Animasi: Awal Mula dan Perlu Tidaknya bagi Perkembangan Anak

Mayritza Aurel
Seorang Mahasiswi di Universitas Pembangunan Jaya. Berkacamata karena suka baca (katanya). Hobi main feeding frenzy.
Konten dari Pengguna
14 Desember 2022 17:15 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mayritza Aurel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anak menonton tayangan animasi di televisi. (Sumber: karya pribadi penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Anak menonton tayangan animasi di televisi. (Sumber: karya pribadi penulis)
ADVERTISEMENT
Jika anak-anak sudah memegang remote, kemudian duduk di depan televisi, apa yang kiranya akan mereka lakukan? Hampir semua anak di dunia pernah melakukan hal yang sama seperti yang disebutkan tadi. Jika anda pernah menjadi salah satu di antaranya, apa anda ingat apa yang anda nantikan untuk ditonton di televisi?
ADVERTISEMENT
Mungkin kurang lebih para pembaca memiliki jawaban yang sama: tayangan animasi. Kebanyakan, masa kecil kita tidak lepas dari tayangan atau gambar-gambar kartun dan animasi. Jika saya minta anda menyebut contoh-contoh animasi yang pernah ditayangkan di televisi, saya yakin anda akan menyebut sekurang-kurangnya sepuluh nama atau judul.
Definisi animasi sendiri dalam KBBI adalah rangkaian gambar yang membentuk sebuah gerakan. RA Sugihartono (2010) menyebut dalam publikasinya yang berjudul Animasi Kartun: Dari Analog Sampai Digital bahwa animasi berasal bahasa Latin yaitu "anima" yang artinya hidup atau "animare" yang berarti memberikan arwah untuk benda mati. Kemudian alih bahasa ke dalam bahasa Inggris menjadi "animate" yang memiliki arti memberi hidup, atau "animation" yang artinya ilusi gerakan. Kemudian istilah animation berkembang menjadi membuat film kartun, namun dalam bahasa Indonesia tetap disebut animasi.
ADVERTISEMENT
Animasi memulai sejarahnya pada abad ke-19. Saat itu mereka benar-benar bereksperimen. Mulai dari hasil lukisan tangan, kemudian diatur pada mesin yang mengatur pergerakan gambar sehingga tercipta optik. Setelahnya animasi terus dikembangkan dari tahun ke tahun. Animasi ditambahkan efek suara dan dipanjangkan durasinya. Karena berasal dari lukisan, animasi hanya bisa disaksikan sebagai karakter dua dimensi. Namun dengan peningkatan teknologi seiring tahun pun membawa animasi ke level selanjutnya, yaitu tiga dimensi.
Animasi memperlebar sayapnya dengan tampil di televisi dengan jadwal yang ditentukan. Dan di era digital kini, meski televisi tidak menayangkan animasi sebanyak tiga dekade ke belakang, anak-anak masih bisa mengakses animasi lewat platform video dan film daring seperti YouTube dan lain sebagainya. Sebelum platform-platform tersebut ramai dipakai, TV kabel berlangganan sudah menayangkan animasi 24 jam tanpa henti yang dikhususkan ke dalam sebuah saluran. Dan "sebuah" saluran itu bisa berjumlah sekitar tujuh saluran.
ADVERTISEMENT
Selain karena jalan cerita yang lucu, alasan mengapa animasi sangat disukai anak-anak adalah karakter yang ada di dalam jalan ceritanya. Bagaimana karakter utama menyelesaikan masalah atau menjalani hari-harinya dengan sudut pandang yang baru bagi anak-anak. Serta bentuk atau wujud karakter yang beragam, ditambah dengan pengisi suara yang tepat dan jenaka.
Mereka juga mengenal warna-warna baru berdasar lingkungan yang ada di sekitar karakter. Bagaimana pakaian dan rambut sang karakter bisa berpadanan, warna apa yang mendominasi sang karakter, dan pakaian yang dipakai oleh para karakter. Tidak sedikit anak-anak yang menemukan warna favorit, serta bakat dalam menggambar dan bernyanyi karena terinspirasi dari tayangan animasi.
Terlebih lagi berbedanya kehidupan asli dan yang ada di tayangan animasi. Seperti melihat karakter hewan bisa berbicara, ini adalah hal yang baru dan lucu bagi mereka. Karena dalam kehidupan asli, mereka tidak pernah melihat hewan berbicara bahkan tertawa terpingkal-pingkal. Hanya di tayangan animasi, mereka bisa melihat hewan bertindak dan memiliki kehidupan selayaknya manusia.
ADVERTISEMENT
Contohnya, animasi Princess Disney. Anak-anak dibuat berimajinasi setelah menontonnya, membayangkan diri mereka adalah sang puteri, ikut bernyanyi dan ingin memakai gaun yang dipakai oleh tokoh puterinya. Setelahnya mereka memilih warna favorit mereka berdasar karakter kesukaan mereka, misalnya Cinderella atau Aurora. Mereka pasti akan memilih warna biru atau merah muda untuk pakaian mereka.
Contoh kedua adalah animasi Dora. Karena karakter sang Dora menunjukkan bahwa berpetualang itu menyenangkan, maka anak-anak pun dibuat bercita-cita menjadi petualang juga. Kemudian mereka dibuat sering-sering curiga terhadap pergerakan endap-endap di belakang mereka dikarenakan satu karakter bernama Swiper yang suka mencuri. Lalu setelah misi petualangan Dora berhasil, mereka akan ikut joget bersama Dora dan Boots di televisi sambil bernyanyi "Berhasil, berhasil, berhasil, hore!"
