Konten dari Pengguna

Menciptakan Lingkungan Digital yang Aman dan Nyaman bagi Anak

Melati Nainggolan
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
22 November 2024 18:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Melati Nainggolan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
desain by Melati Nainggolan/Canva
zoom-in-whitePerbesar
desain by Melati Nainggolan/Canva

Memastikan bahwa anak-anak dapat mengakses dan menggunakan teknologi serta media digital dengan cara yang aman, sehat, dan bebas dari ancaman.

ADVERTISEMENT
Seiring dengan perkembangan teknologi yang menuju serba digital, membawa dampak besar bagi kehidupan kita, termasuk anak-anak di Indonesia. Di satu sisi, internet memberikan kemudahan untuk belajar, bermain, dan berinteraksi. Namun, di sisi lain, ancaman yang mengintai di dunia digital juga semakin nyata, salah satunya kekerasan yang terjadi di media digital. Menurut data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), terdapat lebih dari 30 juta anak di Indonesia yang aktif menggunakan internet. Anak-anak ini terhubung dengan media digital untuk melakukan berbagai aktivitas online, seperti bermain media sosial, belajar daring, atau bermain game. Namun sangat disayangkan, semakin banyak anak-anak yang menggunakan media digital, maka semakin besar pula risiko mereka terpapar kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
Kekerasan seksual di dunia digital dapat berupa banyak hal. Misalnya, pengunggahan foto anak tanpa busana dan tindakan grooming, di mana pelaku yaitu orang dewasa menjalin hubungan dengan anak di bawah umur untuk tujuan seksual. Hal ini tentunya membawa dampak yang sangat buruk bagi anak-anak. Mereka yang menjadi korban sering kali mengalami kecemasan, ketakutan, bahkan trauma mendalam. Masalah ini semakin diperparah karena banyak korban yang tidak berani melapor tentang kekerasan yang diterima karena adanya rasa takut tidak didengar atau tidak dipercaya, terutama ketika bukti kekerasan, seperti foto atau video, sulit dikumpulkan atau telah dimanipulasi oleh pelaku.
Hal ini juga berkaitan dengan teori komunikasi yaitu spiral of silence theory, di mana seseorang cenderung memilih diam karena merasa suaranya tidak akan didengar. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual sering merasa malu atau takut akan reaksi orang lain, sehingga lebih memilih untuk menyimpan pengalaman pahit mereka sendiri. Ini adalah tantangan besar, karena tanpa keberanian untuk bicara, sulit bagi mereka untuk mendapatkan bantuan.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana cara kita melindungi anak-anak dari ancaman ini? Tentunya peran orang tua sangat penting. Orang tua harus memberikan pemahaman kepada anak tentang bagaimana cara menggunakan media sosial dengan aman, seperti tidak membagikan informasi pribadi, berhati-hati terhadap orang asing, dan menghindari interaksi yang mencurigakan. Selain itu, orang tua juga harus peka terhadap tanda-tanda yang mungkin menunjukkan anak telah menjadi korban kekerasan seksual, seperti perubahan perilaku atau ketakutan yang tidak biasa.
Ketika anak menjadi korban, dukungan dari orang tua menjadi kunci utama. Mendengarkan cerita mereka tanpa menyalahkan adalah langkah pertama untuk membangun kembali rasa percaya diri mereka. Orang tua harus menciptakan lingkungan yang nyaman agar anak merasa aman untuk berbicara. Ini juga menjadi momen penting untuk menunjukkan bahwa mereka tidak sendiri dan bahwa ada orang-orang yang siap membantu mereka bangkit dari pengalaman buruk tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain peran orang tua, kehadiran konselor atau psikolog sangat penting untuk membantu anak-anak mengatasi trauma. Konselor dapat memberikan ruang aman bagi anak untuk bercerita dan membantu mereka mengelola emosi. Setelah anak merasa lebih stabil, langkah berikutnya adalah merancang strategi pencegahan agar kekerasan yang sama tidak terjadi lagi, baik pada anak tersebut maupun pada anak-anak lain.
Namun, tanggung jawab melindungi anak dari kekerasan seksual online tidak hanya ada pada orang tua atau konselor. Tenaga pendidik di sekolah juga harus ikut berperan. Pendidikan tentang literasi digital dan pentingnya menjaga privasi di internet harus menjadi bagian dari kurikulum. Guru bisa memberikan pemahaman kepada anak tentang risiko dunia digital dan cara-cara melindungi diri. Selain itu, masyarakat luas juga harus ikut mendukung terciptanya lingkungan yang aman bagi anak-anak. Dukungan ini bisa berupa kampanye literasi digital, pelaporan akun-akun yang mencurigakan, atau sekadar memberikan edukasi sederhana kepada orang tua lain di komunitas.
ADVERTISEMENT
Pencegahan kekerasan seksual di dunia digital juga memerlukan tindakan yang lebih besar dari pemerintah. Kebijakan yang melindungi anak-anak harus ditegakkan dengan serius. Penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual online harus dilakukan dengan tegas agar memberikan efek jera. Selain itu, perlu ada akses yang lebih mudah bagi korban untuk melapor, misalnya melalui platform digital yang ramah anak atau layanan hotline yang tersedia 24 jam.
Kita juga tidak boleh lupa bahwa anak-anak adalah harapan masa depan bangsa. Mereka perlu tumbuh di lingkungan yang aman dan nyaman agar potensi mereka dapat berkembang secara maksimal. Dengan terus terpapar ancaman seperti kekerasan seksual di dunia digital, kesehatan fisik dan mental anak-anak bisa terganggu. Luka akibat kekerasan seksual tidak hanya mempengaruhi mereka saat ini, tetapi juga bisa meninggalkan jejak mendalam yang menghambat mereka di masa depan.
ADVERTISEMENT
Karena itu, mari kita bersama-sama menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi anak-anak. Orang tua bisa memulai dari rumah dengan memberikan edukasi dan pengawasan yang cukup. Guru dan tenaga pendidik bisa memperkuat pemahaman anak tentang literasi digital. Masyarakat bisa mendukung melalui kampanye kesadaran atau aksi nyata melawan kejahatan di dunia maya. Dengan kerja sama yang baik, kita bisa melindungi anak-anak dari ancaman kekerasan seksual online dan membantu mereka tumbuh menjadi generasi yang kuat, sehat, dan penuh harapan.
Anak-anak adalah cerminan masa depan bangsa. Mereka pantas mendapatkan perlindungan, perhatian, dan dukungan dari kita semua. Mari bersama-sama menciptakan ruang digital yang aman, di mana anak-anak bisa bermain, belajar, dan berkembang tanpa rasa takut. Karena setiap anak Indonesia berhak meraih mimpi mereka dengan penuh percaya diri dan tanpa hambatan.
ADVERTISEMENT

