part 5 square(2).jpg

Dua Kehidupan Rani: Siapa Temanmu (Part 5)

11 Maret 2020 11:55 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dua kehidupan Rani. Foto: Argy/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Dua kehidupan Rani. Foto: Argy/kumparan
ADVERTISEMENT
Suamiku belum pulang dari kantor. Tadi sore ia bilang akan lembur sampai larut malam. Di luar hujan sangat deras, Mas Andro sempat meneleponku dan minta dibuatkan nasi goreng. Namun, saat hendak memasak, perutku tiba-tiba mulas. Aku menahan perut bagian bawah dengan tangan kanan. Kupanggil berkali-kali Rani untuk mengambilkan smartphone-ku, tapi dia tidak menyahut malah terus bermain di kamarnya. Aku meringis menahan sakit dan ambruk terlentang di lantai.
ADVERTISEMENT
"Tolong," suaraku parau menahan sakit yang semakin menjadi-jadi. hingga terjungkal ke lantai.
Rani sama sekali tidak mendengar jeritanku. Ia malah asyik tertawa di dalam kamar. Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya. Sesaat kemudian, kulihat Rani keluar dari dalam kamar. Ada yang berbeda darinya, kedua matanya merah, senyumnya mengerikan, seperti ada yang mengendalikannya.
"Wah aku mau punya adik," kata Rani.
Tanpa kuduga-duga, Rani meraih sebuah pisau dari keranjang buah. Ia mendekat ke arahku.
"Ayo cepat keluar adik. Kakak bantu, ya."
Dia menyodorkan pisau ke perutku.
"Nak, jangan Nak!" keringat sempurna membasahi seluruh wajahku.
"Cepat keluar adikku. Nanti kita main bareng," mata pisau menyentuh perutku.
ADVERTISEMENT
Kemudian ia menekan pisau tersebut hingga melukai permukaan kulit. Aku berteriak kesakitan sambil menangis. Pisau itu menyayat dari bagian bawah sampai ke atas perut, darah mengucur membasahi lantai.
"Tolong!"
"Vira! Astaga!"
Untung saja saat itu suamiku datang, ia langsung menepis pisau yang ada di tangan Rani. Kemudian membopongku ke mobil, ia mengemudikan mobil dengan sangat cepat karena panik, sementara aku masih mengerang kesakitan di kursi belakang. Rani duduk bersama ayahnya di kursi depan, tidak ada kesedihan di wajah Rani, ia malah menoleh ke arahku sambil senyum-senyum sendiri.
Sesekali kulihat Mas Andro melirik Rani dengan wajah cemas, mungkin ia semakin bingung setan apa yang mengendalikan Rani sampai hendak membunuh ibunya sendiri. Sesampainya di rumah sakit, petugas rumah sakit langsung membawaku ke ruang bersalin. Untung saja, aku masih bisa diselamatkan dan bayiku juga lahir dengan selamat. Tapi, akibat luka sayatan di perut, aku harus menjalani beberapa perawatan di rumah sakit.
ADVERTISEMENT
***
Mas Andro ingin Rani ditangani oleh seorang psikiater. Aku setuju karena memang semakin hari tingkah Rani semakin aneh saja. Seperti ada yang mengendalikannya. Rani didudukkan di atas sofa di kamarnya. Aku dan Mas Andro ikut mendampingi Rani. Bu Hera, seorang psikiater mencoba untuk berkomunikasi dengan anakku.
"Rani sayang. Panggil saja aku bunda Hera. Bunda akan nemenin kamu hari ini. Bunda mau ngajak Rani main sebuah game seru. Yuk ikuti bunda, pejamkan mata Rani. Iya, anak pintar. Tarik napas dalam-dalam lalu embuskan."
"Nah, bunda mau nanya. Katanya kamu punya teman, ya?"
"Iya bunda."
"Siapa dia?"
"Namanya Danyang."
Aku menutup mulut. Kaget sekaligus sedih mendengar pengakuan anakku. Jadi selama ini ada makhluk gaib yang mengikutinya.
ADVERTISEMENT
"Dia asalnya dari mana?"
"Kamar."
"Kamar ini?"
"BUKAN!" suara Rani berubah menakutkan, jelas itu suara lelaki dewasa. Mata Rani melotot merah. Ia menghentakkan lengannya, seketika aku, mas Andro, dan Bu Hera terpental ke belakang hingga menabrak dinding kamar.
Setelah kejadian itu, Bu Hera tidak mau lagi datang ke rumah, ia benar-benar ketakutan. Sementara itu tingkah Rani semakin mengkhawatirkan. Seperti sore itu, sengaja kuintip pintu kamarnya yang tidak dikunci dan betapa terkejutnya saat kulihat Rani sedang menggigiti leher kucing, entah dari mana kucing itu ia dapatkan. Dengan buas ia menyobek leher kucing dan darahnya muncrat mengotori tempat tidur.
"Rani kamu apa-apaan?!"
Kurebut bangkai kucing dari genggamannya. Dia menangis meminta bangkainya dikembalikan, sekitar mulutnya berlumur darah. Kulempar bangkai tersebut ke tong sampah. Aku langsung menggendong Rani ke kamar mandi untuk memandikannya. Tidak kuasa menahan sedih, air mataku pun meleleh.
ADVERTISEMENT
"Kamu kenapa jadi kayak gini sekarang Nak? Mamah sedih lihatnya."
Nantikan cerita Dua Kehidupan Rani selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten