Konten dari Pengguna

Ternyata Saya Nggak Sepenuhnya Move On dari TV konvensional

Dimas Ponco
Content Writer/Copywriter/Politics and Government Graduate Universitas Gadjah Mada
30 September 2022 18:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Ponco tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

TV konvensional punya feels khusus

Ilustrasi TV Konvensional (pexels.com/Huỳnh Đạt)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi TV Konvensional (pexels.com/Huỳnh Đạt)
ADVERTISEMENT
Boleh dibilang saya menjadi bagian dari generasi move on-nya ‘para pemirsa setia di rumah’ TV konvensional menjadi ‘penonton di mana dan kapan aja’ melalui layanan streaming. Transisi ini terjadi dengan halus dan nggak tiba-tiba, namun tetap bisa saya sadari melalui interaksi-interaksi kecil seperti berubahnya pertanyaan “di RCTI atau SCTV?” menjadi “di Netflix ada ngga, ya?” yang keduanya dengan natural terlontarkan ketika membahas sebuah acara televisi.
ADVERTISEMENT
Namun, bukan bermaksud berperilaku pick-me, buat saya sensasi menonton TV konvensional selalu berbeda. Bunyi-bunyian dalam acaranya seperti sorak penonton di studio, suara efek sinetron, jingle iklan, hingga riuh dari kurang pasnya posisi antena TV konvensional punya feels tersendiri.
Walau begitu, saya merasa lebih puas ketika menonton serial TV barat melalui berbagai kanal streaming yang mulai masuk ke Indonesia. Menonton acara TV tanpa harus diputus oleh iklan, dapat diulang apabila ada bagian yang terlewat, dapat di-pause untuk difoto dan dibagikan ke media sosial seolah menjadi penonton paling relatable sedunia, serta dapat diselesaikan dalam kurun waktu satu minggu bahkan satu hari.
Hal-hal tersebut adalah beberapa yang bikin saya lebih bebas dan puas menonton acara dari layanan streaming dibandingkan acara di TV konvensional. Belum lagi ngomongin kontennya— ah, itu bisa jadi artikel sendiri. Tapi, kalau dipikir-pikir, kontrol dan kuasa atas kebebasan menikmati konten mungkin jadi fondasinya. Memiliki kuasa atas kapan harus menonton dan kapan harus berhenti tanpa harus merasa tertinggal dengan acaranya, pasti jadi alasan mendasar move on-nya orang-orang dari menikmati acara TV nasional ke acara di layanan streaming, termasuk saya.
ADVERTISEMENT
Tapi jangan salah, saya juga dulu penggemar salah satu acara TV nasional yang sering saya tonton sembari bersiap berangkat untuk kelas pagi di tahun 2015-2017-an, Pagi Pagi di NET TV yang dibawakan oleh Andre Taulany dan Hesti Purwadinata. Hingga akhirnya, di tahun-tahun berikutnya kelas pagi digantikan dengan petualangan skripsi yang nggak mengharuskan saya bangun sangat pagi dan sejadwal dengan jam tayang acara tersebut. Di hiruk pikuk perskripsian ini pula saya merasa butuh untuk menonton acara TV yang bisa diakses kapan saja tanpa harus bertumpu pada jam tayang tertentu, di sini lah layanan streaming hadir memenuhi kebutuhan saya.
Namun, saya rasa saya nggak benar-benar merasa kehilangan dengan beralih dari TV konvensional ke layanan streaming. Mungkin karena TV nasional bukan lagi menjadi satu-satunya medium audio visual sumber informasi bagi generasi saya, bahkan sedari awal saya rasa kita nggak memusatkan sumber informasi di TV. Kami tumbuh beriringan dengan perkembangan akses informasi di internet dan media sosial. Transisi sumber informasi sudah terjadi pada kami sejak dini, sehingga move on dari TV konvensional bukan sesuatu yang berat bagi kami.
ADVERTISEMENT
Atau mungkin saya nggak merasa kehilangan karena menonton TV konvensional hanya sebagian kecil dari momen utama yang sudah terlewatkan, misalnya momen saat saya di bangku SD yang selalu menantikan acara Laptop Si Unyil, Bocah Petualang, dll. Alih-alih merindukan acara-acara tersebut, saya justru merindukan momen sederhana dan ketidak-ribetan seorang bocah SD di mana jam pulang sekolah menandakan dimulainya periode stress-free yang bisa diisi dengan bermain keliling kampung dengan teman, bermain video game, rebahan, dan sekadar menonton acara di TV nasional.
Sekalipun saya merindukan acara-acara TV nasional, sekarang saya bisa dengan mudah untuk menonton kembali acara-acara tersebut melalui dokumentasi dari situs resmi stasiun TVnya. Dunia sudah canggih.
Meski demikian, saya terbiasa tidur ditemani dengan TV menyala, dilengkapi timer otomatis agar TV mati dalam beberapa menit. Di situ saya menyadari bahwa saya belum sepenuhnya move on dari TV konvensional. Ada nilai sentimental dan feels tersendiri dari siaran TV nasional, seolah bersinonim dengan perasaan nyaman dan tenang.
ADVERTISEMENT
Menghidupkan TV dan mendengarkan riuhnya mengingatkan saya akan hari-hari di rumah orang tua saya di mana ketika TV dinyalakan biasanya menandakan aktivitas sudah berakhir dan rebahan mulai diperbolehkan. Feels dari momen-momen yang dianggap biasa karena terjadi secara rutin dan tidak disangka akan dirindukan semuanya terangkum dalam satu aktivitas sederhana yaitu menonton TV. Siapa sangka bernostalgia bisa dengan semudah itu?
Acara TV nasional memang mudah tergantikan dengan acara di layanan streaming, namun feels-nya akan tetap dalam jiwa kalau kata Isyana Sarasvati. Mungkin itu kenapa saya belum bisa melepas TV konvensional sepenuhnya. Mungkin itu kenapa saya masih suka menonton acara TV nasional untuk beberapa menit. Untuk bernostalgia dengan masa-masa simpel saat masih anak-anak.
ADVERTISEMENT
Kalau ditanya kapan terakhir kali menonton TV, saya akan menjawab “tadi malam” karena memang sudah menjadi rutinitas sebelum tidur untuk menyalakan TV dan dininabobokan hingga lelap. Tapi, saya juga akan mengernyitkan dahi dan menjawab “nggak tau” apabila ada yang menanyakan seputar acara TV nasional. Saya menyalakan TV hanya sekadar untuk bernostalgia, bukan untuk menyerap informasi dan penghiburan yang diberikan oleh acara-acaranya.
Walau begitu, hingga saat ini saya sendiri belum berencana untuk melepas TV konvensional yang saya punya sejak 2015. Bahkan hingga muncul garis-garis bak garis khatulistiwa tepat di tengah layarnya, belum pernah terlintas di pikiran saya untuk menyudahi kepemilikan ini. Entah sampai kapan feels TV konvensional bertahan pengaruhnya terhadap saya, mungkin tahun depan, mungkin tidak akan, atau mungkin sampai Twice mengklarifikasikan bahwa bait “I know you got the feels” pada lagunya memang ditujukan untuk TV konvensional. Mungkin.
ADVERTISEMENT