Sumber
Adawiah, R. A. (2024, oktober). PENDEKATAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI KEKERASAN TERHADAP ANAK DI ERA DIGITAL. Jurnal Kajian Ilmu Kepolisian dan Anti Korupsi. https://ejurnal.ubharajaya.ac.id/index.php/KIK-AK/article/view/3026/1873
Dirgantara, A. S. (2024). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DI RUANG DIGITAL. Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan. https://ejournal.warunayama.org/index.php/causa/article/view/6581
Irmayanti, N. (2023). Bersama Lawan Kekerasan Digital: Peran Orang Tua dan Teman Sebaya dalam Mengatasi Cyberviolance (F. O. Grahani, Ed.). Jurnal Ilmiah Fakultas Psikolog. https://jurnal.yudharta.ac.id/v2/index.php/ILMU-PSIKOLOGI/article/download/4259/2585
Jamin, N. S., Jamin, F. S., Djuko, R. u., Laya, U. S., & Abdul, N. S. (2023, Mei). Edukasi Pencegahan Kekerasan pada Anak Melalui Literasi Digital Keluarga. Jurnal Pengabdian Masyarakat. https://jurnal.itscience.org/index.php/dst/article/view/2677
Kunyati, S. A. (2024). PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN EKSPLOITASI DAN KEKERASAN SEKSUAL ANAK SECARA (H. Krisnamurti, Ed.). Jurnal Abdimas. https://jabb.lppmbinabangsa.id/index.php/jabb/article/view/1176
ADVERTISEMENT
Pahlevi, R., Fa’iqoh, A., & Fitriyani, N. (2023, juni). Anak dan Kekerasan Seksual: Peran Konselor dalam Penyembuhan Traumatik Pada Anak Korban Kekerasan Seksual di Provinsi Banten. Jurnal Hawa: Studi Pengarus Utamaan Gender dan Anak. https://ejournal.uinfasbengkulu.ac.id/index.php/hawa/article/view/4069