Konten dari Pengguna

Arahkan Perhatian pada Mereka yang Tak Terlihat

Mayang Suwita
Saya mahasiswi Universitas Padjadjaran
8 September 2024 16:53 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mayang Suwita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sosin, caisim begitu banyak penyebutan untuk sayuran yang sering dijadikan makanan seblak menjadi lebih berwarna. Sosin yang hampir mirip dengan pokcoy memiliki badan yang lebih ramping dan rasanya pun tidak seperti pokcoy yang terkadang sedikit pahit di lidah.
ADVERTISEMENT
Pengalaman semasa KKN Di Desa Sukalaksana, Kabupaten Garut, saya melihat sosin adalah sayuran yang banyak ditanam. Sepanjang jalan yang dihimpit lahan di desa ini, sejauh mata memandang sosin tidak pernah absen dari penglihatan. Walaupun tetap ada beberapa jenis sayuran lain yang seolah menjadi dayang dan sosin sebagai penguasa lahan pemiliknya, diantaranya ada bawang merah, kol, timun, dan cabai.
Baru beberapa hari di Desa Sukalaksana, ketua RW 05 Hermansyah memberikan kesempatan pengalaman baru tentang bertani. Sebelum bertani, saya dan rekan KKN lainnya disuguhkan berbagai kegiatan warga di RW ini, RW yang menjadi lokus penelitian kami.
Banyak saya lihat para ibu yang turun untuk bertani di pagi yang biasanya masih menjadi waktu rehat saya. Lontar-melontar sapaan pun selalu terjadi setiap dua petak lahan kami lalui. Sampai akhirnya tiba di lahan yang kami akan garap. Tampak seru melihat para warga memanen sosin sebesar lengan pria berotot. Disinilah kami berjam-jam menghabiskan waktu, membantu warga memanen sosin dengan luas lahan 1 lapangan futsal atau mungkin lebih.
Rombongan yang disewakan untuk memanen sosin dan bukan berasal dari Desa Sukalaksana. Foto: Mayang Suwita
Selama kegiatan berlangsung, obrolan sudah pasti terjadi, tidak hanya dengan para pemanen, tetapi juga warga sekitar. Kami sama-sama memiliki banyak pertanyaan. Walaupun mereka hanya menanyakan "Neng, dari mana?" "Neng, asalnya dari kota apa?" justru basa-basi ini membuka peluang untuk saya menanyakan bermacam hal, mulai dari alasan kenapa memilih menanam sosin ketimbang sayuran lain sampai upah yang didapat.
ADVERTISEMENT
"Karena disini menanam sosin lebih mudah dan tanahnya subur, kebanyakan turun-temurun. Dengan menanam sosin ada juga yang menjadi bandar sosin atau bos sosin. Dari sosin juga ada yang sampai naik haji, kemarin dari Sukalaksana bos sosin 4 orang naik haji hasil dari sosin. Sosin mah sebentar 20 hari sampai panen," ujar Sipa sang adik dari petani sosin.
Walaupun begitu, ada untung ada rugi. Sipa melanjutkan bahwa waktu panen sosin yang relatif singkat dan kemudahan menanamnya juga mempengaruhi harga jual ke pasar, bisa saja untung dan terkadang bisa turun drastis mencapai Rp 1 per kg.
"Sekalinya murah harganya jatoh banget sampai 100 perak, tapi kalau lagi mahal mah sampai Rp 5 ribu per kg. Per ton kalau satu ton Rp 200 ribu kalau lagi murah, kalau mahal per ton Rp 5 juta," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya dalam percakapan dengan para pemanen sosin, saya mengalami kesulitan sebab bahasa yang digunakan tidak seluruhnya bahasa Indonesia, tetapi bahasa Sunda. Jadi saya hanya mengerti sebagian yang mereka nyatakan.
Maka dari itu, untuk mempertegas pernyataan mereka, saya kembali menanyakan hal tersebut kepada Sipa yang merupakan adik dari petani sosin sekaligus guru TK di desanya. Sipa juga sering menggunakan bahasa yang saya lebih mengerti.
Salah satu warga dari rombongan yang disewakan untuk memanen sawi. Foto: Mayang Suwita
Selain itu, keluhan pemanen seperti upah yang didapat dalam sekali panen juga saya tanyakan kebenarannya. Salah satunya keluhan ibu paruh baya yang menceritkan kepada saya bahwa upah bersih yang didapatnya hanya Rp 25 ribu setelah dipotong biaya transportasi.
Dijelaskan bahwa sebenarnya warga yang sedang memanen adalah rombongan yang disewakan dan bukan berasal dari Desa Sukalaksana melainkan dari Kecamatan Pasirwangi, Garut. Jika rombongan terdiri dari 15 orang perempuan dan 6 orang laki-laki maka gaji yang diterima sekali panen sebesar Rp 900 ribu.
ADVERTISEMENT
Artinya, setiap pemanen hanya mendapatkan Rp 42 ribu. Namun, karena mereka dari luar Desa Sukalaksana maka dibutuhkan ongkos untuk membayar transportasi sehingga upah bersih yang didapat hanya sekitar Rp 25 ribu.
Kondisi yang dialami rombongan pemanen dari Kecamatan Pasirwangi ini mencerminkan adanya situasi kelompok marjinal. Petani yang mengeluh tentang harga hasil panen di pasar yang turun drastis juga termasuk didalamnya.
Dilansir dari dip.fisip.unair.ac.id kelompok marjinal adalah sekumpulan orang yang terpinggirkan dari tatanan masyarakat baik itu dari segi ekonomi, geografis, pendidikan maupun budaya yang tidak mendukungnya.

