Konten dari Pengguna

Mencari Bahagia tapi Nyatanya "Hiya-hiyaaa"

Muhammad Gilang Toni Patmadiwiria
Penulis, praktisi komunitas, enumerator di SMERU, dan penerjemah lepas.
15 Oktober 2024 10:01 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Gilang Toni Patmadiwiria tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kondisi Kampung Rawa via Google Map
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi Kampung Rawa via Google Map
ADVERTISEMENT
Ibu Ani (bukan nama sebenarnya) berjuang bersama suami, berjualan starling dan gorengan di tengah kampung terpadat di Asia.
ADVERTISEMENT
Di permukiman padat penduduk di Jakarta Pusat, tepatnya Kp. Rawa, kecamatan Johar Baru, saya hendak menemui salah seorang responden yang sebelumnya telah setuju untuk diwawancarai. Tampak rumah-rumah sederhana bertumpuk dan berimpit. Rumah satu dari rumah lainnya menyatu bersekat papan, tak ada halaman seperti rumah KPR impian. Tempat tidur, menonton teve, bercengkrama, hingga mencari nafkah jadi satu. Rerata rumah hanya berukuran sebanter 6x6 hingga 8x3. Itu pun ditempati dan ditiduri 4 sampai 5 orang, bahkan lebih. Sumuk.
Kampung Rawa dinobatkan menjadi perkampungan terpadat di Asia. Seperti New York, Bangkok, atau Mekkah, Kampung Rawa tidak pernah tidur. Setiap orang selalu tampak di jalan-jalan. Bukan karena mereka banyak uang, melainkan karena rumah yang sempit dan pengap. Semua warga dari tua dan muda akur berbaur, membunuh kebosanan dengan mengobrol, main kartu, main HP, melamun, hingga melihat orang-orang berpapasan. Anak-anak Anda rajin membekap diri di rumah seharian? Contohlah anak-anak kampung sini yang memilih bermain di luar sedari pulang sekolah hingga malam, yang pulang pun hanya untuk makan dan mandi untuk mengaji. Setelahnya, main lagi. Begitu terus hingga keluarga mereka menemukan kehidupan yang layak, yang kadang terlalu muluk untuk mereka impikan.
ADVERTISEMENT
Itu di jalan yang agak besar, berbeda lagi saat memasuki gang. Jangan bayangkan gang-gang di Kota Malang atau Yogyakarta yang view-nya aduhai itu. Masuk saja aromanya sudah lain. Andaipun segerombol anak muda yang sok-sokan tur gang-gangan itu datang ke sana, pasti banyak yang langsung mengeluh atau menarik diri karena tidak kuat. Minimal, pegang hidung, lah. Bau lumut, selokan, orang-orang berlalu-lalang, bocah-bocah yang belum mandi, sampah makanan, hingga ceceran minuman sisa sudah niscaya. Tidak ada sejarah soal kampung yang layak diceritakan. Penduduk sana hanya tahu kalau wilayahnya bekas rawa yang rawan tawuran dan kebakaran.
Kondisi gang di Kampung Rawa via Google Map
Saat saya mencari alamat, hampir pasti GPS tidak berguna. Solusinya, hafal saja nama bapak, ibu, atau anak yang mau ditemui. Warga Kampung Rawa lebih kohesif daripada warga-warga lingkungan klaster di Jakarta. Begitu mencari alamat Ibu Ani, saya dibimbing memasuki gang yang lebih kecil lagi. Kali ini hanya muat satu orang berjalan menyamping. Tidak jauh tibalah saya di sebuah tempat cuci warga, rumah Ibu Ani ada di depannya.
ADVERTISEMENT
Memasuki rumahnya, saya mengucapkan salam. Akhirnya disambut oleh Ibu Ani bersama suaminya yang sedang memperbaiki wadah minuman saset. Ya, suami Ibu Ani adalah seorang penjaja kopi keliling atau biasa disebut starling (sebutan dari Starbucks keliling), sedangkan Ibu Ani berjualan gorengan. Kami berkenalan, saya pun meminta izin memulai wawancara.
Beberapa pertanyaan dijawab Ibu Ani dengan lancar. Kadang dengan raut datar, kebingungan, hingga senyum yang naik natural. Sebisa mungkin saya bawakan suasana yang ringan, pun dengan pembahasaan yang mudah pula. Banyak pertanyaan ngejelimet peneliti yang harus saya bahasakan ulang, tapi semua saya jalani dengan sadar dan penuh evaluasi.
