Konten dari Pengguna

Kajian Feminisme pada Novel Berjudul “Nadira" Karya Leila S. Chudori

Melisa Dwi Utami
Penulis, Pekerja dan Mahasiswi Universitas Pamulang Jurusan Sastra Indonesia
26 Mei 2022 15:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Melisa Dwi Utami tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Novel "Nadira" Karya Leila S. Chudori Mengangkat Tema Feminisme di Indonesia

Sumber : Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Nadira merupakan sebuah novel karya Leila S. Chudori. Novel Nadira ini mengangkat tema feminisme di Indonesia. Novel ini menceritakan tentang sosok perempuan bernama Nadira Suwandi. Ia menemukan ibunya tewas bunuh diri. Kematian sang ibu, Kemala Yunus, merupakan seorang perempuan yang dikenal sangat ekspresif, berpikiran bebas, dan selalu bertarung mencari diri itu, sungguh mengejutkan. Tewasnya Kemala kemudian mempengaruhi kehidupan Nadira.
ADVERTISEMENT
Tema dari novel Nadira ini adalah perjuangan kuat yang ditempuh seorang perempuan dalam menghadapi konflik batin akibat berbagai persoalan yang dialaminya untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia. Alur cerita dalam novel ini adalah alur maju dan mundur. Penulis seakan membawa kita untuk masuk ke dalam ceritanya. Tokoh-tokoh dalam novel Nadira dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh utama dalam novel ini adalah Nadira. Sedangkan tokoh bawahannya terdiri dari Kemala Yunus, Bramantyo, Nina Suwandi, Arya Suwandi, Utara Bayu, Gilang Sukma, dan Niko Yuliar. Latar tempat dari novel ini adalah di Jakarta dan Amsterdam.
Cerita dalam novel ini bermula ketika seorang perempuan bernama Kemala Yunus menempuh pendidikan di Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda. Ia merupakan mahasiswa tahun pertama di Vrije Universiteit. Pada saat Kemala berkuliah di Amsterdam, ia bertemu dengan seorang lelaki yang juga merupakan orang Indonesia. Lelaki itu bernama Bramantyo. Ibunya adalah orang Jawa sedangkan ayahnya adalah orang Cirebon. Bramantyo yang akrab disapa Bram ini berkuliah di Gemeentelijke Universiteit, atau yang sekarang dikenal dengan nama Universiteit van Amsterdam.
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Di awal pertemuan pertama mereka, Kemala sudah tertarik dengan Bram yang bekerja di bar tersebut. Ia menyukai paras dan juga karakteristik Bramantyo. Mereka saling berbagi cerita sampai akhirnya merekapun memutuskan untuk melangsungkan pernikahan. Awalnya pernikahan mereka ditentang oleh pihak keluarga Bram. Ayah Bram mempunyai peraturan yang sangat ketat, semua anaknya hanya boleh menikah jika mereka sudah mencapai gelar sarjana. Ayahnya khawatir apabila kuliah Bram nantinya akan tertunda.
ADVERTISEMENT
“Aku akan salat kalau aku ingin, kalau saya... siap,” ucapan tersebut keluar dari mulut Kemala.
Keluarga Bram yang lebih menganut kepada Islam NU (Nahdlatul Ulama) tidak menyetujui apabila Bram menikah dengan Kemala yang merupakan orang Sumatra dan menganut Islam Masyumi. Namun, seiring berjalannya waktu akhirnya keluarga Bram menyetujui pernikahan Bram dengan Kemala. Mereka menikah di Amsterdam. Kemala menggunakan adat Indonesia dengan kebaya berwarna putih dan konde dengan hiasan bunga seruni putih di atasnya. Kemala sangat menyukai bunga seruni putih yang sangat langka di Indonesia ini.
“Jakarta tidak memiliki bunga seruni. Tetapi aku akan mencarinya sampai ke ujung dunia, agar Ibu bisa mengatupkan matanya dengan tenang.”
