Penegakan Hukum Di Masa Pandemi (Mengurai Pemikiran Prof. Eddy O.S Hiariej)

Media Center Kementerian Hukum dan HAM
Kanal Resmi Pemberitaan Unit Kerja di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dikelola oleh tim Media Center Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Konten dari Pengguna
2 Maret 2022 19:35 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Media Center Kementerian Hukum dan HAM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penegakan Hukum Di Masa Pandemi (Mengurai Pemikiran Prof. Eddy O.S Hiariej)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Oleh : Andi E. Sutrisno
The rule of law merupakan prinsip penegakan hukum yang berdasarkan asas legalitas. Dalam perspektif operasionalnya, asas legalitas mengilhami negara republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, menjamin setiap warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta setiap warga negara ‘tanpa terkecuali’ wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dalam berjalannya tata kelola pemerintahan. Di era perubahan saat ini, pandemi Covid-19 hadir sebagai bencana non alam yang merubah hampir seluruh tatanan kehidupan bersamaan dengan bergulirnya era disrupsi. Adagium ‘esok menjadi hari ini’ merefleksikan potret disrupsi yang saat ini menggawangi tata kelola pemerintahan di dunia. Kasali (2017) dalam bukunya yang berjudul Disruption mengemukakan bahwa disrupsi bukan sekedar fenomena pada hari ini (today), melainkan fenomena hari esok (the future) yang dibawa oleh para pembaharu ke dimensi saat ini (hari ini -- the present). Artinya, terdapat opsi-opsi suguhan inovasi baru yang akan menggantikan seluruh sistem lama yang terkukung dalam zona nyaman (comfot zone) sehingga harus segera diadopsi. Masyarakat sebagai primary stakeholder harus memahami dan menyadari akan keberadaan fenomena ini, pilihannya hanya dua; menyerang (disruption) atau diserang (disrupted), yang mengerucut pada ‘berubah’ atau ‘punah’. Gambaran disrupsi ini menjadi hal yang menarik apabila dikaitkan dengan proses penegakan hukum di masa pandemi Covid-19.
ADVERTISEMENT
Mereformasi penegakan hukum ditengah-tengah pandemi Covid-19 tentu menjadi tantangan yang besar. Apalagi saat ini Indonesia sedang mengemban tugas besar pembaharuan hukum pidana. Di sisi lain, Indonesia dikenal dengan legal culture yang non partisipatif. Padahal kuncinya ‘terletak’ pada mindset shifting. Awal 2014, saat Jokowi terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia Periode 2014-2019, masyarakat dibuat bertanya-tanya apa itu ‘Revolusi Mental’? Apakah mampu menjadi jawaban atas permasalahan akut bangsa ini? Jika menengok kembali sejarah, konsep Revolusi Mental sejatinya diperkenalkan Presiden Soekarno kepada bangsa Indonesia pada tahun 1957. (1)Saat itu revolusi mental diartikan sebagai gerakan hidup baru untuk menggembleng manusia Indonesia menjadi manusia baru yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, dan berjiwa api. Saat itu 57 tahun telah berlalu, Indonesia diingatkan kembali tentang pentingnya konsep revolusi mental untuk diterapkan secara gamblang dan tegas. Revolusi Mental pada 2014 adalah gerakan nasional yang menekankan pada tiga nilai utama. Yaitu integritas, etos kerja, dan gotong royong. Harapannya, revolusi mental ini dihadirkan guna menyambut derasnya efek disrupsi.