Beberapa Titik Fokus yang Diamati

Beberapa alasan yang saya pahami kenapa rombongan pemanen dianggap dalam situasi kelompok marjinal: pertama, mereka bekerja dengan upah yang sangat rendah jika dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat dan upaya yang mereka lakukan. Saya melihat adanya ketimpangan antara kerja keras mereka dan imbalan yang diterima.
ADVERTISEMENT
Kedua, rombongan pemanen ini juga harus mengeluarkan biaya transportasi sendiri, yang mengurangi pendapatan bersih mereka. Hal ini menunjukan adanya keterbatasan akses mereka terhadap keuntungan ekonomi dari pekerjaan yang mereka lakukan. Jadi, meskipun mereka bekerja keras sepanjang hari di ladang, uang yang dibawa pulang tidak cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Artinya mereka rentan terhadap kemiskinan.
Ketiga, mereka datang jauh-jauh dari kecamatan lain, hanya untuk mencari nafkah di Desa Sukalaksana. Pekerjaan mereka tidak tetap, tergantung pada musim panen dan siapa yang membutuhkan jasa mereka. Kadang ada pekerjaan, kadang tidak ada. Ketidakpastian inilah berpengaruh pada hidup mereka.
Selain itu, mereka juga tidak memiliki jaminan sosial atau perlindungan apapun. Jika sakit atau terjadi kecelakaan saat bekerja, tak bisa dipungkiri mereka harus menanggung semua biayanya sendiri. Tak ada asuransi, tak ada tunjangan, tak ada bantuan. Mereka hanya mengandalkan tenaga mereka untuk mencari penghidupan, tanpa ada jaminan kedepannya akan seperti apa.
ADVERTISEMENT
Kondisi-kondisi ini menunjukkan bahwa rombongan pemanen ini termasuk dalam kelompok marjinal, yang sering kali terpinggirkan secara ekonomi, sosial, dan geografis.

Implementasinya

Melihat kondisi rombongan pemanen dari Kecamatan Pasirwangi, mungkin ada beberapa yang dapat diterapkan bagaimana kita terutama seorang jurnalis bisa membantu kelompok marjinal seperti mereka.
Misalnya, melakukan indepth reporting mengenai kisah mereka atau isu yang terlibat dalam kisah mereka. Sebab cerita yang kuat dan manusiawi akan membuat pembaca lebih empati dan mungkin mendorong para pemangku kepentingan untuk bertindak. Melalui liputan mendalam, kita bisa membantu menunjukan adanya ketidakadilan yang sedang mereka hadapi sehingga dapat mendorong perubahan yang lebih baik.
Selanjutnya, menyediakan platform untuk suara mereka. Sebagai mahasiswa jurnalistik, kita bisa membuat semacam platform bagi mereka untuk menyuarakan keluhan, kebutuhan, dan harapan mereka. Seperti melalui wawancara, artikel, atau bahkan podcast, kita bisa membiarkan mereka berbicara langsung tentang pengalaman mereka.
ADVERTISEMENT
Dengan mengangkat suara dan kisah mereka ke publik, keberadaan jurnalis pasti akan ada pengaruhnya. Ini bisa jadi menarik perhatian organisasi sosial dan LSM terkait kesejahteraan pekerja, membantu meningkatkan kesadaran pihak-pihak tertentu.
Terutama pihak pemerintah daerah tentang pentingnya perbaikan sistem upah bagi pekerja harian, misalnya dengan memastikan upah yang lebih layak atau memberikan subsidi transportasi atau membuatan kebijakan baru.
Selain itu, keberadaan jurnalis dapat mendorong diskusi tentang perlunya peraturan yang lebih baik untuk perlindungan pekerja harian dan upah yang lebih adil agar kita bisa mendukung mereka untuk memperbaiki kualitas hidup mereka.