Human Security from Below: Kapasitas Hebat Individu sebagai Penyedia Keamanan

Meilisa Anggraeni
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
3 Juli 2023 11:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Meilisa Anggraeni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi remaja bernyanyi di taman. Foto: Tom Wang/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi remaja bernyanyi di taman. Foto: Tom Wang/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Keamanan manusia (human security) menempatkan manusia sebagai orientasi utamanya; pusat yang harus dilindungi. Sebagaimana laporan UNDP 1994, keamanan manusia berarti manusia harus terlepas dari belenggu ketidakbebasan want, fear, dan dignity.
ADVERTISEMENT
Segala macam hal yang mengganggu keberlangsungan dan kenyamanan hidup manusia dapat dianggap sebagai ancaman keamanan manusia. Sebagai objek utama yang harus diproteksi, keberdayaan manusia kemudian dipertanyakan. Apakah individu benar-benar helpless dan powerless dalam menghadapi ketidakamanan yang menimpa dirinya?
Pendekatan bottom up dalam keamanan manusia membantah hal ini. Pendekatan bottom up justru melihat manusia sebagai aktor yang berdaya, bahkan ketika mereka yang terluka. Meskipun tidak terdengar sebesar aktor-aktor dari pendekatan top down, keamanan manusia dapat tercipta dari upaya gabungan individu/gerakan akar rumput, baik melalui self-protection, horizontal protection, maupun vertical protection (Faber, 2008).
Pendekatan top down dalam keamanan manusia memposisikan negara dan organisasi internasional seperti PBB sebagai aktor utama yang bertanggung jawab untuk menangani permasalahan keamanan manusia.
Ilustrasi imigran gelap ke Yunani Foto: REUTERS/Yannis Behrakis/File Photo
Walau dalam praktiknya pencapaian keamanan manusia lewat pendekatan ini terkadang sarat akan kepentingan, intervensi kemanusiaan yang dilakukan dari atas tetap patut diakui perbaikan yang ditimbulkannya.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, pendekatan ini memiliki batasan yang jelas dan celah yang perlu diisi. Terdapat kasus-kasus di mana negara memang tidak cukup kuat atau gagal dalam menyediakan keamanan bagi warga negaranya, misalnya negara dalam masa perang. Hal ini mendorong masyarakat bergerak untuk sebisa mungkin melindungi dirinya sendiri dan komunitasnya.
Ada pula kasus di mana respons negara dan organisasi internasional tidak cukup cepat, seperti yang terjadi di Yunani pada krisis pengungsi Eropa 2015. Yunani yang merupakan gerbang masuk pengungsi secara tiba-tiba menerima pengungsi dalam jumlah yang besar, pemerintah menerima kritik karena dianggap tidak kompeten dalam menghadapinya.
Kemudian muncul banyak non-governmental organisation (NGO) dan civil society organisation (CSO) (bottom up) yang terdiri dari relawan lokal dan internasional yang menggantikan peran pemerintah untuk memberikan perlindungan dan memenuhi kebutuhan pengungsi.
ADVERTISEMENT
Bantuan kemanusiaan yang diberikan oleh NGO dan CSO dalam kasus ini berupa bantuan air, makanan, pakaian, pelayanan kesehatan, transportasi ke pusat pendaftaran, serta pencarian dan penyelamatan pengungsi di laut (Shutes & Ishkanian, 2021). NGO dan CSO juga bergerak untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dengan melakukan agenda setting dan advokasi kebijakan.
Pendekatan bottom up atau human security from below menggambarkan bagaimana penanganan keamanan manusia diambil alih kontrolnya dari aktor besar ke masyarakat. Manusia secara individu ataupun bahu membahu dengan manusia lainnya dapat berupaya untuk menciptakan keamanan manusia bagi dirinya sendiri dan orang di sekelilingnya.
Inisiatif dari bawah untuk menciptakan keamanan manusia memiliki tingkat efektivitas yang tinggi karena persoalan keamanan manusia kebanyakan bersifat mikro sehingga tidak terjangkau oleh negara.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa kasus, sifat mikro dari permasalahan keamanan manusia juga memungkinkan pihak yang mengalaminya secara langsung —yang lebih mengerti permasalahan— untuk menanganinya.
Contohnya adalah NGO Respect, Educate, Nurture and Empower Women (RENEW) yang menyediakan layanan darurat dan terpadu bagi para penyintas kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan berbasis gender.
Ilustrasi HIV/AIDS. Foto: 4 PM production/Shutterstock
NGO ini juga menyebarkan kesadaran tentang kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS (UN Bhutan, 2010). Selain itu, organisasi akar rumput dapat juga mempromosikan food security seperti yang dilakukan oleh Joglo Tani di Yogyakarta.
Jaringan informal ini mampu membuat program-program pengenalan teknologi pertanian baru kepada masyarakat setempat (Setiadi, 2020). Dapat dilihat bagaimana NGO juga berperan penting dalam capacity building.
Kemampuan gerakan dari bawah dalam pemenuhan keamanan manusia tidak hanya berhenti sampai di situ. Gerakan dari bawah juga kadang lebih baik dari gerakan dari atas dalam mengelola konflik dan menyelesaikan kekerasan. Hal ini dapat dilihat dari banyak kasus organisasi lokal yang berfokus pada peacebuilding.
ADVERTISEMENT
Perselisihan yang kadang terjadi karena perbedaan etnis, suku dan agama dalam suatu daerah juga tidak akan lepas dari komunitas lokal dalam resolusi konfliknya.
Demonstran perempuan Palestina melakukan protes secara damai selama Intifada I. Sumber: Getty Images
Contoh lainnya adalah Intifada I (perlawanan/membebaskan diri dari Israel) masyarakat Palestina tahun 1988-1994 yang dipenuhi dengan aksi nirkekerasan dari masyarakat lokal (bottom up) yang pada akhirnya membuat resolusi konflik sempat semakin dekat daripada Intifada II (2000-2005) yang di kontrol penuh oleh pejabat politik (top down) dan mengutamakan angkatan bersenjata.
Pada Intifada I, terbentuk banyak komite perlawanan sipil secara spontan dari masyarakat lokal yang melakukan perlawanan secara damai dan menuntun pada kesediaan Israel untuk berunding dengan PLO di Oslo.
Sedangkan pada Intifada II, partisipasi aktif dari masyarakat Palestina dalam konflik menghilang, begitu juga dengan organisasi-organisasi akar rumput. Hal ini membuat hubungan Palestina-Israel justru memburuk dan jumlah korban terbunuh meningkat drastis, yang artinya ancaman keamanan manusia semakin besar (Salem, 2008).
ADVERTISEMENT
Dapat ditarik kesimpulan bahwa keamanan manusia memang bergantung kepada manusia itu sendiri. Individu tidak bisa hanya bersandar pada peran pemerintah atau organisasi internasional untuk menentukan nasibnya.
Peran individu dalam jaringan-jaringan (networks) sangat penting dalam pemecahan isu-isu keamanan manusia. Dampak dari gerakan-gerakan dari bawah sangat besar dan manfaatnya terlihat secara nyata. Untuk mencapai keamanan manusia, bahkan langkah kecil pun terhitung dan berharga.