Kutipan tersebut berasal dari Nadira. Ia sangat tahu betul bahwa ibunya sangat menyukai bunga seruni putih. Entah apa alasannya, Nadira juga tidak mengerti. Sampai akhirnya pada saat pemakaman sang ibu, Nadira berusaha mati-matian untuk mencari bunga seruni putih tersebut. Ia mencari di berbagai tempat di Jakarta, namun hasilnya nihil. Tiba-tiba sebuah keajaiban datang. Utara datang membantu Nadira dalam mencari bunga seruni putih itu. Ada sebuah tempat bernama Daisy Nursery di Cileumber, Jawa Barat. Mereka langsung bergegas menghampiri tempat itu sebelum waktu pemakaman ibunya tiba.
ADVERTISEMENT
Nadira berharap-harap cemas. Ia hanya bisa pasrah dan berdoa semoga mereka sampai tepat waktu. Dan benar saja, tak lama akhirnya mereka sampai. Nadira terharu karena di tempat itu banyak sekali bunga seruni putih. Seketika air matanya turun, ia menangis tersedu-sedu.
Setelah prosesi pemakaman ibunya, seluruh hidup Nadira berubah. Nadira hanya tinggal berdua dengan ayahnya di rumah. Kedua kakaknya, Nina dan Arya memilih untuk pergi meninggalkan rumah. Nina pergi ke New York dan Arya pergi bertapa ke hutan.
“Kematian ibunya yang mendadak telah membuat Nadira begitu tua. Sejak penguburan ibunya setahun silam, lingkaran hitam di bawah kedua matanya tak pernah hilang. Dan sejak kematian itu pula, Nadira memandang segala sesuatu di mukanya tanpa warna. Semuanya tampak kusam dan kelabu. Dia tidur, bangun, dan merenung di kolong meja kerjanya. Setiap hari. Dia hanya pulang sesekali menjenguk ayahnya, tidur semalam dua malam di rumah, untuk kembali lagi merangsek kolong meja itu.”
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang perempuan, ia harus menanggung trauma yang amat dalam. Ia harus merawat ayahnya sendirian. Apalagi ditambah dengan permasalahan ayahnya yang mendadak harus menjadi Kepala Divisi Iklan, padahal ayahnya adalah seorang wartawan. Nadira semakin sedih ketika mengetahui ayahnya menjadi tidak mau makan. Ia hanya bisa menghukum dirinya sendiri.
“Nadira berlari ke kamar mandi. Dicelupkannya kepalanya ke dalam bak mandi. Lantas diangkatnya. Kali ini dia baru menyadari, ini kebiasaan yang terjadi ketika dia terbiasa dihukum kakaknya dengan mencelupkan kepalanya ke jamban berisi kencing.”
Saat usianya menginjak 33 tahun, ia menikah dengan Niko Yuliar yang berusi 39 tahun. Hidupnya berubah drastis setelah mengenal Niko. Lelaki itu mampu membuat Nadira tersenyum dan bahagia kembali. Namun, pernikahan Nadira dan Niko ditentang oleh sang kakak, Arya.
ADVERTISEMENT
“Sosok Niko ini baru kau kenal selama enam bulan, tiba-tiba kamu sudah dilamar. Ada baiknya kalian saling mengenal dulu lebih jauh. Pernikahan kan kalau bisa sekali. Kamu sudah lihat bagaimana rumah tangga Yu Nina dan Mas Gilang?”
Tapi tak berselang lama, pernikahan mereka bubar. Nadira kembali lagi menjadi pemurung. Hingga akhirnya membawa Nadira kepada sebuah penjelajahan ke dunia baru, dunia seksualitas yang tak pernah disentuhnya.
“Mungkin bukan hanya di hadapan lelaki yang dikasihinya saja. Pada dasarnya (banyak) perempuan cenderung lebih banyak menahan diri, mengerem lidah, dan mengikat sehimpun nafas di hadapan siapapun karena itulah yang ditekankan masyarakat. Perempuan harus diam, sekeras apapun yang dialami dan disangganya.”
Kelemahan dari novel ini adalah ceritanya terlalu bertele-tele. Gaya bahasa yang digunakan juga cukup sulit karena merupakan perpaduan dari bahasa Indonesia dan juga bahasa Belanda.
ADVERTISEMENT
Kelebihan dari novel ini, yaitu banyak pesan moral yang bisa dipetik dari novel ini. Kisah perjuangan Nadira dalam melawan traumanya dapat menjadi pelajaran penting khususnya bagi kaum perempuan. Novel ini juga memiliki pesan yang penting bahwa kita harus selalu menjaga dan menyayangi orang tua kita.