Mengapa Waktu yang Dibutuhkan untuk Membuat Vaksin COVID-19 Sangat Lama?

Mely Santoso
Savvy science reader.
Konten dari Pengguna
26 Mei 2020 8:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mely Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi vaksin. Poto dari CDC di Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi vaksin. Poto dari CDC di Unsplash

Preambul

ADVERTISEMENT
Perlombaan membuat vaksin untuk COVID-19 terus berlanjut dan kabarnya, beberapa perusahaan farmasi ternama memastikan telah memiliki progres lebih cepat dari fase pembuatan vaksin pada umumnya. Beberapa negara besar – sekaligus dengan kasus positif COVID-19 terbanyak di dunia, seperti Amerika Serikat, Cina, Prancis, dan juga Jerman telah mengawali perlombaan pembuatan vaksin.
ADVERTISEMENT
Media massa pada Selasa (19/5/2020) bahkan telah banyak yang memberitakan bahwa Moderna INC, sebuah perusahaan bioteknologi di Amerika Serikat, telah menemukan vaksin yang dapat menetralkan SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan COVID-19. Kandidat vaksin Moderna yang disebut mRNA-1273 dikabarkan akan siap pada Januari 2021. Sehari sebelum media massa ramai memberitakan vaksin dari Moderna (18/5/2020), pihak perusahaan tersebut mengungkapkan bahwa kandidat vaksin mereka yang masuk pengujian tahap pertama telah terbukti menghasilkan antibodi pelindung pada sekelompok sukarelawan sehat.
Walau vaksinasi menggunakan mRNA-1273 dalam pengujian tahap pertamanya memunculkan respons imun, tidak ada yang dapat memastikan kemanjuran vaksin tersebut ke depannya. “Ini adalah temuan signifikan tetapi ini adalah uji klinis fase 1 yang hanya melibatkan delapan orang. Itu dirancang untuk keselamatan, bukan untuk kemanjuran” ujar Dr. Amesh Adalja, ahli penyakit menular di John Hopkins Center for Healthy Security. Maksud dari ucapan Amesh adalah bahwa uji klinis fase 1 ini lebih bertujuan untuk menentukan apakah sebuah obat atau vaksin yang dikembangkan aman digunakan atau tidak. Fase ini tidak dirancang untuk menguji kemanjuran.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, sampai saat ini, mRNA-1273 merupakan kabar gembira bagi kita. Kandidat vaksin ini juga telah mendapat lampu hijau untuk memulai pengujian manusia tahap kedua.
Tak hanya negara-negara besar, Indonesia juga turut mengikuti lomba membuat vaksin. Presiden Joko Widodo mempercayakan tugas untuk membuat vaksin kepada Lembaga Eijkman segera setelah kasus pertama dan kedua COVID-19 diumumkan pada Maret lalu. “Kami yakin bisa membuat vaksin [COVID-19],” Amin Soebandrio, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mengatakan pada Tirto (24/04/2020). Soebandrio dalam keterangannya di Tirto juga menyatakan bahwa tim Eijkman masih memiliki waktu sampai 12 bulan ke depan untuk membuat vaksin.
Namun demikian, 12 bulan merupakan waktu yang sangat ambisius sekaligus terlampau optimis untuk mengembangkan sebuah vaksin. Bukan untuk mengatakan bahwa pengembangan vaksin selama 12 bulan di tangan yang tepat itu mustahil, tapi memang sejatinya pembuatan dan pengembangan sebuah vaksin tak sepenuhnya juga sesederhana dan secepat itu. Rekor tercepat dalam pembuatan vaksin setidaknya adalah empat tahun, dan sebuah rahasia umum di bidang tersebut bahwa pengembangan vaksin diukur dengan tahun, bukan bulan.
