Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bagaimana Kemungkinan Vaksin Corona Menyebabkan Penggumpalan Darah? Belum Jelas
19 April 2021 21:30 WIB
Tulisan dari Mely Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
I
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 yang telah berlangsung selama setahun sekarang memasuki babak baru; vaksinasi. Beberapa jenis vaksin dari perusahaan farmasi raksasa telah digunakan dan diinjeksikan pada berbagai karakteristik demografi manusia. Vaksin Pfizer-BioNTech, Moderna, dan Johnson & Johnson (Janssen) telah banyak dioperasikan di Amerika.
Beberapa negara Eropa telah menggunakan AstraZeneca, vaksin yang dikembangkan AstraZeneca Cambridge bersama Oxford. Di Indonesia sendiri, walaupun pemerintah mengatakan ada tujuh, baru tiga vaksin meliputi Sinovac, AstraZeneca, dan Bio Farma yang stoknya sudah tersedia dan digunakan.
Walau idealnya sebuah vaksin dikembangkan melalui proses yang memakan waktu bertahun-tahun , para ilmuwan telah mencoba menyederhanakannya. Dengan berbagai macam penelitian terdahulu dan juga kecanggihan teknologi saat ini, banyak kandidat vaksin yang muncul di pertengahan pandemi.
ADVERTISEMENT
Beberapa, seperti vaksin dari Moderna, lulus berbagai uji klinis dan bisa diadministrasikan. Sementara beberapa kandidat vaksin lain harus rela bersabar memenuhi berbagai macam kriteria kelayakan yang ditentukan dalam uji klinis.
Uji klinis sendiri merupakan tahapan dari pembuatan obat atau vaksin untuk melihat, yang utama, unsur safety dan efikasi. Hal ini tentu saja digunakan untuk menimbang manfaat dan risiko yang kemungkinan diterima pasien. Jika ditemukan efek samping yang berbahaya dari sebuah obat atau vaksin, tanpa adanya efikasi, tentu penggunaan vaksin seperti ini harus segera dihentikan.
Namun, jika ternyata sebuah vaksin memiliki efek samping minor yang tidak membahayakan sedang manfaatnya dirasa sangat penting, kemungkinan akan dipertimbangkan. Karena bisa jadi manfaatnya lebih besar ketimbang risikonya.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, seberapa paham kita, masyarakat umum, dapat memastikan sebuah vaksin aman digunakan? Karena, baru-baru ini saja, vaksin AstraZeneca dan vaksin Johnson & Johnson (J&J) harus dievaluasi ulang. Pada Selasa lalu (13/04/2021) dua lembaga Amerika yaitu Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan Food and Drug Administration (FDA) mengumumkan bahwa distribusi dan penggunaan vaksin Johnson & Johnson harus dihentikan sementara.
Hal ini terkait dengan munculnya kasus pembekuan atau penggumpalan darah yang langka dan jarang terjadi. Kedua lembaga tersebut saat ini sedang menyelidiki data enam kasus pembekuan darah setelah menerima vaksin J&J. Keenam kasus ini terjadi pada wanita berusia antara 18 hingga 48 tahun dengan gejala yang muncul dari 6 sampai 13 hari setelah vaksinasi. Dari enam kasus, terdapat seorang yang meninggal dan satu harus mendapatkan perawatan serius di rumah sakit.
ADVERTISEMENT
Keputusan CDC dan FDA tersebut keluar setelah sebelumnya European Medicines Agency (EMA) mengumumkan kemungkinan adanya hubungan antara pembekuan darah dan vaksin Oxford-AstraZeneca pada 7 April. Sama seperti pembekuan darah pada vaksin J&J, kasus pada AstraZeneca ini dianggap sangat jarang terjadi. “Ini adalah efek samping yang sangat jarang terjadi,” ungkap Emer Cooke, Eksekutif European Medicines Agency dalam press conference yang digelar bulan lalu. “Risiko kematian akibat COVID jauh lebih besar dibandingkan risiko kematian akibat efek samping ini.”
