Konten dari Pengguna

Makanan Lokal dan Tren Global: Bertahan atau Menyatu?

Melinda Putri Muzazanah
Mahasiswa S1 Manajemen FEB UGM
15 Desember 2024 1:14 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Melinda Putri Muzazanah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pexels
ADVERTISEMENT
Pilihanmu, Identitasmu
Sadarkah kamu bahwa makanan dapat mencerminkan pribadi seseorang? Makanan sejatinya berkaitan erat dengan identitas budaya yang membantu kita membedakan satu dengan yang lain. Pernah dengar ungkapan “you are what you eat”? Di era globalisasi seperti sekarang, ungkapan ini semakin relevan. Hal ini karena makanan tak hanya soal rasa atau nutrisi di dalamnya. Namun, makanan juga mencerminkan siapa kita, budaya kita, bahkan bagaimana kita dapat beradaptasi dengan perubahan di dunia. Maka dari itu, makanan menjadi cerita tentang identitas dan globalisasi yang tersaji di meja makan. Banyak sekali cerita di balik makanan yang membentuk sebuah peradaban masyarakat sampai menjadi alat negosiasi. Keren bukan? Lalu, bagaimana cerita tentang makanan yang membentuk dirimu saat ini?
ADVERTISEMENT
Globalisasi di Meja Makan
Berbicara tentang makanan, tentu menimbulkan pertanyaan bagaimana makanan itu bisa menjadi sebuah ciri khas masyarakat bukan? Hal ini erat kaitannya dengan globalisasi yang telah mengubah peta kuliner dunia. Burger yang dulu menjadi khas Amerika kini hadir di warung-warung kecil Indonesia. Padahal, kita sadar bahwa rendang dan nasi goreng saat ini dinobatkan sebagai makanan terenak di dunia. Di satu sisi, hal ini menunjukkan peran globalisasi yang dapat memperkaya variasi makanan di sebuah negara. Tentu saja saat ini kamu pasti pernah rela mengantri panjang di hari Senin hanya untuk menikmati Sushi kan? Saat ini kita dapat dengan mudah mencicipi makanan dari segala penjuru yang hadir di Indonesia mulai dari Tacos sampai Croissant tanpa harus meninggalkan kota tempat tinggal. Namun, di sisi lain, muncul sebuah kekhawatiran. Apakah globalisasi ini dapat menghapus keunikan makanan lokal yang menjadi identitas bangsa Indonesia?
Sumber : Freepik
Terdapat sebuah konsep yang menawarkan perspektif menarik. Pernah dengar terkait Glokalisasi? Ini merupakan konsep brilian yang menggabungkan elemen global diadaptasi sesuai dengan cita rasa lokal. Saat ini, beberapa brand global sudah mengadaptasi pendekatan glokalisasi untuk menjangkau pasar yang lebih besar. Contohnya adalah menu McDonald’s di Indonesia yang menyajikan nasi uduk atau ayam gulai bahkan burger rendang, sementara di India terdapat McAloo Tikki burger yang menyajikan menu vegetarian. Konsep glokalisasi ini membuktikan bahwa budaya lokal masih bisa bertahan dan bahkan berkembang di tengah arus global.
ADVERTISEMENT
Makanan dan Identitas Budaya
Makanan menjadi bahasa universal yang mencerminkan budaya dan jati diri kita. Di Indonesia, nasi goreng bahkan berhasil menjadi ikon nasional meskipun menu ini sejarahnya diadaptasi dari budaya Tionghoa. Begitu pula dengan bakpia yang berhasil melekat dan identik dengan Yogyakarta, sedangkan kita tahu bahwa makanan ini datang dari Tiongkok. Adanya adaptasi ini menunjukkan bahwa makanan dapat menjadi cermin atas perpaduan budaya.
Namun, benarkah globalisasi selalu membawa cerita manis? Tentu setiap hal pastinya memiliki sisi positif dan negatifnya. Di beberapa tempat, makanan lokal mulai terpinggirkan karena gempuran dari makanan cepat saji yang menjamur. Apakah anak kecil saat ini lebih suka makan gethuk dibandingkan cupcake? Hal ini menjadi sisi negatif dari penyebaran makanan melalui globalisasi. Membuat budaya dan jati diri kita membias dibanjiri segala budaya termasuk makanan yang tidak kita atasi dengan pemahaman dan rasa bangga atas budaya lokal.
ADVERTISEMENT
Makanan sebagai Alat Strategi
Pengaruh globalisasi pada makanan sebenarnya bukanlah hal baru. Pada masa kolonial, Belanda banyak mengenalkan teknik memasak baru pada masyarakat Indonesia. Pernahkah kamu makan di rumah makan Padang lalu disajikan beragam menu di satu meja? Tradisi ini datang bernama rijsttafel dan dibawa oleh Belanda, yaitu hidangan nasi yang disajikan bersama lauk pauk di atas meja. Hal serupa juga terjadi di Belize, di mana makanan kolonial seperti roti creole menjadi bagian dari identitas mereka. Di era modern, proses ini terus berkembang memunculkan hal-hal baru. Seperti bakpia dan nasi goreng, adaptasi makanan lain yang melekat dengan masyarakat Indonesia adalah mie ayam yang diambil dari masakan Tiongkok.
Selain membahas kolonialsime di piring kita, makanan juga dapat menjadi alat diplomasi budaya. Makanan berperan efektif dalam adanya diskusi maupun negosiasi antar dua pihak. Indonesia memanfaatkan rendang, sate, dan nasi goreng sebagai “duta” budaya di panggung internasional. Salah satunya pernah dilakukan dalam pertemuan KTT G20 yang menyajikan makanan khas Indonesia untuk menjamu para delegasi negara yang datang. Makanan tersebut sukses mengambil peran untuk menciptakan suasana nikmat dan nyaman sehingga diskusi dapat berjalan lebih baik.
ADVERTISEMENT
Namun, dibalik seluruh perjalanan ini, ada PR besar yang menghantui kita. Sebagai masyarakat yang tidak mau tergerus identitasnya oleh globalisasi, kita perlu mendukung produsen lokal dan memastikan keberlanjutan dari bahan-bahan lokal. Globalisasi sering kali menciptakan ketimpangan. Produsen kecil saat ini dengan mudah terpinggirkan oleh dominasi agribisnis yang lebih besar.
Bagaimana dengan Ceritamu?
Jika “you are what you eat”, maka makanan yang kita makan menunjukkan siapa kita sebagai individu dan bagian dari masyarakat global. Apakah kita memilih makanan yang mahal untuk menunjukkan kemampuan dan status sosial kita? Apakah kita memilih burger sebagai simbol dari modernitas atau rendang sebagai pengingat budaya kita? Pilihan itu tak hanya tentang rasa, tapi juga menjadi pesan yang kita kirimkan kepada dunia. Sebagai konsumen, kita punya kekuatan untuk mendobrak pola ini. Mendukung produk lokal, mengurangi ketergantungan pada makanan luar negeri, dan memilih makanan yang lebih sehat dan menggunakan bahan lokal menjadi langkah kecil yang dapat membuat perubahan besar.
ADVERTISEMENT
Globalisasi bagai pisau bermata dua. Di satu sisi, hal ini dapat membuka pintu untuk inovasi dan pertukaran budaya. Di sisi lain, ini tantangan bagi kita untuk menjaga identitas serta keunikan di tengah gelombang homogensisasi. Pastikan kalau makanan yang kamu pilih mencerminkan siapa dirimu dan apa yang kamu perjuangkan. Kalau makanan adalah identitas, maka siapa kamu di meja makan?