ADVERTISEMENT
Mengingat sejarah dan proses sains dalam pembuatan vaksin, Peter Hotez dalam National Geographic mengatakan bahwa pengembangan sebuah vaksin dalam "satu tahun hingga 18 bulan benar-benar belum pernah terjadi sebelumnya,". Dekan di Baylor University’s National School of Tropical Medicine itu menambahkan, "mungkin dengan teknologi baru, mungkin dengan menggelontor uang cukup banyak untuk hal tersebut, itu akan terjadi. Tapi kita harus sangat berhati-hati dengan perkiraan waktu itu. "
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah misi pembuatan dan pengembangan vaksin selama 12 bulan ini akan berhasil?
#TenanguntukMenang #BerkahNulisdiRumah
Terdapat dua masalah yang perlu mendapat sorotan ketika membicarakan langkah ambisius untuk menciptakan vaksin dalam 12 bulan. Pertama, masih belum jelasnya apakah vaksin sendiri ini bisa dikembangkan atau tidak. COVID-19 merupakan penyakit baru yang masih menyimpan berbagai misteri. Walaupun benar bahwa penelitian telah melaju cepat tetapi, beberapa pertanyaan esensial dari SARS-CoV-2 ini masih belum bisa terjawab valid. Dengan demikian, mungkin saja para ilmuwan terdepan dalam bidang penyakit menular dan vaksinasi tidak dapat menciptakan atau mengembangkan vaksin COVID-19 sama sekali – yang mana telah benar terjadi pada penyakit seperti Malaria, HIV, atau saudara virus baru ini SARS, dan MERS.
ADVERTISEMENT
Kalaupun para ilmuwan berhasil memecahkan misteri virus ini dan akhirnya mengembangkan sebuah vaksin, idealnya, dibutuhkan waktu yang sangat lama hingga vaksin tersebut dapat disebarkan ke masyarakat luas. Tidak hanya bulanan, namun tentu bertahun-tahun. Inilah permasalahan kedua. Waktu merupakan komponen penting yang diperlukan dalam penelitian terkait vaksin. Peneliti membutuhkan waktu bertahun-tahun tidak hanya untuk memastikan bahwa sebuah vaksin efektif, tapi yang lebih penting adalah untuk mengetahui apakah vaksin yang dikembangkan bersifat aman untuk digunakan.
Unsur keamanan ini menjadi penting karena efek samping bisa saja muncul berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah vaksin diberikan. Selain itu, pentingnya memastikan sebuah vaksin aman adalah karena jika terdapat bahaya, efek samping, atau kerusakan yang ditimbulkan dari vaksin COVID-19, nantinya dapat sewenang-wenang digunakan oleh para kelompok anti-vaksin untuk melanggengkan agenda mereka. Karena selain pandemi influenza global, WHO juga memasukkan vaccine hecitansy (keraguan untuk mendapatkan vaksin yang tepat) ke dalam sepuluh ancaman besar terhadap kesehatan global pada 2019. Kelompok anti-vaksin akan mendapatkan pengikut yang lebih besar lagi jika pengembangan sebuah vaksin lalai akan unsur safety, walau sebenarnya tidak diragukan bahwa kelompok ini sudah memiliki akar sejak lama.
ADVERTISEMENT

Berapa lama waktu pembuatan dan pengembangan vaksin?

Sturart A. Thompson dalam artikelnya di The New York Times menganalisa dan memaparkan fase pembuatan vaksin yang meliputi: penelitian akademik, tahap pre-clinical, tiga fase uji coba, pembangunan pabrik dan manufaktur, serta distribusi. Dari fase penelitian akademik hingga fase distribusi, sebuah vaksin menurut analisa Thompson bisa jadi membutuhkan waktu selama 16 tahun sampai akhirnya siap. Untuk memahami mengapa waktu yang dibutuhkan sangat lama, mari kita bahas fase-fase proses pembuatan dan pengembangan sebuah vaksin.
Estimasi waktu normal yang dibutuhkan untuk menciptakan dan mengembangkan sebuah vaksin COVID-19 bisa sampai 16 tahun ke depan.
Pertama adalah fase eksplorasi menggunakan riset akademik. Seperti yang telah kita sebutkan, penelitian terkait COVID-19 telah melaju begitu cepat. Namun, kecepatan ini sendiri sebenarnya bisa dikatakan berbahaya karena dalam sains, kecepatan tidaklah begitu penting dibandingkan keandalan sebuah penelitian. Hal ini juga berlaku untuk penelitian terkait vaksin COVID-19. Jika mengacu pada waktu ideal atau waktu normal di luar masa pandemi seperti sekarang, penelitian terkait sebuah vaksin sendiri dapat memakan waktu hingga dua sampai tiga tahun. Hal itu belum terkait lamanya proses pengajuan pembiayaan, persetujuan, dan menelaah hasilnya sedikit demi sedikit, sehingga penelitian tentang vaksin yang membutuhkan waktu dua sampai tiga tahun ini menjadi atau terlihat sangat wajar.
ADVERTISEMENT
Namun tentu saja kita sedang tidak menjalani hari-hari biasa atau waktu normal. Seiring dengan terus bertambahnya jumlah kasus positif dan kematian setiap hari, cepatnya penemuan vaksin nampak seperti sebuah air di gurun pasir yang kering; sebuah keajaiban yang kita nantikan. Sebuah harapan.
Selanjutnya, fase ke-dua. Tahapan pre-clinical merupakan sebuah uji menggunakan kultur jaringan atau kultur sel dan uji pada binatang untuk mengukur unsur keamanan dan keselamatan (safety) dari sebuah kandidat vaksin sebelum akhirnya dilakukan uji coba pada manusia. Tahap pre-clinical ini juga biasanya bertujuan melihat kemampuan sebuah kandidat vaksin untuk menimbulkan respons imun setelah diinejeksi. Subjek binatang yang umum digunakan untuk uji adalah tikus atau kera.
Fase pre-clinical ini diharapkan dapat memberikan gambaran pada peneliti mengenai respons seluler yang mereka harapkan pada manusia. Dalam fase ini juga para peneliti bisa menyarankan atau merekomendasikan dosis awal yang aman untuk fase penelitian selanjutnya (fase uji coba pada manusia) serta memberikan pengetahuan tentang metode yang aman untuk pemberian vaksin. Dalam fase ini juga, peneliti dapat melakukan percobaan pada hewan dengan memberikan mereka vaksin lalu memaparkan hewan yang digunakan sebagai subjek riset tersebut kepada penyakit tertentu.
ADVERTISEMENT
Banyak kandidat vaksin yang tidak melampaui tahap ini karena gagal menghasilkan respons imun yang diinginkan. Tahap pre-clinical ini seringnya berlangsung satu hingga dua tahunan.
Dibuat pada tahun 1976, foto bersejarah ini menunjukkan seorang wanita dewasa menerima vaksinasi yang diberikan oleh seorang dokter kesehatan masyarakat, dengan cara injeksi jet, juga dikenal sebagai "Ped-O-Jet®", selama kampanye vaksinasi Flu babi nasional , yang dimulai 1 Oktober 1976. Poto dari CDC di Unsplash.
Fase selanjutnya adalah tahap uji klinis dengan subjek manusia. Fase ini, seperti yang telah disebutkan, memiliki tiga tahapan yang biasanya disebut: uji klinis tahap pertama, uji klinis tahap kedua, dan uji klinis tahap ketiga. Masing-masing tahap tersebut memiliki sebuah jalur dan tujuan yang berbeda. Agar mudah memahami perbedaan dari tiga tahap ini (walaupun juga akan dijelaskan selanjutnya), apa yang membedakan tiga tahapan ini secara umum adalah jumlah subjek atau partisipan yang ikut serta dalam studi. Tahap pertama mungkin hanya melibatkan puluhan orang, tahap kedua melibatkan ratusan orang, dan tahap ketiga melibatkan ribuan orang.
ADVERTISEMENT
Uji klinis tahap pertama merupakan tahapan uji skala kecil – hanya melibatkan sekelompok kecil subjek, yang bertujuan untuk menilai apakah sebuah vaksin aman digunakan pada manusia dan untuk mengetahui respons imun yang ditimbulkan. Kelompok subjek yang diikutsertakan dalam uji tahap ini biasanya 20-80 orang.
Unsur keamanan (safety) menjadi sangat penting diperhatikan dalam pengembangan sebuah vaksin terutama dalam uji klinis tahapan pertama ini. Karena tentunya kita akan berpikir dua tiga kali jika sebuah vaksin memiliki efek samping yang bahkan dapat mematikan.
Sama seperti fase pre-clinical, pada uji klinis tahap pertama ini peneliti mungkin melakukan percobaan dengan memberi seseorang vaksin lalu memaparkannya kepada virus (disebut juga sebagai challenge model). Namun, Thompson dalam The New York Times mengatakan bahwa peneliti tidak bisa semudah itu memaparkan partisipan yang sudah divaksinasi pada virus Corona untuk melihat bagaimana respons tubuhnya. Ilmuwan biasanya menunggu sampai beberapa partisipan tertular virus secara alami (salah satu caranya adalah dengan memvaksinasi orang di suatu daerah dengan kasus yang tinggi). Terlebih lagi, kondisi dari peserta uji tahap pertama ini harus dikontrol secara cermat.
ADVERTISEMENT
Jika dianggap sangat menjanjikan setelah melalui uji tahap pertama, maka sebuah kandidat vaksin dapat memasuki uji klinis tahap selanjutnya.
Di uji klinis tahap kedua, skala partisipan studi diperbanyak, mungkin hingga ratusan, untuk diberikan vaksin yang telah lulus uji sebelumnya. Pada uji kedua ini, sebuah kandidat vaksin biasanya diberikan kepada orang yang memiliki karakteristik (seperti usia) yang paling rentan terpapar oleh virus. Tujuan dari uji coba klinis tahap dua ini adalah untuk mempelajari keamanan, imunogenisitas (kemampuan vaksin memicu respons imun), dosis yang direkomendasikan, jadwal imunisasi, dan metode pemberian vaksin. Jika di tahap ini kandidat vaksin lolos uji, maka dapat melanjutkan ke tahap selanjutnya.
Uji klinis tahap ketiga melibatkan lebih banyak orang untuk menguji keamanan dan efikasi dari sebuah kandidat vaksin. Pada tahap ini biasanya melibatkan ribuan orang sebagai partisipan.
ADVERTISEMENT
Sama seperti pada fase sebelumnya, uji klinis tahap ketiga ini salah satunya bertujuan untuk melihat unsur keamanan dari sebuah vaksin. Selain itu, unsur efikasi kandidat vaksin dites lebih ketat dan setidaknya harus dapat menjawab pertanyaan meliputi; 1) Apakah kandidat vaksin dapat mencegah munculnya penyakit? 2) Apakah kandidat vaksin mencegah infeksi patogen? 3) Apakah kandidat vaksin mengarah pada produksi antibodi atau respons imun lain yang terkait dengan patogen? Semua pertanyaan itu harus dijawab untuk melihat seberapa andal kandidat vaksin sebelum memasuki fase manufaktur. Tiga tahap uji klinis ini dapat memakan waktu hingga 3 sampai 4 tahun.
Analisis dari Thompson juga menemukan bahwa kurang dari 10 persen obat yang memasuki uji klinis disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA). Jadi, jika ada 100 kandidat vaksin yang tampak sangat menjanjikan, hanya kurang dari 10 vaksin saja yang akan disetujui dan 90 lainnya akan gagal.
ADVERTISEMENT
Jika semua langkah baik fase uji dan penelitian di atas berjalan lancar, langkah selanjutnya adalah fase produksi vaksin. Perusahaan yang bergerak dalam pengembangan vaksin ini harus mulai memproduksi jutaan – bahkan miliaran – dosis vaksin. Setiap tahunnya, jutaan dosis vaksin untuk gondong, campak dan penyakit lainnya selalu dibuat. Bayangkan produksi yang sama ditambah kebutuhan vaksin untuk COVID-19. Ini tentu akan membutuhkan baik tenaga dan biaya produksi yang besar (dan di sinilah biasanya orang-orang yang percaya teori konspirasi mengambil celah untuk menyalahkan perusahaan farmasi atau biotek seperti yang terjadi pada wabah influenza 2009).
Pembuatan pabrik vaksin juga tidak boleh sembarangan. Menurut Thompson, pabrik-pabrik itu harus mengikuti pedoman ketat yang mengatur fasilitas biologis dan biasanya membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk membangunnya. Biayanya, setidaknya tiga kali lebih banyak dibandingkan daripada pembuatan pabrik farmasi konvensional. Proses ini dalam diagram Thompson memiliki rentang yang paling panjang yaitu antara 5 sampai 6 tahun proses pembuatan.
ADVERTISEMENT
Selain proses manufaktur, sebuah kandidat vaksin juga harus melalui apa yang disebut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) sebagai proses persetujuan produk vaksin. FDA (Food and Drug Administration) hanya akan menerima kandidat vaksin jika vaksin tersebut terbukti aman dan efektif, serta memiliki manfaat yang lebih besar dibandingkan resikonya.
Fase terakhir adalah distribusi. Sayangnya, kawan. Hal ini bukan berarti tantangan pengembangan sebuah vaksin sudah berakhir. Bayangkan jika sebuah vaksin untuk COVID-19 benar ditemukan, siapa yang akan membutuhkannya? Seluruh dunia. Terlebih lagi, siapa yang harus dan idealnya harus mendapatkan suntikan vaksin terlebih dahulu? Apakah vaksin akan diberikan kepada orang yang termasuk dalam karakteristik rentan terhadap SARS-CoV-2 saja atau untuk seluruh populasi? Kendall Hoyt, seorang ahli vaksin dan biosecurity di Darthmouth mengatakan pada Vox bahwa, “Akan ada masalah kapasitas karena sebagian besar populasi dunia membutuhkan vaksin”
ADVERTISEMENT

Percepatan bahaya, tidak mempercepat juga bahaya

Panjangnya proses yang dibutuhkan untuk membuat sebuah vaksin menjadikan kita paham bahwa mungkin saja tidak akan ada antibodi untuk SARS-CoV-2 dalam waktu dekat – bahkan mungkin tidak akan ada vaksin sama sekali. Walau demikian, para ahli dan peneliti mencoba melakukan percepatan-percepatan yang dibutuhkan untuk membuat vaksin. Jika langkah percepatan ini memang bisa dilakukan, maka vaksin untuk COVID-19 mungkin akan tersedia pada Agustus tahun 2021. Masing-masing fase yang membutuhkan waktu tahunan yang telah kita bahas, mungkin saja bisa disingkat. Dan itulah yang sedang diusahakan oleh ahli dan peneliti terkait vaksin ini.
Jika percepatan-percepatan dalam semua fase dapat dilakukan, kita mungkin akan mendapatkan vaksinCOVID-19 pada Agustus 2021. Namun tentu banyak aspek yang harus diperhatikan dari cepatnya pembuatan vaksin ini.
Kabar baiknya, SARS-CoV-2 bukanlah jenis virus corona yang pertama kali menyerang umat manusia. SARS dan MERS merupakan wabah yang disebabkan virus yang sama dari jenis Betacoronavirus. SARS-CoV yang menyebabkan wabah SARS pada 2002/2003 dan MERS-CoV yang menyebabkan MERS pada 2012 membawa sedikit keuntungan dalam langkah penelitian akademik terkait vaksin COVID-19 (virus SARS-CoV dan SARS-CoV-2 ditemukan 79.5 persen identik). Para ilmuwan dapat mendasarkan berbagai temuan dari SARS-CoV dan MERS-CoV, mengambil apa yang berguna, dan mengeliminasi bukti yang tidak relevan untuk diterapkan pada riset pembuatan vaksin COVID-19.