Cobaan bagi dua vaksin COVID ini tentu memiliki dampak global. Walaupun para regulator mengatakan bahwa kasus pembekuan ini sangat jarang dan manfaat vaksin lebih besar dibandingkan efek sampingnya, beberapa negara telah membatasi penggunaan vaksin AstraZeneca untuk kelompok usia tertentu.
ADVERTISEMENT
Denmark, sebagai contoh, merupakan negara yang memilih untuk menghentikan penggunaan AstraZeneca sama sekali. Menjadikannya negara Eropa pertama yang menerapkan kebijakan ini.
II
Pada kasus vaksin J&J, para ilmuwan dituntut melakukan investigasi terhadap data yang sangat-sangat kecil untuk memahami fenomena pembekuan darah ini. Enam kasus dari sekitar tujuh juta dosis vaksin J&J yang diberikan tidaklah cukup untuk membuat sebuah kesimpulan.
Data ini sangat kecil sehingga ilmuwan kesulitan untuk memastikan faktor risiko apa yang mungkin membuat seseorang mengalami pembekuan darah setelah diberi vaksin. “Jumlahnya sangat kecil yang bisa jadi tidak menjelaskan apa pun (tentang kejadian ini),” Maggie Koerth, Science Reporter di Five Thirty Eight, menjelaskan dalam PODCAST-19 . “Kita bisa saja menemukan sebuah pola yang mana pola tersebut memiliki maksud lain.”
ADVERTISEMENT
Para ahli belum bisa menentukan secara pasti apakah vaksin J&J berhubungan atau bahkan menjadi penyebab langsung penggumpalan aneh ini, atau seberapa sering fenomena ini terjadi pada penerima vaksin.
Untuk mengevaluasi unsur keamanan dan efikasi, para ahli sangat bergantung pada data penerima vaksin yang melaporkan kondisi mereka ke otoritas kesehatan. Sekitar tujuh juta dosis J&J telah diberikan pada penerima vaksin di Amerika Serikat; yang meliputi pemberian kepada sekitar sejuta wanita di bawah usia 50 tahun. Kecilnya data tidak bisa serta merta dapat digunakan untuk membuat generalisasi.
Namun demikian, bukan berarti para ilmuwan tidak mengantongi satu atau dua petunjuk. Penggumpalan yang terjadi setelah suntikan vaksin AstraZeneca dan J&J ini memiliki karakteristik tertentu: penggumpalan tersebut terjadi di bagian tubuh yang tidak biasa, seperti otak atau perut.
ADVERTISEMENT
Keenam kasus vaksin J&J dilaporkan mengalami penggumpalan darah yang disebut sebagai cerebral venous sinus thrombosis . Saya ulangi sekali lagi; cerebral venous sinus thrombosis atau yang disingkat sebagai CVST. Istilah tersebut merujuk pada keadaan atau kondisi yang menghalangi darah mengalir keluar dari otak.
Akibatnya, sel darah bisa pecah dan mengeluarkan darah ke jaringan otak, mengakibatkan pendarahan. Pada populasi umum, kondisi ini terjadi pada sekitar lima dari satu juta orang. Gejala CVST termasuk sakit kepala, penglihatan kabur, kejang, dan kehilangan kendali tubuh.
Bagaimanapun, ada beberapa faktor yang membuat regulator Amerika memperhatikan kasus terkait vaksinasi dengan J&J ini. Peter Marks, kepala Center for Biologics Evaluation and Research FDA, menjelaskan bahwa pasien dengan kasus penggumpalan ini juga mengalami thrombocytopenia.
ADVERTISEMENT
Istilah terakhir merujuk pada sebuah kondisi di mana trombosit dalam darah turun ke tingkat yang sangat rendah, menyebabkan pendarahan dan memar. Kombinasi antara pembekuan darah dan rendahnya trombosit ini menjadikan pasien tidak dapat diberikan pengobatan konvensional untuk pembekuan darah seperti pengencer darah heparin.
