Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kalau Tak Untung: Upaya Perempuan Mendobrak Batas-Batas Konstruksi Sosial
9 Mei 2023 17:36 WIB
Tulisan dari Muhamad Irgi Abdillah Az-zarkasyi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Karya Sastra dan Dunia Pengarang
Karya sastra merupakan produk budaya yang diyakini mampu mengomunikasikan pengalaman batin seorang pengarang terhadap permasalahan kehidupan, baik sebagai pencipta maupun sebagai bagian dari kelompok masyarakat setempat. Sebuah karya sastra merupakan kesatuan yang utuh, khas, dan berdiri sendiri serta merupakan refleksi atas realitas sosial yang ditampilkan melalui kacamata seorang pengarang.
ADVERTISEMENT
Selasih, seorang pengarang dengan nama asli Sariamin Ismail yang dilahirkan di Talu, Pasaman, Sumatra Barat 31 Juli 1909 menulis novel Kalau Tak Untung yang diterbitkan pada tahun 1933 oleh Balai Pustaka. Kemunculan novel karya pengarang wanita Indonesia pertama ini memiliki keistimewaan, di antaranya adalah gagasan mengenai Rasmani- tokoh perempuan yang mengenyam pendidikan- selaras dengan isu yang sedari kecil menjadi perhatian dalam tulisan-tulisannya.
Salah satu tulisan terdahulunya berjudul “Betapa Pentingnya Anak Perempuan Bersekolah” yang dimuat dalam majalah Asjsjaraq pada tahun 1926. Tulisan tersebut lahir setelah Selasih menjadi seorang guru dan timbul atas keresahan pentingnya mencari pengetahuan bagi perempuan untuk bekal hidupnya kelak. Dengan kata lain, Selasih menggambarkan dunia idealnya melalui Kalau Tak Untung, yakni dunia di mana perempuan bisa memperoleh pendidikan.
ADVERTISEMENT
Terdapat banyak isu atau permasalahan dalam karya sastra yang dapat memantik diskursus menarik, di antaranya adalah persoalan gender. Sebagai produk budaya yang dapat dijadikan atribut menyuarakan hak-hak perempuan, kehadiran karya sastra menjadi medium informasi bagi para pembaca untuk mengetahui bentuk-bentuk upaya melemahkan perempuan sebagai individu di dalam masyarakat.
Sebab seperti yang telah kita ketahui bahwa terdapat konstruksi dominan dalam masyarakat di mana peran laki-laki dan perempuan kerap ditempatkan pada posisi berbeda. Perempuan seringkali mendapatkan pembatasan-pembatasan pada ranah kehidupan tertentu.
Novel Kalau Tak Untung sendiri terdiri dari 156 halaman dengan dua puluh bagian cerita. Balai Pustaka mengungkapkan Kalau Tak Untung karya Selasih merupakan salah satu karya sastra Indonesia lama yang jumlahnya sangat sedikit. Balai Pustaka mengganti ejaan aslinya atau ejaan lama ke ejaan yang sudah dibakukan pada cetakan kesembilan yakni pada tahun 1987. Penggantian ejaan tersebut dilakukan agar generasi muda lebih mudah membacanya. Namun, keaslian karya sastra tersebut tetap dipertahankan.
ADVERTISEMENT
Kalau Tak Untung bercerita tentang seorang perempuan bernama Rasmani yang terlahir dari keluarga miskin. Kedua orang tuanya mendorong Rasmani mengenyam pendidikan demi mengangkat derajat keluarga. Rasmani kemudian menjadi bagian dari daftar orang-orang yang akan menggantikan guru sekolah desa di Kototou sampai kemudian ia menjadi seorang guru di sekolah negeri.
Sementara itu, Rasmani memiliki sahabat karib sejak sekolah dasar bernama Masrul. Perasaan Rasmani terhadap Masrul kian lama tumbuh menjadi perasaan cinta sehingga ketika Masrul pergi merantau ke Painan untuk bekerja, Rasmani dilanda kesedihan yang bertubi-tubi.
Tidak sampai di situ saja, perjodohan dan pertemuan Masrul dengan perempuan-perempuan lain membuat hatinya kian sedih. Namun, hingga akhir cerita kita dapat melihat bagaimana Rasmani tetap berpegang teguh pada akal sehatnya meski Masrul berulang kali menggoyahkannya.
