Pengembangan Infrastruktur Publik di Indonesia

melekapbn
Komunitas yang fokus dalam memberikan edukasi kepada masyarakat terkait dengan anggaran negara (APBN) beserta kebijakan yang relevan. Artikel yang kami publikasikan di Kumparan merupakan opini pribadi tim peneliti kami
Konten dari Pengguna
7 Juli 2023 16:35 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari melekapbn tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Apakah Sudah Menuju Ekonomi Hijau dan Pembangunan yang Berkelanjutan?

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ekonomi hijau merupakan kegiatan ekonomi rendah karbon yang menghemat sumber daya dan inklusif secara sosial. Sementara infrastruktur hijau dapat diartikan sebagai suatu konsep, usaha, dan pendekatan untuk mempertahankan keberlanjutan lingkungan melalui pengaturan ruang terbuka hijau dan menjaga kelangsungan proses alamiah yang terjadi di lingkungan tersebut. Dengan penerapan infrastruktur hijau maka aset alam dapat terlindungi, yaitu melalui upaya konservasi dan strategi pengembangan ekonomi yang terintegrasi sehingga dapat terjadinya keberlangsungan sumber daya lingkungan di masa yang akan datang. Penerapan infrastruktur hijau di negara-negara seperti Amerika, Inggris, dan Singapura telah mencapai tahap di mana prioritas utama dalam pembangunan adalah memastikan kebutuhan akan lingkungan yang nyaman, bersih, indah, sehat, dan berkelanjutan terpenuhi dengan baik. Namun bagaimana dengan Negara Indonesia?
ADVERTISEMENT
Indonesia perlu melakukan akselerasi infrastruktur hijau. Hal ini karena ada beberapa hal yang memang menjadi fokus utama kita, diantaranya adalah masalah iklim. Perubahan iklim adalah ancaman eksistensial bagi umat manusia. Menurut sebuah studi baru yang diterbitkan di Frontiers in Forests and Global Change, bahwa 97% tanah di bumi mengalami kehancuran dan hanya 3% daratan bumi yang masih asri. Hal ini tentunya karena aktivitas ekonomi yang terus membuang emisi kotor ke udara. Tercatat bahwa jumlah emisi karbon di atmosfer saat ini mencapai level tertinggi dalam jangka waktu yang sangat panjang, diperkirakan sekitar 4 juta tahun terakhir. Untuk pertama kalinya suhu permukaan global rata-rata tahunan akan menembus ambang kenaikan 1,5 derajat celcius. Hal tersebut menjadi ancaman serius bagi seluruh aspek kehidupan di bumi, termasuk keberlangsungan hidup umat manusia, ekosistem dan keanekaragaman hayati, bahkan kerugian ekonomi.
ADVERTISEMENT
Triple Planetary Crisis memberikan banyak dampak negatif, tercatat bahwa perubahan iklim menyebabkan terjadinya bencana hidrometeorologi (seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, serta puting beliung). Terbukti bahwa sebesar 98 - 99% dari 3.545 kasus kejadian bencana alam di indonesia merupakan bencana hidrometeorologi. Disamping itu, pada tahun 2022 Indonesia menempati peringkat ke-26 sebagai negara dengan polusi tertinggi di dunia serta DKI Jakarta yang dinobatkan sebagai kota penyumbang polusi udara tertinggi se-Asia Tenggara. Hal ini menyebabkan kerusakan lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati. Laju peningkatan utilitas bahan bakar fosil yang relatif tinggi masih mendominasi bauran ketenagalistrikan Indonesia, yaitu utilitas PLTU lebih besar daripada utilitas pembangkit listrik energi terbarukan. Bappenas RI memprediksi kerugian akibat dampak perubahan iklim mencapai Rp544 triliun di tahun 2020 - 2024 setara dengan 31% realisasi pendapatan negara tahun 2021. Maka perlu adanya intervensi untuk menghadapi masalah perubahan iklim guna meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta menopang penghidupan dan pertumbuhan ekonomi. Hal inilah yang menjadi urgensi mengapa perlu adanya ekonomi hijau dan akselerasi infrastruktur hijau guna mencapai keberhasilan dekarbonisasi.
ADVERTISEMENT
Didukung dengan penduduk dengan populasi terbanyak keempat dunia, ekonomi Indonesia mengalami ekspansi dalam 10 tahun terakhir, kecuali pada tahun 2020 yang mengalami kontraksi akibat pandemi Covid-19. Akan tetapi, ekonomi hijau memandang bahwa terdapat trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan lingkungan. Pertumbuhan ekonomi mengindikasikan angka konsumsi yang meningkat yang salah satunya dipicu oleh standar hidup masyarakat. Penggunaan sumber daya yang tidak berkelanjutan untuk mengikuti gaya hidup manusia kemudian akan berdampak pada lingkungan, seperti degradasi lingkungan dan berujung pada perubahan iklim.