ADVERTISEMENT
Berbicara revolusi mental tentu beririsan dengan strategi mindset shifting. Strategi ini menjadi alternatif pamungkas yang harus ditempuh saat ini, sebagai refleksi dari revolusi mental dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan menjawab tantangan disrupsi pada sektor penegakan hukum. Prof. Eddy O.S Hiariej, dalam sambutannya pada Dies Natalis ke-73 Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada mengungkapkan bahwa strategi ini terklasifikasi menjadi 4 dimensi, yang meliputi: (1) model bisnis, dengan menyentuh cara berfikir yang mengubah model guna mewujudkan keadilan, (2) proses bisnis, dengan menjabarkan perubahan suatu proses untuk pemulihan konflik pelaku dengan masyarakat, (3) product offering, dengan menawarkan bentuk peradilan yang lebih humanis, dan (4) delivery, dengan mengubah cara penyampaian peradilan ke masyarakat. Memaksa dan mengunci pola berfikir masyarakat melalui mindset shifting ini menjadi strategi pertama dalam berjalannya penegakan hukum di tengah disrupsi ini.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya adalah potret penegakan hukum di masa pandemi saat ini mengalami perubahan yang didasarkan pada pengutamaan prinsip protokol kesehatan. Kesepakatan antara pimpinan masing-masing instansi yang terasosiasi dalam penegakan hukum, menghendaki segala proses penegakan hukum mulai dari penangkapan sampai pelaksanaan pidana dilaksanakan dengan pengutamaan prinsip protokol kesehatan. Tanpa disadari, perubahan penegakan hukum di masa pandemi ini mengajak kita untuk berfikir lebih progresif dan konstitutif. Terdapat fenomena paradigma baru peradilan pidana. Fenomena ini dimulai dari perubahan paradigma hukum klasik ke arah paradigma modern. Proses ajudikasi pada paradigma klasik kerap kali menjatuhkan pidana penjara sebagai bentuk penderitaan yang dinilai paling ‘ideal’. Proses tersebut mengurai suatu peristiwa yang menunjukkan masih eksisnya paradigma retributif. Sebagaimana diketahui, PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memberikan authority kepada masing-masing daerah untuk menyusun kebijakan daerah yang memuat substansi pidana sanksi sosial dan pidana denda terhadap pelanggar PSBB. Artinya alternatif pidana telah menjadi agenda penting dalam paradigma baru ini. Selanjutnya, upaya penyelesaian perkara pidana diluar proses tata peradilan pidana. Razia penggunaan masker & pelanggaran jam PSBB merupakan gambaran nyata penyelesaian perkara pidana non formal dengan penjatuhan alternatif pidana berupa pidana sanksi sosial dan/atau pidana denda.
ADVERTISEMENT
Paradigma selanjutnya ditandai dengan ekspansi konsep pembinaan narapidana. Pada tataran praksis Pemasyarakatan, kebijakan asimilasi sebagaimana diatur dalam Permenkumham Nomor 43 Tahun 2021 (telah mengalami tiga kali perpanjangan) pada prinsipnya merupakan terjemahan dari konsep community based corrections. Awalnya, asimilasi mendapatkan pertentangan yang luar biasa dari kalangan masyarakat atas asumsi dasar pemikiran punitif dan retributif. Data statistik menunjukkan total jumlah asimilasi sejumlah 126.025 narapidana dengan jumlah residivis sekitar 565 klien(2). Data ini menunjukkan hanya sekitar 0,44 persen saja. Dalam sudut pandang perawatan narapidana, jumlah makan narapidana secara akumulatif berkisar sekitar Rp 25.000 per narapidana/hari. Maka terjadi penghematan anggaran Rp 189.037.500.000 (dengan estimasi sisa pidana penjara 2 bulan). Data ini mendeskripsikan bahwa pembinaan berbasis masyarakat berjalan dengan efektif serta dapat dilakukan refocusing anggaran yang lebih prioritas.
ADVERTISEMENT
Gambaran eksplisit pembaharuan paradigma penghukuman diatas seyogyanya dapat menggugah pemikiran klasik untuk merekonstruksi mindset shifting terhadap pembaharuan hukum. Saat ini upaya pembaharuan hukum telah dilakukan pada tataran politis. Melihat substansi RPJPN (2005-2025) yang menginstruksikan “Pembangunan materi hukum diarahkan untuk melanjutkan pembaruan produk hukum dalam rangka menggantikan peraturan perundang-undangan warisan kolonial agar dapat mencerminkan nilai-nilai sosial dan kepentingan masyarakat Indonesia”, presensi RKUHP sebagai wujud pembaharuan hukum sudah digariskan dalam politik pembangunan hukum Indonesia sejak GBHN I hingga RPJPN. Draft RKUHP sudah disiapkan sejak tahun 1977 dan terus disempurnakan hingga yang terakhir diajukan ke Prolegnas 2015-2019 adalah RKUHP rancangan 2015. Menurut Prof. Eddy O.S Hiariej yang saat ini menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM, RKUHP tidak hanya mengemban misi “dekolonisasi” dengan bentuk “rekodifikasi” tetapi mengemban misi lain antara lain: (1) demokratisasi hukum pidana dengan masuknya tindak pidana terhadap hak asasi manusia dan dihapusnya tindak pidana penaburan permusuhan atau kebencian (haatzaai-artikelen) yang merupakan tindak pidana formil, dirumuskan kembali sebagai tindak pidana penghinaan yang merupakan tindak pidana materiil, (2) konsolidasi hukum pidana karena adanya perkembangan hukum pidana yang pesat di luar KUHP, dan (3) adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu pengetahuan hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar, dan norma yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia internasional.