Ibu Ani menjawab pertanyaan demi pertanyaan tentang ekonomi maupun keadaan keluarganya. Meski agak risih, tapi saya berhasil meyakinkan kerahasiaannya. Hingga tibalah pada pertanyaan yang menyangkut perasaannya: "Apakah Ibu merasa senang?"
ADVERTISEMENT
Dia terdiam sebentar, berusaha menjawab:
"Oh, ya, harus itu. Hampir selalu."
"Ibu merasa optimis melihat masa depan, Bu?" tanya saya lagi.
"Sering," pungkasnya.
Sesudah menanyakan itu, saya pun menanyakan hal praktis:
"Ibu ada gangguan tidur?" lanjut saya.
"Cukup sering, lah. Hampir semingguan. Ibu-ibu banyak pikiran, Mas," sambil terkekeh.
Saya mengangguk saja, meski menyadari ada inkonsistensi di sini.
Satu per satu pertanyaan dilewati, cukup lama. Setelah selesai, sembari beberes alat dan memakan suguhan, saya mengobrol untuk memecah suasana. Saya tanyakan lingkungan rumahnya, berapa kontrakan per bulannya, hingga penghasilan mereka sehari-hari. Bicara soal pendapatan mungkin klise, tapi Ibu Ani yang tadi terlihat optimis, berubah memisuh karena harga bahan makanan yang naik dan sekolah yang meminta macam-macam uang di luar SPP.
ADVERTISEMENT
"Yah, kita-kita ini orang kecil, ya, Mas. Sudah lama hidup begini. Bukannya kita gak pernah berusaha, tapi udah banyak yang kita coba. Bersyukur aja, lah, pasrah."
--
Kita mungkin pernah mendengar banyak budayawan, birokrat, hingga politikus yang membangga-banggakan kebahagiaan orang Indonesia. Entah sumbernya dari survei kebahagiaan BPS atau lembaga luar negeri. Asumsinya, jika bangsa Indonesia bahagia, sudah pasti mereka sejahtera.
Ray Dalio dengan Great Power Index 2024 yang dirilis baru-baru ini, semakin menjustifikasi itu. Dalam kategori kebahagiaan, Indonesia menempati urutan kedua setelah Inggris dengan sekala 1,58 dari skala maksimum 2,00. Riset indeks kebahagiaan tersebut sudah melalui berbagai validasi terkait daily enjoyment (kesenangan/kepuasan sehari-hari), life satisfaction, social support network, dan tingkat bunuh diri dari tiap negara.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya di tahun 2022 pun, BPS merilis survei yang menyasar warga Jakarta secara umum. Dalam kategori Indeks Kebahagiaan, Jakarta menyentuh angka 71,33 persen, setelah sebelumnya di 2021 berada di angka 70,68 persen. Agaknya tidak mengherankan jika kedua survei tersebut valid jika ditinjau dari rentang waktu yang berdekatan.
Namun, benarkah realitasnya demikian?
Kisah tentang Ibu Ani, misalkan, memang terdengar anekdotal. Melalui pengamatan langsung yang saya lakukan terhadap 46 keluarga (41 keluarga berasal dari keluarga prasejahtera) di Jakarta Pusat saja, 44 responden menunjukkan optimisme dan perasaan puas dan bahagia dalam kondisi hidupnya. Menariknya, dua pertanyaan awal kami menyangkut kesenangan dan optimisme, kami validasi dengan berbagai pertanyaan praktikal seperti kualitas tidur, kesulitan mengendalikan perasaan, dan lain-lain di akhir sesi, yang mana 38 responden langsung menegasikan dua pertanyaan awal dengan keluhan-keluhan praktis yang mereka hadapi sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Sejak dari sini, saya menilai bahwa sepertinya survei di Indonesia belum terlalu dalam dan menyeluruh dalam mengurai kenyataan faktual. Indeks kebahagiaan yang biasanya dibanggakan para politikus itu pun sebenarnya bersifat kompleks dan individual. Bisa jadi, warga hanya memberikan jawaban yang "diharapkan" alih-alih mengungkap secara jujur kenyataan hidup yang mereka hadapi sendiri.
Indonesia pada kenyataannya masih menghadapi ketimpangan dan akses yang terbatas terhadap layanan-layanan dasar. Jadi, kadang saya heran pada kemampuan pemecahan masalah calon kepala daerah lulusan Harvard yang berinisiatif membuat program mobil psikolog keliling, bukannya fokus pada kebijakan transportasi umum, air bersih, ruang publik yang nyaman, sampai jaminan harga bahan-bahan pokok, misalnya.