Lebih lanjut para ilmuwan juga menemukan sebuah ciri khas yaitu kondisi yang disebut heparin-induced thrombocytopaenia (HIT) pada kasus AstraZeneca. HIT merupakan sebuah keadaan efek samping langka pada orang yang menggunakan obat pengencer darah (antikoagulan) heparin–walau penerima vaksin yang mengalami kasus tak diinginkan ini sebenarnya tidak menggunakan heparin.
HIT diperkirakan dipicu ketika heparin berikatan dengan protein yang disebut faktor trombosit 4. Hal ini memicu respons imun – termasuk produksi antibodi terhadap faktor trombosit 4 – yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan trombosit dan pelepasan bahan pemicu gumpalan.
ADVERTISEMENT
Jika kebingungan memahami jargon ilmiah di paragraf sebelumnya, ambil saja pertanyaan ini; apa yang menjadi pemicu HIT, efek samping penggunaan heparin, jika tidak ada penggunaan pengencer darah heparin? Ini merupakan misteri yang harus dipecahkan.
Baik AstraZeneca-Oxford atau Johnson & Johnson merupakan vaksin yang didasarkan pada vektor adenoviral yang dimodifikasi. Adenovirus merupakan virus lain yang direkayasa untuk mengirimkan instruksi DNA ke sel agar membuat spike protein SARS-CoV-2 sehingga tubuh dapat mengembangkan respons imun melawan virus aslinya.
Para peneliti saat ini belum mengetahui komponen vaksin yang dapat memicu efek samping ini. Meski demikian, Robert Brodsky, direktur divisi hematology di Johns Hopkins University, telah menjelaskan tentang fenomena ini bulan lalu.
Dikutip dari Vox , Brodsky menyatakan bahwa spike proteins yang dibuat menggunakan instruksi dari vaksin ini dapat, dalam kasus yang jarang terjadi, memicu respons sistem imun yang mengganggu pengaturan pembekuan darah. Respons kekebalan itu menurutnya juga dapat merusak trombosit. Dibutuhkan bukti-bukti penyelidikan lebih lanjut untuk dapat memahami hal ini seutuhnya.
ADVERTISEMENT
Namun, jika spike proteins dapat memicu reaksi ini, kemungkinan virus SARS-CoV-2 utuh juga dapat memicu CVST pada orang yang rentan. Bukan begitu?
III
Saat ini, laporan pembekuan darah CVST setidaknya baru ditemukan di vaksin AstraZeneca dan Johnson & Johnson yang mana keduanya merupakan vaksin berbasis adenovirus. Di lain sisi, vaksin mRNA seperti Pfizer-BioNTech tidak (atau saat ini belum terdapat kasus) memunculkan respons pembekuan darah.
Hal tersebut dapat memunculkan kekhawatiran bahwa masalah pembekuan darah secara umum bisa terjadi pada vaksin yang berbasis pada adenovirus. Vaksin lain yang juga berbasis adenovirus adalah Sputnik V, vaksin yang dikembangkan Gamaleya National Center of Epidemiology and Microbiology di Moscow.
Meski sama-sama berbasis adenovirus, pihak Gamaleya menyatakan bahwa Sputnik V tidak menunjukkan terdapatnya kasus CVST dalam uji klinis. “Semua vaksin berbasis platform vektor adenoviral berbeda dan tidak dapat dibandingkan secara langsung,” jelas mereka dalam sebuah press release .
ADVERTISEMENT
Mereka juga menekankan bahwa terdapat perbedaan antara vaksin Sputnik V dengan AstraZeneca dan J&J dari segi virus yang digunakan, sel tempat diproduksi, urutan spike DNA yang dibawa, dan dosis pemberiannya. “Oleh karena itu, tidak ada alasan dan justifikasi untuk menyimpulkan data keamanan satu vaksin dengan data keamanan vaksin lainnya.”
Investigasi lebih lanjut sangat dibutuhkan untuk keperluan keamanan bagi orang yang menerima vaksin di masa mendatang. Jika memang vaksin berbasis adenovirus ditemukan sebagai penyebab pembekuan darah CVST atau sindrom seperti HIT, harus diketahui siapa yang rentan mengalaminya; kondisi komorbid, kelompok tertentu, dan apakah penggunaan lebih lanjut masih disarankan.
