news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Nilai dari Si Antagonis

Meyvia Natallia
Mahasiswa S1 Sastra Indonesia Universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
27 Juni 2022 21:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Meyvia Natallia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source: Unspash.com/Andrew Seaman
zoom-in-whitePerbesar
Source: Unspash.com/Andrew Seaman
ADVERTISEMENT
“Dalam menulis karya sastra kamu harus berpihak kepada yang lemah. Misalnya, kalau kamu nulis cerita yang menginjak-injak perempuan bisa habis kamu sama orang-orang feminis.” Begitu perkataan salah satu dosen saya dalam menyampaikan materi perkuliahan.
ADVERTISEMENT
Dalam karya sastra kita sering menemukan tokoh-tokoh yang dilemahkan menjadi tokoh utama dalam cerita tersebut. Mungkin saja kamu akan menemukan cerita yang sarat akan perjuangan rakyat melawan tirani pemerintah, perjuangan perempuan yang melawan ideologi patriarki, atau mungkin perjuangan kaum-kaum yang dilemahkan oleh pihak-pihak yang berkuasa. Saya pun setuju dengan perkataan dosen tersebut. Karya sastra menjadi salah satu perlawanan simbolik untuk menyuarakan kebenaran (yang tidak mutlak: karena setiap kelompok memiliki kebenaran masing-masing).
Tidak semua orang dapat berdiplomasi secara lisan dan tidak semua orang dapat terjun langsung menyuarakan suaranya. Oleh sebab itu, karya sastra menjadi salah satu media atau wadah untuk melakukan perlawanan secara simbolik. Melalui karya sastra kamu bisa ditakuti kelompok tertentu. Misalnya, karya-karya Pramoedya Ananta Toer pernah menjadi salah satu karya sastra yang paling ditakuti dan dilarang beredar ketika di masa tertentu.
ADVERTISEMENT
Namun, apakah tokoh yang memiliki watak “lemah” selalu dapat di jadikan teladan bagi pembacanya?
Menurut saya tidak juga. Mungkin bagi beberapa pembaca akan cenderung menyukai tokoh-tokoh protagonis. Sebab, mereka memiliki karakter idealisme dan memegang prinsip sesuai dengan nilai maupun moral masyarakat.
Lalu bagaimana dengan tokoh-tokoh antagonis yang cenderung tidak dapat diterima oleh pembaca? Apakah tokoh-tokoh tersebut hanya menjadi tokoh yang menyebabkan konflik dalam cerita dan bertentangan dengan tokoh protagonis?
Tentu saja tidak. Ketika seorang pembaca mampu membaca lebih mendalam dan dapat memaknainya dengan sungguh-sungguh maka mungkin saja mereka memiliki ketertarikan terhadap tokoh antagonis tersebut. Ketika membaca karya sastra, mungkin saja kamu akan menemukan tokoh antagonis yang wataknya dapat di jadikan sebagai teladan bagi pembacanya. Misalnya, saya pernah membaca salah satu novel yang tak akan saya sebutkan judulnya. Dalam novel tersebut memiliki tokoh antagonis yang akan melakukan berbagai cara untuk mewujudkan keinginannya walaupun dengan cara yang licik.
ADVERTISEMENT
Mungkin bagi beberapa pembaca lainnya akan menganggap bahwa perilaku tersebut bukanlah hal yang baik. Bagi saya jika melihat dari perspektif lain, sebenarnya hal tersebut sedang memberitahukan kepada para pembaca agar memiliki karakter yang pantang menyerah dan tidak mudah asa. Bukan berarti saya menyetujui dan menerapkan perilaku tersebut dalam kehidupan nyata. Sebab, konteks dalam karya sastra tersebut menggunakan cara licik sehingga tidak akan saya terapkan dalam kehidupan nyata. Namun hal tersebut, cukup memberikan pemahaman bagi saya agar melakukan berbagai cara sebelum menyerah. Nilai pantang menyerah inilah yang sedang diajarkan tokoh antagonis terhadap pembaca.
Contoh lainnya, misalnya terdapat tokoh antagonis yang sering memperlihatkan sifat kepura-puraannya yang baik di hadapan orang yang tidak disukainya. Mungkin bagi beberapa pembaca akan menganggap tokoh tersebut munafik. Namun bagi saya tokoh tersebut telah memberikan pemahaman bagaimana cara untuk menempatkan diri di hadapan orang yang tidak disukainya. Sebab, di kehidupan nyata ketika manusia terlalu menunjukkan rasa ketidaksukaannya terhadap orang tersebut, maka akan dapat menimbulkan konflik.
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi kembali kepada setiap orang karena mereka memiliki penerimaan masing-masing ketika memaknai isi cerita tersebut. Pendapat saya pun belum tentu dapat diterima oleh semua orang. Sebab, para pembaca pun pasti mempunyai berbagai cara yang unik dalam memaknai suatu karya sastra.