Konten dari Pengguna

Resensi: Novel Twenty Four Eyes (Dua Belas Pasang Mata)

Mega Putri Mahadewi
Mahasiswa Ilmu Informasi dan Perpustakaan, Universitas Airlangga.
15 Juni 2023 15:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mega Putri Mahadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Buku Twenty Four Eyes (Dua Belas Pasang Mata) oleh Sakae Tsuboi | Foto milik Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Buku Twenty Four Eyes (Dua Belas Pasang Mata) oleh Sakae Tsuboi | Foto milik Penulis
ADVERTISEMENT
“Orang-orang hidup dan mati, mengorbankan semua hak mereka sebagai manusia. Entah mereka membuka mata lebar-lebar dengan penuh ketakutan atau menyembunyikan air mata yang merembes dari sudut-sudut mata.” Halaman 197
ADVERTISEMENT
Identitas Novel
Judul Buku : Nijushi No Hitomi ; Twenty-Four Eyes (Dua Belas Pasang Mata)
Pengarang : Sakae Tsuboi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tanggal Terbit : Maret 2022 (Cetakan kedelapan)
ISBN :621186014
Tebal Halaman : 1,5 cm
Lebar : 13,5 cm
Panjang : 20 cm
Jumlah Halaman : 244 Halaman
Sinopsis
Berlatarkan di Jepang pada tahun 1918, seorang guru, Miss Oishi, ditugaskan mengajar di desa sederhana di Tanjung Laut Seto. Desa kecil yang dihidupi oleh masyarakat yang kebanyakan berprofesi menjadi petani dan nelayan. Sekolah yang berdiri di sana cukup terbilang pelosok karena hanya ada dua guru yang ditugaskan untuk mengajar.
Miss Oishi menjadi tokoh yang berperan sebagai guru muda. Digambarkan dengan karakter yang memiliki tekad tinggi dan berpenampilan setelan ala wanita Barat dengan sepeda yang menjadi kendaraannya. Tampilannya itu membuat dirinya terlihat sangat kontras dan berbeda dengan masyarakat di sana, sehingga membuat Miss Oishi menjadi pusat perhatian para masyarakat desa tersebut. Kepribadiannya yang berbeda dan cara berpikir serta wawasannya yang luas menjadi daya tarik para anak-anak murid di sana untuk menyayangi Miss Oishi sebagai guru baru mereka.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya Miss Oishi saja, diceritakan juga karakter dari tiap dua belas murid yang diajar olehnya: Kotsuru sebagai gadis yang banyak bicara, Masuno gadis yang tertarik dengan musik, Kotoe anak seorang nelayan, Matchan anak seorang tukang kayu, Fujiko gadis bangsawan, Miisan gadis dari keluarga kaya, Sanae si anak pemalu yang cerdas; Nita si bongsor yang cerewet, Sonki anak si penjual tahu, Tanko anak dari ketua nelayan, Takeichi anak laki-laki yang cerdas, dan Kitchin si pendiam. Setiap anak memiliki cerita dan nasib yang berbeda, namun mereka berteman dengan akrab dan saling memahami satu sama lain.
Sampai pada suatu saat ketika kondisi negara Jepang yang mulai ramai akan peperangan mengubah kehidupan masyarakat tak terkecuali kedua-belas anak murid tersebut dan Miss Oishi. Mulai dari keadaan ekonomi yang depresi, musim paceklik, hingga sulitnya mengakses segala fasilitas publik, dari pendidikan sampai kesehatan; para laki-laki yang ditugaskan untuk ikut berperang hingga perempuan yang sedih dan menjadi janda karena kehilangan anak laki-laki serta suaminya.
ADVERTISEMENT
Kehidupan masyarakat menjadi sangat sulit, setiap hari yang dilalui rasanya sangat menakutkan. Segala impian harus terkubur dalam-dalam. Setiap hari semua orang hanya mengharapkan peperangan cepat selesai dan semua bisa kembali seperti semula.