ADVERTISEMENT
Rasmani dan Upaya Menjadi Individu yang Utuh
Konstruksi sosial berkenaan dengan gender yang hadir dalam masyarakat Indonesia cenderung menyudutkan perempuan. Paradigma gender yang berpihak pada maskulinitas telah memenjarakan kaum perempuan selama berabad-abad. Perempuan seringkali mendapatkan pembatasan-pembatasan dalam kehidupan sosialnya, begitu juga Rasmani, sang tokoh utama dalam Kalau Tak Untung.
Rasmani dan juga Dalipah (Kakak Rasmani) kerap mendapat pembungkaman oleh harapan-harapan stereotip mengenai perempuan. Misal saja pada bagian-bagian awal novel, kita dapat menjumpai betapa orang tua Rasmani mendapat celaan lantaran Rasmani pergi ke sekolah, alih-alih ke sawah atau ladang.
Kutipan novel yang menunjukkan perilaku tersebut terdapat pada bagian ini:
ADVERTISEMENT
Memperlihatkan bahwasannya pergi bersekolah, membaca, dan menulis seperti yang dilakukan Rasmani dan Dalipah tidaklah berarti apa-apa jika ia tak memiliki rupa yang elok dan tidak berharta. Seolah-olah apa yang dimiliki perempuan pada akhirnya merupakan usaha menyenangkan laki-laki, bukan untuk dirinya sendiri.
Selanjutnya pada kutipan teks lain disebutkan bahwa ibu Rasmani pernah diejek orang kampung hanya karena Dalipah belum juga kawin saat usianya telah menginjak tujuh belas tahun.
Kalimat “dikatakan orang ia anak dara tua itu” merujuk pada ejekan dara tua atau perawan tua untuk perempuan belum menikah di usianya yang sudah dianggap dewasa. Pelabelan yang disematkan pada perempuan yang belum menikah dapat mengerdilkan, membatasi, dan menyulitkan kaum perempuan. Peranan dan posisi perempuan dalam masyarakat dimaknai oleh bentuk nilai dan norma yang secara langsung diciptakan oleh budaya patriarki.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, Rasmani tidak serta merta menerima begitu saja pemaknaan perempuan berdasarkan sudut pandang patriarkis terhadapnya. Alih-alih begitu, Rasmani berusaha menjadi manusia utuh yang menjalani kehidupan sesuai dengan kehendaknya. Melalui pendidikan, Rasmani berupaya mendobrak batas-batas menjadi “perempuan” seharusnya menurut masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukannya adalah dengan bersekolah atau mengenyam pendidikan.
Upayanya tersebut didukung atau selaras dengan keinginan orang tua Rasmani untuk anak-anaknya. Bahkan terdapat pula orang yang heran lantaran Rasmani dan Dalipah memiliki pendidikan yang baik. Upaya selanjutnya adalah diceritakan bahwa Rasmani telah menjadi bagian dari daftar orang-orang yang akan menggantikan guru sekolah desa di Kototou.
Rasmani berada di urutan ketiga setelah Rahman. Dengan kata lain, Rasmani telah turut serta memiliki pendapat dan cara seperti laki-laki di mana ia bersama Rahman sama-sama memperebutkan posisi menjadi guru di desa Kutotou.
ADVERTISEMENT
Rasmani juga mengikuti ujian guru pada sekolah Gubernemen dan berkeinginan memiliki gaji yang lebih besar untuk membiayai diri dan keluarganya. Upaya-upaya yang dilakukan Rasmani tersebut merupakan usaha menunjukkan eksistensinya di ruang publik. Dengan kata lain, ia tengah menegaskan statusnya sebagai subjek yang menentukan arah dan nasib hidupnya sendiri.
Lebih jauh daripada itu, Rasmani juga membongkar pelabelan yang selama ini dikaitkan dengan perempuan. Pelabelan bahwa perempuan itu tidak berdaya, inferior, lemah, serta lebih mengutamakan perasaan.
Terlihat bahwa meskipun Rasmani mencintai Masrul, ia tidak begitu saja menerima ajakan kembali berhubungan saat Masrul masih memiliki istri. Rasmani memberikan batasan yang jelas, ia mengutarakan keputusan yang dipikirkannya dengan matang-matang dan rasional. Bukan keputusan yang berdasarkan ego semata.
ADVERTISEMENT
Meski perjuangan kebebasan terhadap belenggu perempuan masih berlangsung hingga saat ini, kita dapat melihat bagaimana semangat tersebut masih dan akan terus digalakkan dari dulu hingga sekarang. Maka apa yang dilakukan Rasmani untuk dirinya sendiri merupakan upaya pemaknaan diri yang utuh, diri yang tidak terbelenggu oleh nilai-nilai yang melemahkan perempuan.