Melek Politik Itu Keren Kok!

melitaw
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Konten dari Pengguna
25 Desember 2020 18:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari melitaw tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seberapa terbukakah pemikiran kita akan politik di tanah air? Negara kita adalah negara demokrasi yang tidak jauh-jauh dari kata politik di dalamnya. Tapi, apakah sebenarnya demokrasi kita sudah benar-benar demokratis? Sudahkah politik yang terus bergulir ini mewujudkan demokrasi? Atau 'demokrasi' ini hanya sebagai tunggangan politik? Demokrasi Wahana Politik (DWP).
ADVERTISEMENT
Mendengar kata DWP mungkin lebih akrab dengan Djakarta Warehouse Project di telinga anak muda. Namun bagaimana jika DWP yang dimaksud disini berkaitan dengan demokrasi dan politik? Mungkin hanya segelintir dari gen z yang akan tertarik dengan pembahasan DWP yang ini.
Sebagai pematik, mari kita mengenal lebih dekat mengenai demokrasi di negara +62 saat ini. Belum lama ini telah diselenggarakan pilkada serentak. Meski masih dalam masa pandemi covid-19 tapi pemerintah tetap melaksanakan pilkada. Penerapan protokol kesehatan yang sedemikian rupa bukan berarti masyarakat manut begitu saja untuk berpartisipasi dalam pilkada, masih banyak masyarakat yang menentang dilangsungkannya pilkada ditengah pandemi ini. Bahkan muncul meme yang menyatakan bahwa corona ada di masjid, gereja, dan tempat ibadah lainnya tapi tidak ada di TPS. Meme seperti itu merupakan sindiran halus kepada pemerintah mengenai kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan sebelum-sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Tentu ada banyak dari masyarakat yang menyampaikan agar pilkada ditunda terlebih dulu, atau bahkan dilaksanakan secara virtual saja. Namun, pertimbangan pemerintah untuk tetap melaksanakan pilkada lebih besar. Entah memang karena kepentingan untuk masyarakat yang besar atau terdesak kepentingan politik semata. Masyarakat awam mungkin tidak paham mengenai isu-isu politik dibelakang diselenggarakannya pilkada, mereka hanya mengikuti apa yang diperintahkan oleh pemerintah saja.
Penundaan pilkada dirasa akan menghambat proses pemerintahan karena tidak adanya pemimpin setelah selesai masa jabatan nantinya. Pelaksanaan secara virtual atau daring dianggap akan terlalu banyak kendala dan juga persiapan yang masih kurang. Padahal jika bisa dilaksanakan secara online akan mendapatkan perhitungan hasil suara yang lebih cepat dan akurat. Meminimalisir adanya suara tidak sah juga. Djakarta Warehouse Project saja berhasil dilaksanakan secara virtual hanya dengan persiapan satu setengah bulan. Masa pemerintah tidak bisa menyiapkan pilkada online dalam beberapa bulan? Jika membandingkan dengan DWPV yang menjadi concern terbesar adalah penanganan traffic yang padat agar tidak down. Untuk sekelas pemerintahan apakah menangani hal tersebut adalah sesuatu yang sulit? Kalau iya, sebaiknya lihat lagi sumber daya manusia yang digunakan apakah sudah layak atau belum. Toh ada banyak orang yang memiliki potensi sebagai ahli IT tapi belum mendapat atensi diluaran sana.
ADVERTISEMENT
Kembali pada demokrasi, pilkada sendiri merupakan salah satu upaya perwujudan demokrasi. Tapi, apakah demokrasi itu benar-benar terwujud? Belum tentu, ada baiknya kita lihat dulu seperti apa pelaksanaan pilkada dan pemilu-pemilu lainnya. Bukan rahasia umum jika pemilu masih jauh dari kata demokratis. Apa buktinya? Masih banyak money politik. Jelas bukan wujud demokrasi yang kita harapkan.
Mewujudkan demokrasi yang demokratis tidaklah mudah. Butuh dukungan dan partisipasi dari semua pihak, entah dari pemerintah, politikus, dan juga masyarakat itu sendiri. Apalagi di negara ber-flower seperti negara kita ini, tantangan yang paling sulit adalah menghapuskan money politik. Belum lagi pengetahuan akan politik bagi masyarakat awam belum mumpuni. Ingin menjaring millenialis untuk melek politik juga bukan hal yang mudah.
ADVERTISEMENT
Perpolitikan tanah air dipenghujung tahun 2020 ini memang cukup memperlihatkan kejutan-kejutan besar. Mulai dari anak dan menantu presiden yang turut mencalonkan diri dalam pilkada, kemudian reshuffle kabinet. Oh, jangan lupakan juga menteri-menteri maupun pejabat lainnya yang terjaring KPK.
Jika melihat dari komposisi partai politik yang ada dibelakang calon-calon kepala daerah, bukannya sudah bisa ditebak siapa yang akan memenangkan suara? Mungkin ini yang menjadi alasan sedikitnya pejuang calon independen dalam pilkada. Padahal seharusnya jika masyarakat lebih melek politik, calon independen justru lebih berpotensi dapat mendengarkan suara rakyat yang sesungguhnya karena tidak terjerat oleh partai politik. Demokrasi yang kita alami saat ini hanyalah wahana politik yang penuh intrik.
So, sebagai generasi penerus bangsa sudah selayaknya dan sepantasnya kita lebih peduli dengan hal-hal politik. Demi mewujudkan demokrasi politik yang balance dan harmonis. Bukan hanya DWP (Djakarta Warehouse Project) saja yang kita minati, melek demokrasi dan politik juga keren kok!
ADVERTISEMENT