Kenapa orang Indonesia sering berperangai positif?

Dari bermacam-macam interaksi yang saya jalani dengan warga, ada beberapa faktor yang memengaruhi jawaban mereka, yaitu:
ADVERTISEMENT
1. Harapan akan masa depan yang lebih baik. Jadi, sekalipun kondisi sedang sulit, banyak orang memilih untuk tetap positif dan berharap keadaan akan membaik di masa mendatang.
2. Keengganan untuk mengakui kesulitan. Denial mungkin adalah kata yang tepat untuk mencerminkan ini. Beberapa orang mungkin merasa malu atau tidak menyadari kesulitannya sehari-hari.
3. Tekanan sosial untuk selalu terlihat positif. Indonesia dengan budaya kolektivismenya, lebih cenderung mengutamakan hubungan harmonis dan kekeluargaan ketimbang dirinya sendiri. Dalam beberapa hal, tentu ini baik. Namun, terkait pemecahan masalah, agaknya perlu dikritisi lagi.
Negara-negara di dunia bisa bertumpu pada Indeks Kebahagiaan sebagai salah satu tolok ukur menilai kesejahteraan warganya. Namun, mengingat negara dunia ketiga seperti Indonesia, yang warganya tidak diajarkan cara mengendalikan emosi sejak dini, maka kita perlu benar-benar berhati-hati. Metodologi yang kurang tepat, tekanan sosial, atau faktor-faktor lain bisa jadi menyebabkan adanya distorsi data. Karenanya, pertanyaan-pertanyaan dalam survei perlu ditindaklanjuti secara lebih spesifik, dikorelasi dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang lebih praktikal. Seperti saat tidur, mengurus perizinan ke kantor pemerintahan, atau kemudahan akses transportasi. Semua kondisi sehari-hari tadi membantu kita untuk lebih dalam mengetahui, bahwa kesenangan yang responden alami: benar atau tidak.
Ilustrasi diskusi (doc. pribadi)
Belum cukup dalam intensitas satu-dua kali, perlu ada kelanjutannya. Entah melalui forum, yaitu dalam bentuk FGD atau observasi partisipatif. Agaknya tidak salah menjadikan obrolan informal di luar survei sebagai variabel tambahan yang bisa melengkapi hasil. Dalam hal ini, surveyor atau enumerator wajib pandai berkomunikasi agar responden tidak merasa dinilai dan dihakimi.
ADVERTISEMENT
Terakhir, pernahkah terlintas di pikiran kita, bahwa perbedaan budaya sangatlah penting? Kondisi psikologis masyarakat kelas menengah ke atas dan ke bawah tentu berbeda. Masyarakat yang tinggal di permukiman padat penduduk seperti di Kampung Rawa atau Galur, misalkan, boleh jadi lebih curiga dan lebih paranoid. Berbeda dengan masyarakat yang bermukim di gated community seperti di PIK atau klaster-klaster perumahan yang cenderung lebih rasional. Bayangkan jika warga Kampung Rawa tahu jika lembaga asing berniat mengulik kondisi keluarganya, alangkah menantang tugas enumerator untuk terus transparan dalam kerja-kerjanya.
Faktor-faktor tersebut agaknya bisa kita perhatikan untuk memperbaiki metodologi riset yang lebih akurat dan relevan. Kebijakan publik yang disusun dari riset-riset yang faktual tentu bisa lebih berdampak, alih-alih kebijakan berbentuk insentif seperti bansos dan semacamnya.
ADVERTISEMENT

Interpretasi dan empati

Walaupun seorang peneliti sudah berusaha seobjektif mungkin dalam tulisan risetnya, baik dalam perspektif realitas atau metodologi penelitiannya, tetapi dia akan tetap terhubung dengan subjektivitas, baik bias yg ada dalam dirinya atau bias penerima hasil riset (redaktur, pemerintah, politikus, dsb).
Masalahnya, fakta tidak bisa berbicara sendiri. Persoalan kita bukan hanya akurasi angka‐angka dan bagaimana angka itu didapatkan, tapi siapa yang mampu menjadikan angka itu berbicara dan untuk kepentingan siapa.
Seperti halnya yang saya sebutkan di paragraf awal, amboi, betapa senangnya para politikus jika mereka menyadari kalau rakyatnya cukup bahagia, sementara dampak bare minimum saja selaku pembuat kebijakan belum sempat mereka berikan. Sambil warganet mengeluh soal layanan dasar, riset kebahagiaan dijadikan kilah paling ampuh. Kita terus-menerus dibuat marah, sementara politikus dan birokrat tetap dapat upah, yang ironisnya, dibayar oleh kita juga.
ADVERTISEMENT
Jadi, mari berikan jeda yang lebih dalam untuk membiasakan diri merasakan realitas selain kita. Jangankan melontarkan pertanyaan yang fafifufufafa, memasuki wilayahnya saja, berjalan kaki memutari gang-gang sempit yang tidak layak masuk di album foto pemandangan alam kita, apakah Anda bersedia?