Secara umum perkembangan infrastruktur di Indonesia masih berencana untuk memperluas pembangunan infrastruktur hijaunya. Hal ini karena adanya gap dan masalah, seperti halnya terbatasnya dana. Kemenkeu mengatakan bahwa kebutuhan ideal dana untuk pengendalian perubahan iklim adalah Rp343,6 triliun per tahunnya. Namun, rata-rata dana untuk perubahan iklim di APBN baru sekitar Rp102,56 triliun per tahun, hanya 29,9% dari kebutuhan ideal. Dalam realisasinya, terdapat beberapa infrastruktur publik hijau yang telah dilakukan pemerintah Indonesia.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Proyek tersebut diharapkan dapat membantu mengurangi risiko terhadap kekurangan pasokan energi dan meningkatkan ketahanan energi bagi infrastruktur publik, termasuk industri, perusahaan, dan fasilitas publik lainnya.
Pembangunan infrastruktur hijau di atas, tentunya tidak lepas dari peran pemerintah, seperti APBN. Peran pemerintah dalam memfasilitasi dan mendukung pembangunan infrastruktur hijau melibatkan alokasi dana, kebijakan, regulasi, dan koordinasi antar sektor terkait. Melalui penggunaan dana dari APBN, progres pembangunan infrastruktur yang ramah lingkungan dapat dipercepat. Seperti pembiayaan proyek MRT yang bersumber dari APBN dan APBD yaitu mencapai Rp16 Triliun. Kemudian kementerian ESDM memiliki anggaran untuk kegiatan infrastruktur yang telah disetujui di tahun 2023 sebesar Rp1,67 triliun, yaitu guna pembangunan 12 unit PLTS dan 3 unit PLTMH, pembangunan 31.075 unit Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya (PJU-TS), 7.500 Alat Penyalur Daya Listrik (APDAL), dan 680.000 Modern Clean Energy Cooking Services. Selanjutnya, PLN yang mendapatkan dana dari Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp10 triliun, diantaranya diperuntukkan untuk membangun infrastruktur pembangkitan dengan sumber daya setempat atau pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) yang mendukung desa, berupa PLTM, PLTA, PLTMG, dan PLTG. Pemerintah juga dapat memberikan insentif fiskal, seperti pembebasan pajak atau subsidi, untuk mendorong sektor swasta dalam mengembangkan infrastruktur hijau. Selain anggaran pemerintah, untuk mendukung pembangunan infrastruktur hijau pemerintah dapat mencari sumber dana tambahan, seperti pinjaman dari lembaga keuangan internasional atau investasi swasta. Contohnya saat ini kemenkeu sedang melakukan percepatan implementasi Energy Transition Mechanism (ETM) yang merupakan program peningkatan pembangunan infrastruktur energi dan percepatan transisi energi menuju emisi nol bersih, melalui blended finance (pembiayaan campuran). Meskipun prioritas APBN Indonesia masih belum sepenuhnya fokus pada pembangunan infrastruktur energi terbarukan, pemerintah Indonesia telah menetapkan ambisi untuk mencapai net zero emission pada tahun 2050.
ADVERTISEMENT
Indonesia telah melakukan upaya untuk mengembangkan infrastruktur publik yang ramah lingkungan dan berkontribusi pada ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan. Meskipun telah ada proyek infrastruktur seperti PLTA Hydropower Kalimantan Utara, MRT, LRT, dan kereta cepat yang dapat memberikan dampak positif pada infrastruktur publik yang ramah lingkungan, namun masih terdapat tantangan dan ruang untuk peningkatan lebih lanjut. Meskipun demikian, penting untuk lebih memperhatikan prioritas APBN Indonesia terhadap pembangunan infrastruktur energi terbarukan. Maka yang menjadi tantangan Indonesia dalam menghadapi ekonomi hijau dan perubahan iklim, yaitu melakukan dekarbonisasi ketenagalistrikan, elektrifikasi transportasi, dan melindungi dan memulihkan alam dengan mengembangkan nature-based solutions sebagai penyerap karbon. Kebijakan yang dapat dilakukan adalah dengan menjamin angin politik di Indonesia agar tidak labil, meratakan komitmen birokrasi, perlunya commit bagi semua pemerintah daerah, perlunya peran seluruh sektor swasta sebagai net zero company, dan mengoptimalkan perhatian publik. Dengan mengimplementasikan saran dari penulis diharapkan Indonesia mampu mempercepat pembangunan infrastruktur publik hijau yang berkelanjutan.
Penulis: Eka Oktavia (Mahasiswa FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta/Anggota Komunitas Melek APBN)