Konten dari Pengguna

Festival Erau: Kebudayaan Asli Suku Dayak yang Beradaptasi dengan Zaman

M Daffa Apriza
Penulis lepas di bidang sosial-humaniora. Berusaha mengenal dan memahami Indonesia melalui budayanya.
24 Juli 2024 15:19 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Daffa Apriza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Erau adalah kebudayaan asli suku Dayak yang sudah ada sebelum Indonesia terbentuk. Sumber: Unsplash/SHAGGY SIREP
zoom-in-whitePerbesar
Erau adalah kebudayaan asli suku Dayak yang sudah ada sebelum Indonesia terbentuk. Sumber: Unsplash/SHAGGY SIREP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menurut Roedy Haryo Widjono AMZ—seorang pegiat literasi tradisi lisan suku Dayak—Erau pada awalnya adalah kebudayaan milik suku Dayak. Tradisi ini memiliki tiga makna di kehidupan suku Dayak:
ADVERTISEMENT
Pada saat Kesultanan Kutai berkuasa, suku Dayak harus mendapatkan izin dari pihak Kesultanan untuk menjalankan tradisi Erau. Mereka harus memberikan upeti kepada pihak Kesultanan sebagai simbol pengakuan kekuasaan mereka.
Selanjutnya, Kesultanan Kutai menerima suku Dayak dengan memperbolehkan mereka untuk mempertontonkan kesenian mereka. Pada masa ini, Erau beralih menjadi festival dengan penekanan pada fungsi kebudayaan yang ketiga.
Kata erau berasal dari sebuah kata dalam bahasa Kutai—eroh. Arti dari kata eroh adalah ‘ramai’ atau ‘riuh’. Erau menjadi upacara tahunan penobatan raja yang berlangsung selama 40 hari 40 malam dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Erau sebagai festival bermula pada pemerintahan Aji Batara Agung Dewa Sakti—sultan pertama Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Pada festival Erau, rakyat dari berbagai penjuru wilayah kekuasaan Kesultanan membawa hasil bumi mereka ke Ibukota dan mengadakan hajatan besar.
Tujuan dari pesta ini adalah ungkapan rasa syukur masyarakat Kutai karena sudah mendapatkan hasil bumi. Keluarga besar Kesultanan kemudian menjamu tamu-tamu yang hadir dengan beraneka hidangan.
Tindakan ini adalah bentuk rasa terima kasih dari Kesultanan kepada rakyat yang mengabdi kepada mereka. Festival ini terus berjalan hingga akhirnya Kesultanan Kutai bergabung ke wilayah Republik Indonesia.
Pada saat ini, terjadi dua kali peralihan status dari Kesultanan Kutai. Pertama, Kesultanan Kutai beralih menjadi Daerah Istimewa dengan Sultan sebagai kepala daerah.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, Kutai kembali mengalami peralihan status menjadi kabupaten dan kepala daerahnya dijabat oleh seorang bupati. Momen ini adalah titik resmi bubarnya Kesultanan Kutai setelah berkuasa selama lebih dari tujuh abad.

Bertahan Melalui Rezim Orde Baru hingga Saat Ini

Menurut Rachmi Diyah Larasati—profesor di Department of Gender, Women, and Sexuality Studies, University of Minnesota, Amerika Serikat—pemerintahan Orde Baru terkenal dengan berbagai “kebijakan” yang kerap mengotak-atik kebudayaan daerah. Festival Erau adalah salah satu kebudayaan daerah yang sempat vakum akibat “kebijakan” pemerintahan Orde Baru.
Salah satu fungsi dari festival Erau adalah sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Kutai atas hasil bumi yang mereka dapatkan. Sayangnya—sebagaimana berbagai kebudayaan daerah lain yang dekat dengan dunia pertanian—festival Erau dicurigai memiliki kaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh rezim Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, pelaksanaan Erau berhenti pada tahun 1965. Sebagaimana berbagai ekspresi kebudayaan pada era Orde Baru, harus ada izin pemerintah agar kebudayaan tersebut tetap jalan.
Namun, kebijakan Orde Baru tentang pariwisata memberi celah agar festival Erau dapat tampil kembali. Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 1969 adalah salah satu dasar hukum awal bagi pemerintah untuk mengelola pariwisata nasional.
Langkah ini kemudian diperjelas dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1969 yang berisi panduan pengelolaan pariwisata nasional. Sesuai pada Pasal 4 butir (a), pemerintah berhak untuk, “Memelihara/membina keindahan dan kekayaan alam serta kebudayaan masyarakat Indonesia sebagai daya tarik kepariwisataan.”
Akhirnya—pada tahun 1971—kebudayaan ini bisa berjalan kembali setelah ada inisiatif dari pemerintah daerah dan izin dari pihak kesultanan. Hanya saja, dasar hukum yang berlaku mengharuskan pelaksanaan festival Erau untuk mengikuti arahan dari pemerintah.
ADVERTISEMENT
Modifikasi festival Erau yang paling menonjol terdapat pada perubahan waktu pelaksanaan. Awalnya merupakan acara tahunan, Erau hanya dapat berlangsung dua tahun sekali selama rezim Orde Baru.
Setelah Orde Baru bubar, Erau kembali menjadi festival tahunan. Namun, kembali terjadi modifikasi pada waktu pelaksanaannya. Awalnya Erau diadakan setiap 29 September untuk memeringati hari jadi Kota Tenggarong.
Namun, Erau beberapa kali diadakan pada bulan Juli semenjak tahun 2010. Tujuan pergeseran waktu pelaksanaan Erau adalah karena banyak wisatawan selama bulan Juli yang merupakan musim liburan.
Pemerintah daerah senantiasa memastikan agar Erau dapat berjalan setiap tahun. Bahkan, festival ini ternyata sempat menjadi sebuah festival budaya internasional pada tahun 2013.
Pada acara Erau International Folklore and Art Festival (EIFAF), Erau tampil dengan berbagai kebudayaan tradisional dari delapan negara lain—Belgia, Mesir, Korea Selatan, Prancis, Republik Ceko, Thailand, Taiwan, dan Yunani.
ADVERTISEMENT