dua, Depok. Jaksa Pinangki yang pernah divonis 10 tahun penjara, malah bisa bebas bersyarat dalam waktu dua tahun.
Singapura yang menjadi salah satu negara dengan tindakan korupsi terendah di dunia memberikan hukuman mati bagi koruptor. Meskipun hukuman mati banyak ditentang karena dianggap melanggar hak asasi manusia, namun hukuman mati yang diterapkan di negara tetangga ini terbukti bisa memberikan efek jera bagi pelakunya dan rasa takut untuk melakukannya bagi yang lain.
Namun sekali lagi, hukuman semacam ini sangat sulit dilakukan di Indonesia yang mengemban paham kolektivisme. Pelaku korupsi yang tertangkap bisa jadi ‘dipaksa’ untuk tutup mulut dan tidak menyebarkan pengakuan secara utuh yang bisa menyeret anggota kelompoknya.
Petinggi di dalam kelompoknya juga kemungkinan akan melakukan berbagai cara agar kelompoknya tidak terbawa. Loyalitas terhadap kelompok yang kental dalam kolektivisme akan terlihat di sini. Walaupun ada yang berniat kebobrokan di dalam tubuh kelompoknya, tentu anggota yang lain tidak akan membiarkannya dan akan berusaha membungkamnya.
ADVERTISEMENT
Menghilangkan praktik korupsi di Indonesia memang seperti pungguk merindukan bulan. Bisa dikatakan mustahil. Niat Megawati Soekarno Putri untuk memberantas korupsi dengan membentuk Lembaga antirasuah, KPK pada tahun 2002 nyatanya belum mampu untuk membersihkan institusi pemerintahan dari praktik korupsi.
Tak disangka, korupsi masih merajalela dan membudaya. Selama individu kolektivis memiliki loyalitas buta terhadap kelompoknya dan hukum yang diterapkan tidak membuat jera, korupsi masih akan terjadi di negeri ini.