part 4 square(3).jpg

Dua Kehidupan Rani: Teman Rani (Part 4)

9 Maret 2020 15:25 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dua Kehidupan Rani. Foto: Argy/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Dua Kehidupan Rani. Foto: Argy/kumparan
ADVERTISEMENT
Tiga hari berlalu, anakku belum juga ditemukan. Aku tidak mau meninggalkan rumah itu sebelum Rani kembali. Di hari keempat, tepatnya malam jumat, Pak Kisur datang ke rumah. Ia membawa dua ekor ayam hitam. Aku yakin dia pasti akan melakukan sajenan untuk menemukan anakku. Ia membuka kamar yang selalu dikunci. Kemudian ia mengunci dirinya dari dalam. Dua jam berlalu, aku dan suamiku menunggu dari luar dengan perasaan cemas. Tiba-tiba terdengar suara jeritan Rani dari dalam kamar.
ADVERTISEMENT
"Mamah!"
"Rani?! Pak Kisur buka pintunya, Pak."
"Pak buka pintunya, Pak," suamiku menggedor pintu kamar itu.
Pak Kisur kemudian muncul dari dalam kamar sambil membopong Rani.
"Rani!" aku tak henti menangis melihat kondisinya yang sangat lemas.
Tidak ingin kejadian serupa menimpa kami lagi, aku dan suamiku memutuskan untuk kembali ke Jakarta walau tugasnya belum selesai.
***
Setelah kami kembali ke Jakarta, kukira semuanya sudah selesai, tapi ternyata belum. Banyak kejanggalan yang terjadi pada anakku. Aku sering mendengar Rani di kamarnya ngobrol sendirian. Seperti malam itu, biasanya Rani sudah tidur pulas. Aku malah mendengar dia tertawa dan berlarian di kamarnya seperti sedang bermain dengan seseorang.
"Rani?" Aku membuka pintu kamarnya. Kulihat rambutnya acak-acakan. Selimutnya tergeletak di lantai. Ia menoleh ke arahku.
ADVERTISEMENT
"Iya, Mah."
"Kamu ngomong sama siapa tadi?"
"Teman aku, Mah."
"Teman? Mana?"
"Tuh," Rani menunjuk ke pojok atas dinding kamarnya.
Aku tidak melihat siapa pun di sana. Tapi, sebisa mungkin aku tetap berpikir yang baik-baik. Mungkin anakku sedang berimajinasi.
"Nggak ada kok, Ran."
"Masa sih mamah nggak lihat. Tuh sekarang dia di belakang mamah loh."
"Ah, kamu pasti lagi bohongin mamah," aku tersenyum sambil mengelus rambutnya.
"Hei! Jangan sentuh mamahku," Rani seperti membentak seseorang.
"Rani jangan percanda, ah," kataku dengan wajah ketakutan.
"Nggak percanda, Mah. Emang ada temen aku di sini."
Teman? Apakah makhluk gaib itu masih mengikuti keluargaku? Aku merasa harus bicarakan hal ini dengan Mas Andro. Kusuruh Rani untuk tidur, pintu kamarnya perlahan kututup. Namun sesaat sebelum pintu sempurna tertutup, kulihat Rani berdiri di atas kasurnya, kedua kakinya melayang.
ADVERTISEMENT
"Rani!"
"Iya, Mah," ia menoleh ke arahku.
Aneh! Tadi jelas-jelas aku melihat kedua kakinya melayang, tapi sekarang dia berdiri dan menyentuh kasur.
"Lekas tidur," kataku singkat. Segera kututup rapat pintu kamarnya.
Bukan kejadian itu saja yang membuatku semakin cemas dengan keadaan Rani. Dia juga suka membawa makanannya ke kamar dan mengunci pintu dari dalam. Jendela kamarnya juga ditutup rapat sehingga aku tidak bisa melihat apa yang ia lakukan di dalam kamarnya.
"Rani malam ini kita makan bareng ya sama papah," suatu hari aku memaksanya untuk makan bersama.
"Nggak mau, Mah."
"Lho kenapa. Udah lama mamah nggak makan bareng sama kamu," aku memangku tubuh kecilnya dan membawanya ke meja makan.
ADVERTISEMENT
Dia duduk sambil tersenyum ke arahku.
"Rani suka daging ayam, kan?" Mas Andro menyodorkan paha ayam goreng ke piring Rani.
"Rani masih kenyang, Pah."
"Mamah belum lihat kamu makan seharian."
Aku memaksanya untuk memakan daging ayam. Dia malah melemparkan daging itu dan membanting piring. Kemudian berlari ke kamarnya. Kudengar suara pintunya dikunci. Aku tertunduk, Mas Andro memelukku dari samping.
"Nanti kita cari solusinya, ya," kata suamiku.
Nantikan cerita Dua Kehidupan Rani selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten