Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Cerita Persalinanku Bersama Mertua
14 Oktober 2020 11:23 WIB
Tulisan dari Mertua Oh Mertua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Momen persalinan memang susah dilupakan, termasuk siapa yang selalu ada di samping Anda selama peristiwa bersejarah itu. Bagi Gia, orang itu adalah ibu mertuanya. Dari persiapan persalinan hingga pulang ke rumah, ibu mertua Gia selalu siap sedia. Berikut kisahnya.
ADVERTISEMENT
—
Ini adalah kisah persalinanku saat melahirkan anak pertama. Pengalaman yang membuatku berkali-kali lipat lebih menghargai ibu mertua.
Aku terpaksa melahirkan lewat operasi caesar karena tekanan darahku tinggi menjelang HPL. Kondisi ini disebut sebagai preeklampsia. Mendadak ada kelebihan protein di dalam urin, pembengkakan di kaki, tangan dan wajah. Terpaksa persalinan normal yang sudah direncanakan harus dibatalkan. Aku ikhlas yang penting bayiku selamat.
Saat itu aku sempat khawatir aku akan merasa sendirian. Suamiku memang ada, tapi di lubuk hati terdalam, aku tahu dia belum siap jadi ayah.
Dia ingin kami setidaknya punya waktu dua-tiga tahun sebelum punya anak agar kami lebih stabil secara finansial maupun mental. Tapi atas karunia Tuhan, aku sudah hamil pada tahun pertama pernikahan kami. Mana bisa ditolak
ADVERTISEMENT
Ibu Mertua Membantu Persalinanku
Di saat seperti itu, aku butuh sosok ibu di sampingku. Sosok yang bisa menenangkanku, menuntunku tanpa menghakimi. Tapi ibu kandungku sudah meninggal sekitar lima tahun lalu. Untungnya, ibu mertua menggantikan perannya.
Setelah operasi caesar selesai, ibu mertua selalu stand by di sampingku. Mungkin kalau diizinkan masuk ke ruang operasi, dia juga akan siap sedia. Membuatku merasa punya ibu kedua yang keikhlasannya nggak perlu dipertanyakan.
Selama dua hari di rumah sakit, ibu mertua merawatku dengan sangat sabar. Dia mengusap badanku dengan waslap basah sebagai sebelum aku boleh mandi. Ibu mertua juga membantuku memasang korset, bantu mengganti pembalut, hingga membuang urinku di pispot. Kalau diingat-ingat lagi kebaikannya saat itu, mataku jadi berkaca-kaca lagi.
ADVERTISEMENT
Tahu aku nggak punya banyak saudara di kota ini, ibu mertua juga memastikan aku nggak merasa sendirian. Dia meminta tolong kakak-kakak iparku untuk ikut stand by selama dua hari aku di rumah sakit. Mereka ditugasi menjaga bayiku bergantian dan mengajakku ngobrol biar aku nggak kesepian.
Tentu kalian jadi bertanya-tanya, dimana suamiku di saat seperti itu?
Suamiku cukup bertanggung jawab untuk ikut menjagaku di rumah sakit. Sayangnya, sepertinya suamiku kena baby blues . Ekspresinya canggung sekaligus gelisah saat pertama kali menggendong bayi kami. Antara takut, cemas, dan ingin kabur. Aku berusaha memahami kalau hal itu wajar terjadi pada ayah baru.
Selama dua hari aku di rumah sakit, suamiku juga sering menghilang entah kemana. Hanya sesekali aku melihat wajahnya di kamarku. Kata ibu mertua, dia pamit ke kantin rumah sakit. Kadang juga ke taman rumah sakit hingga berjam-jam.
ADVERTISEMENT
“Mau Ibu panggilkan suamimu?” tanya ibu mertua lembut.
“Nggak usah Bu. Mungkin dia mau menenangkan pikiran dulu,” jawabku.
Ibu mertua mengangguk tapi menunjukkan ekspresi cemas. Mungkin dia khawatir aku kecewa atas sikap anaknya.
Sebenarnya aku memang cukup kepikiran dengan suamiku yang belum siap jadi ayah saat itu. Namun perhatian dari ibu mertua membuat kecemasanku teralihkan. Aku lebih banyak merasa dicintai daripada diabaikan. Untungnya, kini masalah suamiku yang kena baby blues sudah terselesaikan.
Harus bagaimana aku membalas kebaikan ibu mertuaku? (sam)
—
Jadi gimana, nih? Apakah Anda juga pernah mengalami pengalaman serupa dengan Gia? Boleh dong, diceritakan di kolom komentar. Takut namanya kebaca sama mertua? Kirim email aja! Ke: [email protected]
ADVERTISEMENT