ADVERTISEMENT
Dengan kecepatan riset saat ini didukung dengan temuan terkait dalam riset virus Corona sebelumnya, percepatan pada langkah penelitian akademis mungkin saja dapat dilakukan. Sampai hari ini (26/05/2020) terbukti bahwa sebanyak 113 vaksin sudah masuk daftar pengembangan yang salah satu di antaranya adalah mRNA-1273 seperti telah kita singgung di atas.
Selanjutnya, cara untuk memangkas waktu proses uji klinis yang memiliki tiga tahapan adalah dengan menggabungkan beberapa tahap dan menguji vaksin pada lebih banyak orang tanpa menunggu terlalu lama. Namun tentu saja, terdapat risiko yang besar di balik itu. Tanpa hasil pembuktian berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun memungkinkan tidak cukupnya bukti bahwa vaksin akan bekerja seperti yang dijanjikan.
Kebanyakan vaksin flu atau polio memang sudah termasuk aman digunakan. Sebuah penelitian juga membuktikan bahwa pemberian vaksin tepat waktu selama masa bayi tidak memiliki efek buruk pada neuropsikologis dalam kurun waktu 7 hingga 10 tahun kemudian. Namun, kita juga harus memahami bahwa setiap vaksin yang sekarang dikatakan aman, membutuhkan waktu pengembangan yang panjang. Para peneliti dan produsennya selalu menindaklanjuti perkembangan vaksin dengan standar ilmiah yang ketat bertahun-tahun setelah didistribusikan. Mereka memastikan obat-obatan ini diproduksi dalam kondisi aman tanpa kontaminasi. Mereka memastikan bahwa vaksin menghasilkan kekebalan abadi tanpa efek samping utama di kemudian hari. Mereka juga memastikan orang-orang yang mengelola vaksin dilengkapi dan dilatih dengan peralatan terbaik.
ADVERTISEMENT
Jika sebuah vaksin yang melalui fase percepatan ini memang berhasil dikembangkan tapi ternyata memiliki efek samping membahayakan, potensi bahaya yang didapatkan tidak hanya pada masing-masing individu tetapi juga di level sosial. Para kelompok anti-vaksin tentunya mendapatkan topik baru untuk dijadikan sebagai bahan penolakan vaksin di tahun-tahun selanjutnya. Dan ini akan menimbulkan masalah yang lebih besar kedepannya. Apa yang akan terjadi jika 80 persen populasi menolak vaksin polio atau cacar? Kita tidak bisa membayangkan risiko dari skenario itu. Wabah akan terus muncul dan kita akan lebih sering menggaungkan tagar di rumah saja.
Namun demikian, percepatan untuk membuat vaksin ini memang perlu diperhitungkan matang-matang. Realita sekarang sangat memprihatinkan. Selain telah merenggut nyawa ratusan ribu orang, COVID-19 juga telah merenggut mata pencaharian banyak orang, menutup sektor pendidikan, dan juga menyebabkan kebanyakan orang mengalami kecemasan ketika memikirkan pandemi ini. Percepatan untuk membuat vaksin mungkin membawa suatu bahaya, namun membiarkan bumi terjebak dalam situasi yang tak pasti seperti hari ini juga membawa risiko dan bahaya lainnya. Bahaya dari kelumpuhan sektor ekonomi adalah salah satu yang paling banyak dibicarakan.
ADVERTISEMENT

Adakah harapan alternatif selain vaksin?

ADVERTISEMENT
Setelah kita mengetahui realita bahwa kemungkinan kita mendapatkan vaksin dalam waktu dekat sangatlah kecil (walau bukan berarti mustahil), kita memang harus mencari alternatif lain yang dapat digunakan. Hanya mengandalkan kecepatan, tanpa memedulikan unsur safety dalam proses pembuatan vaksin sangatlah tidak dianjurkan.