Saat ini, tentu para ahli akan kesulitan untuk mengurai data dan menentukan siapa yang berisiko lebih besar terkena sindrom pembekuan. Mengutip Nature, Sheila Bird, mantan pemimpin program unit biostatistic di Medical Research Council, menyatakan bahwa penyingkapan data publik di Eropa dan Inggris Raya kekurangan informasi penting yang dibutuhkan peneliti dari luar regulator untuk menilai risiko tersebut. “Tidak mengungkapkan informasi pada dasarnya menghalangi inferensi (simpulan) dari orang-orang yang tahu cara menarik kesimpulan.”
ADVERTISEMENT
Selain karena sedikitnya jumlah kasus pembekuan darah pada orang yang telah menerima vaksin, distribusi vaksin yang tidak merata juga menambah kesulitan untuk menemukan sebuah pola. Temuan awal pada kasus AstraZeneca menunjukkan bahwa kasus pembekuan ini terjadi pada wanita di bawah usia 50 tahun setelah mendapatkan vaksin.
Namun demikian, European Medicines Agency melaporkan bahwa mereka tidak bisa mengidentifikasi kelompok yang berisiko tinggi dari data vaksin AstraZeneca.
Saat melihat data lebih dekat, simpulan terhadap perempuan ini mungkin juga tidak berarti apa pun atau malah hanya sebuah bias. “Dan ya, mereka memberikan AstraZeneca terutama pada orang-orang yang berusia di bawah 50 tahun,” terang Maggie Koerth dalam PODCAST-19. “Dan itu (AstraZeneca) juga merupakan salah satu vaksin pertama yang diberikan kepada petugas kesehatan, yang sebagian besar adalah perempuan.”
ADVERTISEMENT
Pada sisi lainnya, pemberhentian sementara untuk vaksin J&J dan penyelidikan ulang untuk AstraZeneca, menunjukkan bahwa sistem pemantauan keamanan (safety monitoring) ini bekerja. Fakta bahwa kasus pembekuan darah ini bukanlah hal yang biasanya atau sering terjadi pada populasi normal dan hadir bersamaan dengan dua vaksin adenovirus, bukan vaksin berbasis mRNA, menjadi sebuah tanda yang harus diperhatikan.
Penyelidikan ulang dari European Medicines Agency, CDC dan FDA merupakan langkah yang tepat karena pada dasarnya, unsur safety harus diperhatikan sampai kapanpun sebuah obat beredar. Dan jika pemangku kebijakan atau regulator tidak bereaksi dengan adanya kejadian tak diinginkan seperti ini, hanya malah menurunkan kepercayaan masyarakat akan vaksin atau obat karena kurangnya pemantauan.
Bagaiman risiko ini dikomunikasikan juga penting diperhatikan untuk menjaga kepercayaan publik terhadap vaksin. Diskusi dan publikasi kasus pembekuan darah ini, meski rasio kasusnya sangat-sangat kecil, telah membuat masyarakat bertanya-tanya dan menimbulkan kebingungan. Jika ada yang memanfaatkan momentum ini untuk membuat berita menggelisahkan, keraguan masyarakat akan vaksin bisa jadi meningkat.
ADVERTISEMENT
Saat kepercayaan masyarakat terhadap vaksin ini luntur, akan sulit untuk memulihkannya. “Informasi negatif bertahan lebih lama dan lebih keras, dan terdengar lebih keras,” ujar Noni Macdonald, spesialis penyakit menular pediatrik di Dalhousie University di Halifax, Canada, dalam laman Nature. “Jika kamu sudah cemas, ini akan membuatmu lebih cemas.”
Kejadian efek samping ini tentu saja memperlambat jalur distribusi vaksin. Namun, hal ini patut dilakukan karena, walaupun kasusnya masih sangat sedikit dan para ahli belum pasti apakah gejala efek samping ini berhubungan langsung dengan vaksin, pemantauan harus selalu dilakukan. Ini juga berarti bahwa, sampai saat ini, sains masih mengawal setiap episode dari serial pandemi ini.