Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Salafi di Mata Masyarakat: Antara Mispersepsi dan Realitas
5 Februari 2025 15:37 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Abdul Aziz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gerakan kaum Salafi sering kali menghadapi tantangan dalam persepsi publik, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Istilah "Salafi" sendiri berakar dari kata salaf al-salih, yang berarti "generasi saleh terdahulu" dan merujuk pada tiga generasi pertama umat Islam: para sahabat, tabi'in, dan tabi' tabi'in. Kelompok ini secara umum berusaha untuk mempraktikkan ajaran Islam berdasarkan Qur’an, Sunnah dan para Sahabatnya, menekankan kemurnian ajaran tanpa adanya inovasi (bid’ah) yang muncul kemudian. Namun, di mata masyarakat umum, Salafi tidak selalu dipandang dalam konteks ini. Banyak yang masih salah memahami gerakan Salafi dan mengaitkannya dengan kekerasan atau ekstremisme. Pada kenyataannya, gerakan Salafi justru banyak menekankan nilai-nilai moral dan akhlak yang luhur.
ADVERTISEMENT
Persepsi Masyarakat Terhadap Salafi
Studi oleh Pew Research Center pada 2019 menunjukkan bahwa lebih dari 30% masyarakat di Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) mengaitkan Salafi dengan praktik keagamaan yang ketat namun tidak kekerasan. Meski demikian, dalam survei yang sama, sekitar 20% responden menganggap Salafi sebagai ancaman terhadap stabilitas sosial, terutama di negara-negara dengan mayoritas Muslim moderat. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi publik terhadap Salafi tidak seragam dan cenderung dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti media, situasi politik, dan pengalaman sosial masyarakat.
Di Indonesia, khususnya di wilayah perkotaan seperti Jakarta, Salafisme telah beradaptasi dengan pendekatan yang lebih modern dan terbuka melalui media sosial seperti YouTube dan Instagram. Penggunaan platform digital ini memungkinkan Salafi untuk memengaruhi opini dan menyebarkan narasi Islam yang relevan bagi kaum muda dan kelas menengah yang lebih urban. Perkembangan ini juga menciptakan subkultur “populer” dalam Salafisme, yang disebut "popular culture da’wa," di mana aspek modern seperti budaya Barat diadaptasi untuk memperkuat nilai-nilai Islam di kalangan anak muda Indonesia.
ADVERTISEMENT
Mengapa Muncul Mispersepsi?
Salah satu alasan utama munculnya mispersepsi ini adalah pemberitaan media. Media sering kali memusatkan perhatian pada segelintir kelompok yang mengklaim sebagai Salafi namun terlibat dalam tindakan kekerasan. Meskipun mayoritas ulama Salafi menolak segala bentuk kekerasan dan menekankan dakwah damai, segelintir kelompok ekstremis yang mengklaim nama Salafi cukup untuk membentuk persepsi negatif publik terhadap seluruh gerakan.
Ada anggapan bahwa Salafi selalu bersikap kaku dan sulit menerima perbedaan. Padahal, banyak ulama Salafi yang mengedepankan prinsip tasamuh (toleransi) dalam berinteraksi dengan orang yang berbeda pandangan. Sebagai contoh, seorang ulama Salafi terkemuka, Sheikh Albani, Sheikh Muhammad bin Saleh al-Uthaymeen, dll yang sering kali menekankan pentingnya dialog dan persatuan di antara umat Islam meskipun berbeda pendapat dalam hal-hal yang tidak prinsipil, menekankan pentingnya menjaga stabilitas dan keamanan dalam masyarakat, dan bahwa Islam tidak mengajarkan untuk memaksa atau melakukan kekerasan terhadap orang lain.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Salafi sering dianggap kurang menerima budaya lokal. Misalnya, mereka menolak upacara atau kebiasaan yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam yang asli, seperti perayaan hari-hari besar adat atau tradisi ziarah kubur tertentu. Di banyak tempat, ini menimbulkan pandangan bahwa Salafi mengabaikan atau bahkan merendahkan kebudayaan masyarakat setempat. Pada kenyataannya, banyak ulama Salafi yang tetap menghargai budaya lokal selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam.
Realitas Salafi: Berdasarkan Prinsip Akhlak dan Kebaikan
Di luar persepsi yang sering kali miring, realitas gerakan Salafi lebih didominasi oleh dakwah yang damai dan etika yang tinggi. Mereka banyak mempromosikan nilai-nilai Islam yang mengutamakan akhlak mulia, seperti kejujuran, kesederhanaan, dan tanggung jawab sosial. Hal ini terlihat dalam berbagai inisiatif sosial yang diinisiasi oleh kelompok Salafi, mulai dari program pendidikan, bantuan kemanusiaan, hingga proyek-proyek kesehatan masyarakat. Di berbagai negara, seperti di Yaman dan Mesir, gerakan Salafi banyak terlibat dalam proyek-proyek sosial yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat, tanpa pamrih.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, misalnya, pesantren-pesantren Salafi di berbagai daerah telah menjadi tempat belajar bagi banyak anak muda yang ingin mempelajari ajaran Islam secara mendalam. Mereka diajarkan untuk menjadi muslim yang baik, menghormati sesama, serta tidak mudah menghakimi. Pesantren-pesantren ini juga banyak berfokus pada pembinaan akhlak yang luhur serta pemahaman agama yang mendalam, jauh dari unsur-unsur kekerasan atau paksaan.
Memahami Salafi dengan Kacamata yang Tepat
Sikap menilai seluruh kelompok berdasarkan tindakan segelintir pihak akan menghasilkan pandangan yang tidak akurat. Penting bagi masyarakat untuk memahami Salafi sebagai gerakan yang fokus pada pengajaran nilai-nilai akhlak yang luhur dan penguatan iman. Jika kita membuka diri untuk memahami realitas di balik mispersepsi, akan kita temukan bahwa Salafi, seperti banyak gerakan keagamaan lainnya, berisi manusia-manusia yang berusaha menjalankan ajaran agama dengan sebaik-baiknya.
ADVERTISEMENT
Dengan lebih banyak memahami realitas di balik gerakan Salafi, diharapkan masyarakat dapat melihat bahwa Salafi bukanlah ancaman, melainkan kelompok yang menawarkan perspektif berbeda dalam upaya memperdalam iman. Pandangan yang lebih adil terhadap mereka akan membuka ruang bagi dialog dan kerjasama yang positif dalam masyarakat plural. Wallohu’alam.
Live Update