Resensi Novel
Menghangatkan sekaligus menyayat hati menjadi suasana yang akan tergambar ketika kita membaca isi novel yang berisi sepuluh bab ini. Penggambaran mengenai kehidupan anak-anak yang lugu dan nakal membuat kita akan merasakan heartwarming. Rasa prihatin juga terasa ketika adanya pemaparan konflik serta nasib setiap tokoh.
Perasaan sedih semakin tergolak saat sampai pada alur para tokoh anak-anak mulai tumbuh namun tidak bisa menjalani jalan yang mereka impikan saat mereka masih anak-anak. Satu kata yang tergambar, buku ini betul-betul roller coaster. Yang awalnya kita sebagai pembaca akan tersenyum hangat, tiba-tiba di bab berikutnya menjadi sangat emosional.
ADVERTISEMENT
Buku ini memang berlatar pada situasi peperangan tetapi Sakae Tsuboi sebagai penulis tidak menjadikan latar tersebut sebagai hal utama yang diceritakan, melainkan dampak peperangan itu terhadap tokoh-tokoh dalam buku. Bahkan beberapa pembaca mengakui bahwa penggambaran situasi peperangan yang terjadi menunjukkan bahwa buku ini berada pada posisi Anti-Perang. Sangat cocok untuk dibaca bagi kalian yang ingin mengetahui situasi masyarakat Jepang pada zaman perang berlangsung.
Buku ini memang berlatar pada situasi peperangan tetapi Sakae Tsuboi sebagai penulis tidak menjadikan latar tersebut sebagai hal utama yang diceritakan, melainkan dampak peperangan itu terhadap tokoh-tokoh dalam buku. Bahkan beberapa pembaca mengakui bahwa penggambaran situasi peperangan yang terjadi menunjukkan bahwa buku ini berada pada posisi Anti-Perang. Sangat cocok untuk dibaca bagi kalian yang ingin mengetahui situasi masyarakat Jepang pada zaman perang berlangsung.
ADVERTISEMENT
Periode mengenai peperangan juga tidak diceritakan secara gamblang kapan dan bagaimana. Meskipun dikatakan banyak sekali time event yang di-skip, buku ini termasuk sebagai buku dengan alur lambat. Akan tetapi hal ini wajar saja karena dengan alur lambat tersebut yang membantu kita menjadi lebih paham mengenai situasi dan karakter dari setiap tokoh.
Saya menganggap kalau terjemahan dari novel ini sangat menunjukkan ciri khas dari gaya menulis para penulis Jepang. Meskipun terjemahannya masih terasa kaku namun bahasa yang dipakai terbilang sederhana yang membuat pembaca dapat enjoy mengikuti alur dan mudah dalam memahami konflik. Interaksi yang dilakukan antar tokoh juga langsung terbayang dalam pikiran, sehingga membuat kita seakan ikut merasakan perasaan setiap tokoh.
ADVERTISEMENT
Buku yang berjumlah 244 halaman ini berhasil memberikan banyak pesan mengenai kehidupan seperti tentang tumbuh dan berkembang; kesulitan dan kemudahan; serta bertemu dan berpisah. Bagi saya, Twenty-Four Eyes menjadi buku yang dapat mengingatkan kita sebagai pembaca untuk bisa bersyukur atas kehidupan yang kita jalani, seringkali setiap penggambaran ceritanya membuat saya berulang kali berpikir untuk merasa beruntung hidup di zaman yang sudah serba mudah ini.
Dari buku ini kita bisa mengambil makna, bahwa sesulit apapun kehidupan, kita tetap harus menjalani karena Tuhan akan mengarahkan akhir terbaik bagi-Nya dan bagi diri kita. Buku ini sangat cocok dan direkomendasikan untuk kalian yang ingin melepas penat dari keseharian karena rasa hangat, sedih, haru, dan damai dapat kalian temukan di setiap momen yang diceritakan. Meskipun sederhana, buku ini sangat berkesan.
ADVERTISEMENT