ADVERTISEMENT
Meski terkadang membuat kesal dengan terus-terusan bertanya, tapi hal inilah yang dirasa cukup memengaruhi anak-anak. Karena hal itu, anak-anak jadi ikut sering bertanya. Hal apa pun mereka akan tanyakan, entah hanya untuk bermain peran sebagai Dora, atau bertanya hal yang mereka sudah ketahui, mungkin juga rasa penasaran yang dibiasakan untuk disuarakan. Yang jelas, Dora telah memancing kemampuan kognitif seorang anak untuk aktif bertanya, baik kepada orang lain maupun dirinya sendiri. Seorang anak akan selalu memiliki pertanyaan dan mencari jawabannya, sehingga ia terbiasa untuk berpikir kritis.
Ini tentu menarik untuk diselidiki, karena hal ini masuk ke dalam teori pembelajaran komunikasi massa. Hal tersebut berkaitan erat dengan apa yang seseorang lihat dan bagaimana pengaruhnya terhadap perilaku ataupun penampilan. Terdapat satu teori komunikasi massa yang dapat digunakan untuk mempelajari hal ini, yaitu Social Cognitive.
ADVERTISEMENT
E Yanuardianto (2019) menyebut pada Teori Kognitif Sosial Albert Bandura (Studi Kritis dalam Menjawab Problem Pembelajaran di MI) bahwa Albert Bandura mengembangkan hal ini menjadi sebuah teori. Yang setelahnya teori tersebut dinamakan Social Cognitive Theory, atau Teori Kognitif Sosial, yang merupakan nama baru dari Social Learning Theory atau Teori Pembelajaran Sosial. Penamaan ini dilakukan pada 1970-an dan 1980-an.
E Yanuardianto (2019) juga menambahkan bahwa teori kognitif sosial menegaskan dalam sebagian besar pembelajaran manusia terjadi dalam sebuah lingkungan sosial. Dengan mengamati orang lain, manusia mencatat pengetahuan, aturan-aturan, keterampilan, strategi, keyakinan, serta sikap. Individu-individu juga melihat model atau contoh untuk mempelajari kegunaan dan kesesuaian perilaku akibat dari perilaku yang dimodelkan, kemudian mereka bertindak sesuai dengan keyakinan tentang kemampuan mereka dan hasil yang diharapkan dari tindakan mereka.
ADVERTISEMENT
Anak-anak menonton sembari mengamati, mencermati, merekam kemudian mengambil kesimpulan; hal itu boleh dilakukan jika apa yang dia tonton melakukannya juga. Terbukanya jendela baru pada pikiran mereka menarik mereka untuk membuat sesuatu yang belum pernah mereka buat sebelumnya. Apa yang dilakukan oleh karakter animasi tersebut diperlihatkan sebagai sesuatu yang menyenangkan, maka anak-anak pun akan melakukannya agar ia bisa ikut bersenang-senang.
Pada intinya, kebanyakan anak akan mencontoh hal yang mereka lihat. Jika mereka mencontoh hal-hal baik dan menyenangkan dari tayangan animasi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, akan menjadi masalah jika mereka pun ikut mencontoh hal-hal buruk yang terdapat dalam tayangan animasi tersebut.
Misal saja, mencontoh karakter yang selalu berteriak setiap kali marah atau kesal. Bahkan jika ekstrem, seorang anak bisa saja mencontoh seorang karakter yang malas belajar, dengan harapan ia ingin mendapatkan peliharaan kucing yang datang dari masa depan, membawakan barang-barang canggih yang membantu dirinya setiap hari. Atau, melihat bahwa seorang karakter anak kecil yang digambarkan suka menggoda perempuan yang lebih dewasa akan dianggap lucu.
ADVERTISEMENT
Hal-hal tersebut bisa saja dihindari. Pengawasan orang tua dalam menonton tayangan televisi bisa membantu. Jika orang tua tidak bisa ada di sana untuk mendampingi anak menonton, sedari awal mereka perlu membuat garis batas, mana yang sekiranya baik-baik saja untuk ditonton. Orang tua bisa sejak awal menentukan sekitar tiga sampai empat tayangan yang sekiranya layak bagi anak jika ditonton tanpa pengawasan mereka.
Pada akhirnya, tayangan animasi perlu bagi perkembangan anak-anak. Tayangan animasi perlu menjadi bagian dari masa kecil seseorang. Karena tayangan animasi menjadi salah satu jendela terhadap dunia luar, meskipun tayangan animasi rata-rata tidak begitu realistis menggambarkan dunia luar. Tayangan animasi memancing imajinasi dan kreativitas seorang anak, menemani dalam perkembangan dan pembentukan kepribadian. Hanya saja, dalam prosesnya perlu pantauan lagi agar dapat terkendali, mana yang sudah boleh mereka tonton dan yang mana seharusnya belum boleh.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Utami, D. (2011). Animasi dalam pembelajaran. Majalah Ilmiah Pembelajaran, 7(1).
Rinkapati, S. (2020). REPRESENTASI BUDAYA NUSANTARA DALAM ANIMASI BINEKON. JURNAL NARADA, 7(3)
Yanuardianto, E. (2019). Teori Kognitif Sosial Albert Bandura (Studi Kritis dalam Menjawab Problem Pembelajaran di Mi). Auladuna: Jurnal Prodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, 1(2), 94-111.