HIV adalah contoh yang bagus untuk kasus ini. Setelah berpogres selama 40 tahun, vaksin HIV setidaknya telah mengalami beberapa uji klinis tahap ketiga yang salah satu hasilnya bahkan memperburuk atau memperparah penyakit itu dan yang lainnya hanya memiliki tingkat keberhasilan 30 persen. Belum lama ini, sebuah uji coba vaksin HIV di Afrika Selatan yang melibatkan 104 juta dolar terpaksa dihentikan karena vaksin tersebut terbukti tak menunjukkan efikasi. Para ahli bahkan mengatakan bahwa mereka tidak bisa memastikan akan ada vaksin HIV hingga 2030 atau bahkan bisa lebih lama.
ADVERTISEMENT
Namun kisah HIV yang menyedihkan ini juga membawa sebuah pelajaran bahwa, umat manusia tidak harus bergantung pada vaksin untuk keluar dari situasi sulit ini. Terdapat langkah alternatif yang bisa digunakan. HIV, sekali lagi, adalah buktinya. Peneliti dalam bidang terkait telah mengembangkan suatu obat antivirus yang menurunkan angka kematian dan meningkatkan kesehatan bagi orang dengan AIDS. Obat terapi antiretroviral (antiretroviral therapy, ART) merupakan cara memerangi HIV tanpa vaksin. ART berperan penting dalam kemajuan umat manusia melawan HIV/AIDS – yang memungkinkan orang dengan HIV hidup lebih lama dan mencegah infeksi HIV baru.
Dengan menerapkan penanganan dan perawatan, skala keberbahayaan HIV turun sangat jauh (dari yang sebelumnya sangat menular dan sangat mematikan turun menjadi tidak menular dan tidak mematikan). Jika tenaga medis dapat menemukan obat terapi untuk COVID-19, skala keberbahayaan virus ini mungkin juga akan turun.
Para peneliti juga telah mengembangkan obat non-vaksin yang sama untuk COVID-19. Sebanyak 308 (26/05/2020) obat terapi sedang dikembangkan. Namun sekali lagi, kelemahan dari memproduksi alternatif ini juga membutuhkan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Keberhasilan dari obat apa pun yang menjadi lawan virus memang sangat ditentukan oleh waktu. Kabar baiknya, jika berhasil, obat non-vaksin yang dikembangkan dapat membantu menurunkan jumlah orang yang masuk rumah sakit. Selain itu, obat tersebut juga akan membantu orang dengan gejala positif cepat pulih dari rumah masing-masing sambil mempersempit kemungkinan infeksi sehingga lebih sedikit orang tertular. Ini akan menjaga kurva epidemi tidak melewati “garis fasilitas/kapasitas kesehatan”.
ADVERTISEMENT
Seperti juga yang telah kita ketahui, selain perawatan, terdapat intervensi kesehatan publik yang dapat membantu mengontrol virus Corona tanpa vaksin; testing dan contact tracing. Korea Selatan adalah contoh yang sangat baik dalam penerapan dua hal ini. Mereka secara masif melakukan tes dan penelusuran untuk mengisolasi orang-orang yang terinfeksi, mengkarantina kontak yang terhubung dengan orang positif, dan menerapkan pembatasan sosial atau fisik yang diperlukan oleh masyarakat. Langkah-langkah ini walau sebenarnya tidak secara langsung dapat mengembalikan kehidupan normal, tapi setidaknya dapat turut serta menekan angka penyebaran – menekan kurva.
Obat non-vaksin dan intervensi publik memang bukanlah senjata terampuh kita untuk mengalahkan SARS-CoV-2 – karena klaim itu masih milik vaksin – tapi setidaknya kedua hal tersebut jika diterapkan secara bersamaan dengan prosedur yang dikontrol, kehidupan mungkin akan kembali normal seperti sediakala sebelum pandemi ini melanda. Bahkan tanpa harus menunggu lama untuk vaksin.
ADVERTISEMENT