ADVERTISEMENT
RKUHP memberikan jawaban mengenai tujuan pemidanaan yang mengutamakan nilai-nilai keadilan dalam bentuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat, yang terakhir menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Selanjutnya, Prof. Eddy O.S Hiariej menjelaskan dalam konsep RKUHP terdapat beberapa poin mendasar yang perlu menjadi perhatian. Pada KUHP, produk hukum ini memfokuskan pada perbuatan atau tindak pidana (Daad-Strafrecht), sedangkan RKUHP memfokuskan pada aspek-aspek individual si pelaku tindak pidana (Daad-dader Strafrecht). Ada keseimbangan faktor objektif (perbuatan/lahiriah) dan faktor subjektif (orang/batiniah/sikap batin). Pertimbangan ini merumuskan pemidanaan, baik berupa pidana maupun tindakan yang didasarkan pada: (1) tujuan dan hakikat pemidanaan, (2) pedoman pemidanaan, (3) pedoman penerapan pidana penjara, (4) alternatif pidana kemerdekaan, (5) penghindaran penjatuhan pidana penjara jangka pendek, dan (6) pidana dan tindakan bagi anak. Dalam RKUHP, subjek tindak pidana meliputi anak, orang dewasa, dan korporasi.
ADVERTISEMENT
Sebagai konsekuensi dari ide “individualisasi pidana” maka sistem pemidanaan dalam hukum pidana modern pada gilirannya berorientasi pada pelaku dan perbuatan. Jenis sanksi yang ditetapkan tidak hanya meliputi sanksi pidana, tetapi juga sanksi tindakan. Pengakuan tentang kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan merupakan hakikat asasi atau ide dasar dari “konsep double track system”. Merry NS (2018) mengemukakan ide double track system ini menuntut adanya kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan, hal ini dapat diterapkan bagi pelaku penyalahgunaan narkotika sehingga efek jera dan proses penyembuhan dari pelaku kejahatan narkotika tersebut dapat berjalan. Dilaksanakannya proses ini bagi para pelaku kejahatan narkotika mampu untuk sembuh dari ketergantungan penggunaan narkotika dan jera karena adanya sanksi pidana.
ADVERTISEMENT
Pemikiran diatas memunculkan pertanyaan mengapai urgensi restorative justice dibutuhkan. Pembedahan pembahasan dikonstruksikan dalam poin antara lain: (1) penegakan hukum formal (institusionalisasi) tidak memuaskan dan tidak merepresentasikan nilai-nilai keadilan sosial, (2) sistem peradilan pidana sangat prison-oriented, sedangkan penjara bersifat destruktif, dan (3) perubahan paradigma dalam penegakan hukum dengan memberikan perhatian pada korban, tanggung jawab pelaku, dan pelibatan masyarakat. Prinsip mendasarnya, RKUHP akan menggunakan pendekatan deinstitusional dan alternatif pidana penjara. Studi mengenai penjara bersifat destruktif yang berarti merusak, memusnahkan, atau menghancurkan (dalam KBBI). Sifat destruktuf ini terurai menjadi 4 bagian yang meliputi: prisonisasi, konsumtif, deprivasi/kesakitan, dan stigma/labelling. Sejalan dengan pemikiran tersebut, maka RKUHP menyuguhkan bentuk pemidanaan terhadap subjek tindak pidana. Bagi orang dewasa, bentuk pidana selain penjara yang diterapkan berupa: pidana pengawasan, pidana kerja sosial, dan/atau pidana denda. Selanjutnya bagi anak dengan merujuk pada UU. Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak berupa: pidana didalam lembaga, pelatihan kerja, pidana peringatan, dan pidana dengan syarat yang meliputi pembinaan diluar lembaga, pelayanan masyarakat, dan pengawasan.
