Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Membangun Peradaban di Atas Rel
15 April 2025 14:05 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ben Abiyoga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Setiap perjalanan ke luar negeri selalu memberikan pelajaran berharga. Bagi saya, pengalaman menaiki kereta api di berbagai negara membuka mata akan pentingnya transportasi rel dalam membangun peradaban yang maju dan berkelanjutan.”

Setiap kali saya ke luar negeri, ada satu kebiasaan kecil yang selalu saya lakukan: naik kereta api. Bukan hanya karena lebih murah atau praktis, tapi juga karena saya memang suka kereta sejak kecil. Bahkan dulu, cita-cita pertama saya adalah jadi masinis.
ADVERTISEMENT
Semakin sering saya naik kereta di negara orang, saya makin yakin: negara maju pasti memiliki sistem kereta yang keren dan rapi. Ini bukan sekadar alat transportasi—tapi bagian dari peradaban. Negara-negara maju membangun rel dan kereta bukan hanya untuk menggerakkan orang dan barang, tapi juga untuk membentuk kebiasaan, budaya, dan sistem sosial yang lebih tertata.
Jika Indonesia ingin menuju ke sana, maka membangun transportasi berbasis rel bukan pilihan—tapi keharusan.
Transportasi Rel: Tulang Punggung Distribusi Barang Antimacet
Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) adalah dua contoh nyata. Tiongkok memiliki jaringan rel lebih dari 110 ribu km, belum termasuk 45 ribu km rel kereta cepat. Menurut IbisWorld (2024), volume angkutan kargo kereta di sana mencapai 3,6 triliun ton kilometer pada 2023. Sementara, menurut Statista, jaringan rel di AS membentang 200 ribu km dan mengangkut 2,2 triliun ton kilometer per tahun pada 2023.
ADVERTISEMENT
Memang, kondisi geografis Indonesia berbeda. Tapi bukan berarti kita tidak bisa. Perluasan jaringan rel sangat potensial untuk mendukung distribusi barang strategis di lima pulau besar: di Sumatera untuk mengangkut batubara, di Sulawesi untuk nikel, dan di Kalimantan untuk hasil hutan—atau bahkan mendukung konektivitas IKN, yang masih menyandang status sebagai 'Calon Ibukota'. Pastinya distribusi logistik menjadi lebih cepat, jalan raya tidak cepat rusak, dan volume truk-truk besar di jalan bisa berkurang.
Sayangnya, kenyataan masih sangat jauh dari impian. Ketimpangan infrastruktur rel antarwilayah masih sangat tinggi. Data Kementerian Perhubungan menunjukkan 70,9% jaringan rel aktif di Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa. Jika pembangunan rel hanya berfokus di Jawa, maka efisiensi distribusi tidak akan pernah sepenuhnya terwujud. Transportasi rel harusnya menjadi alat pemerataan, bukan simbol ketimpangan.
ADVERTISEMENT
Dari sisi lingkungan, moda transportasi ini juga unggul. Rilis PT KAI (2025) menyatakan, satu rangkaian kereta kargo dengan muatan 3.050 ton hanya menghasilkan 4.564 kg CO₂ per ton per km—10 kali lebih rendah dibanding 144 truk trailer. Artinya, ini bukan hanya soal efisiensi dan penghematan, tapi juga kontribusi nyata untuk bumi yang berkelanjutan.
Rel untuk Semua: Mobilitas Setara Tanpa Diskriminasi
Jika kita mundur 20 tahun ke belakang, kondisi perkeretaapian kita sangat jauh dari ideal. Kereta penuh sesak, orang bisa duduk di atap, calo di mana-mana, dan kereta sering terlambat. Tapi sejak Ignasius Jonan memimpin PT KAI (2009–2014), semuanya berubah. Wajah transportasi kita pelan-pelan naik kelas.
Sekarang, dengan kehadiran MRT dan LRT, Jakarta punya jaringan rel perkotaan yang bisa dibanggakan. Kereta jarak jauh pun makin nyaman dan tepat waktu. Tapi yang lebih penting dari semua itu adalah makna sosial yang dibawa oleh transportasi berbasis rel.
ADVERTISEMENT
Pertama, kereta menghadirkan akses terhadap layanan publik dasar yang mendukung kesetaraan atas hak dasar mobilitas. Hak untuk bergerak secara aman, nyaman, dan tepat waktu seharusnya bisa dinikmati siapa pun—bukan hanya pejabat yang dikawal sirine. Transportasi rel yang andal membawa harapan baru: kebebasan bergerak yang lebih merata, terukur, dan efisien dari sisi waktu, tenaga, dan biaya.
Kedua, kereta membentuk perilaku sosial yang lebih egaliter. Tak ada kelas bisnis atau ekonomi di KRL atau MRT. Semua penumpang—tua-muda, pria-wanita, kaya-miskin—setara satu sama lain dalam satu gerbong yang sama. Ruang pribadi yang terbatas melatih kita untuk saling menghormati: antre, tak bicara keras, tak sembarang makan, dan menjaga barang bawaan.
Transportasi rel mengajarkan disiplin, kesetaraan, dan kepedulian—tiga hal yang sering hilang dalam ruang publik kita.
ADVERTISEMENT
Rel Sebagai Jalan Masa Depan
Transportasi rel bukan sekadar proyek infrastruktur. Ia adalah investasi peradaban. Negara yang memiliki jaringan rel kuat akan lebih efisien dalam logistik, lebih adil dalam mobilitas, dan lebih berkelanjutan secara lingkungan.
Pemerintah dan para pemangku kepentingan perlu melihat ini bukan sebagai proyek satu periode, tapi sebagai visi lintas generasi. Jika tidak dimulai dari sekarang, maka kapan lagi? Fokusnya juga tidak hanya pada pembangunan fisik, tapi juga integrasi antarmoda, keberlanjutan, dan keterjangkauan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Mungkin kita belum seperti Jepang, Jerman, atau Swiss, yang keretanya datang detik demi detik. Tapi kalau kita terus konsisten melaju dan “tidak anjlok keluar rel”, saya yakin Indonesia akan tiba ke masa depan yang kita semua impikan, menjadi sebuah negara maju yang lebih setara, lebih tertib, dan lebih beradab.
ADVERTISEMENT