ADVERTISEMENT
Diskursus mengenai Pemasyarakatan tentu menjadi perbincangan yang menarik. Pemasyarakatan dikenal dengan permasalahan akutnya yakni overcrowding. Overcrowding merupakan suatu fenomena dimana kapasitas Lapas/Rutan tidak mampu membendung arus penerimaan tahanan/narapidana yang berdampak pada kelebihan kapasitas. Saat ini, jumlah keseluruhan WBP adalah 271.289 orang dengan kapasitas Lapas/Rutan sejumlah 132.107 orang, telah terjadi overkapasitas mencapai 139.182 orang atau sekitar 205 persen(3). Overcrowding disebabkan oleh beberapa faktor, yakni: tindak kejahatan yang terus meningkat (secara kuantitas dan kualitas), sistem peradilan yang beritikad menghukum (punitive sentiment), penahanan di Rutan adalah alternatif dari kedua faktor tersebut yang berujung pada dogma “pemenjaraan menjadi pilihan termudah”. Dampak dari overcrowding ini tidak hanya secara tersurat dan bersifat numerikal saja, melainkan terganggunya proses Pemasyarakatan didalam Lapas/Rutan. Peristiwa gangguan taktis berupa pelarian, pembakaran, pengeroyokan, dll, terganggunya kondisi psikologis narapidana, terganggunya sistem kesehatan akibat sanitasi yang buruk, tidak tersedianya ruang perawatan ekstensif terhadap penyakit menular mengingat status Lapas/Rutan sebagai total institution, terganggunya manajemen keamanan dan ketertiban, serta manajemen pembinaan dan pelayanan yang tidak optimal adalah kompilasi dampak dari overcrowding.
ADVERTISEMENT
Alternatif penanganannya tentu dengan melakukan perbaikan pada aspek generatif yang meliputi: (1) penataan regulasi terkait pidana alternatif selain penjara, tahanan rumah, tahanan kota, rehabilitasi pengguna narkoba, dll, (2) pembangunan infrastruktur baru, penataan kelembagaan, pemenuhan sarpras berbasis TI, penguatan sumber daya manusia. Dan (3) optimalisasi pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, asimilasi dirumah, dan remisi melalui layanan on-line dan optimalisasi pembinaan integrasi sosial melalui open camp. Sekali lagi perlu menjadi penekanan bahwa faktor yang meyebabkan overcrowding ini antara lain angka kejahatan yang semakin tinggi, budaya punitif masyarakat, ppaya penahanan/pemenjaraan merupakan metode yang paling mudah, mudahnya alih teknologi kejahatan di Lapas (prisonisasi), dan stigmatisasi sebagai penghambat reintegrasi sosial dan cikal bakal terjadinya residivisme.
Lantas bagaimana penegakan hukum di masa pandemi ini dapat disesuaikan dengan cita-cita RKUHP? Masa pandemi dapat dikatakan sebagai masa percobaan mengingat perubahan tatanan aspek kehidupan sebagaimana dijelaskan pada pembahasan awal. RKUHP dapat menjadi solusi baru yang menawarkan kehidupan berkeadilan dalam reformasi penegakan hukum. Kebijakan kriminal (criminal policy) di Indonesia dalam RKUHP mencoba mengurangi penggunaan pidana penjara dengan adanya pidana alternatif selain penjara seperti : pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial dengan sasaran pelaku tindak pidana antara lain: anak, lansia, first offender, dan membayar ganti rugi. Studi ini sejalan dengan filosofi reintegrasi sosial yang berasumsi bahwa kejahatan adalah konflik yang terjadi antara terpidana dengan masyarakat. Sehingga pemidanaan ditujukan untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana dengan masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Reintegrasi sosial sebagai katalisator Pemasyarakatan. Reintegrasi sosial merupakan social engagement. Muncul pertanyaan : Bagaimana model pelibatan masyarakat dalam upaya reintegrasi sosial narapidana? Upaya yang dapat dilakukan antara lain: social control, masyarakat dilibatkan dalam upaya pengawasan narapidana selama proses reintegrasi sosial. Social support, masyarakat mendukung penuh proses reintegrasi sosial narapidana. Dan social participation, masyarakat berpartisipasi secara aktif dalam proses reintegrasi sosial narapidana.
Fokus perhatian Pemasyarakatan tidak hanya individu pelanggar hukum saja, namun meluas ke sektor masyarakat. Tidak adanya penolakan masyarakat terhadap kembalinya narapidana, menjadi tolok ukur atas sejauh mana pemulihan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan tersebut telah tercapai.
Sekilas merupakan potret penegakan hukum di masa pandemi yang dikemukakan oleh Prof. Eddy O.S Hiariej. Reformasi penegakan hukum modern ke arah yang berkeadilan adalah cita-cita dan harapan bangsa. Semoga RKUHP dapat segera memperoleh pengesahan dan pengundangan, menjadi jawaban atas permasalahan klasik hukum negara ini, dan tentu menjawab tantangan disrupsi khususnya dalam bidang tata kelola pemerintahan bidang hukum.
ADVERTISEMENT
***
Kepala Subsi Bimbingan Kemasyarakatan & Perawatan Lapas Kelas IIA Sidoarjo, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Timur.
1. Diakses pada website Kemkominfo pada 2 Maret 2022.
2. Data Evalap Ditjenpas per 27 Februari 2022.
3. Ibid.