Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
4 Ramadhan 1446 HSelasa, 04 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Perempuan Afghanistan: Dampak Kebijakan Taliban dalam Perspektif Feminisme
3 Maret 2025 17:09 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Michelle Virlyzia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Kasus yang dialami oleh perempuan Afghanistan menarik perhatian dunia internasional karena kebijakan Taliban, terutama pada kebijakan yang melanggar hak asasi pada perempuan. Sejak Taliban kembali berkuasa, perempuan tidak hanya gagal memperoleh kebebasan tetapi justru menghadapi kondisi yang semakin memburuk. Oleh sebab itu, kebijakan Taliban membuat masyarakat di dunia menaruh simpati terhadap perempuan di Afghanistan ini. Sebelum Taliban berkuasa pada Tahun 2021, perempuan pun telah mengalami tekanan sosial. Dengan kekuasaan Taliban itu tidak memperbaiki kondisi perempuan, melainkan mendorong mereka ke puncak penderitaan.
ADVERTISEMENT
Taliban berhasil merebut kembali kekuasaan setelah invasi Amerika Serikat pada tahun 2021 serta Amerika Serikat menarik pasukannya. Amerika melakukan invasi tersebut dikarenakan Taliban enggan menyerahkan Osama Bin Laden yang merupakan dalang dari terjadinya kasus terorisme pada 11 September 2001. Kembalinya Taliban berkuasa tidak hanya mengubah politik, tetapi juga memicu krisis ekonomi yang dalam.
Kemiskinan yang melanda Afghanistan ini berdampak pada 90% populasi dari negara itu, dan diperkirakan hampir 19 juta orang mengalami krisis pangan. Sehingga, karena krisis ini menimbulkan 183 pernikahan dini dan 10 kasus penjualan anak usia 6 bulan - 17 tahun. Diperkirakan sekitar 28% perempuan di Afghanistan menikah sebelum usia 18 tahun.
Dalam perspektif feminisme, hal ini menunjukan bukan hanya akibat kemiskinan tetapi juga cara untuk patriarki yang menjadikan perempuan sebagai alat yang dapat diperdagangkan melalui mahar pernikahan dan penjualan secara langsung untuk membantu ekonomi keluarga, serta laki-laki menunjukan secara tegas kontrol mereka terhadap perempuan. Hal inipun mempertegas subordinasi yang dialami oleh perempuan, bahkan perempuan ini tidak punya hak atas tubuh mereka lagi dan keputusan hidup mereka
ADVERTISEMENT
Pendidikan membekali generasi untuk meningkatkan kesejahteraan negara. Namun, Afghanistan menjadi satu-satunya negara yang melarang perempuan di atas 12 tahun mengakses sebagian besar pendidikan formal, mencabut hak dasar mereka dan menyingkirkan mereka dari ruang publik.
Diperkirakan sekitar 2.5 juta anak perempuan Afghanistan ini kehilangan hak dasar mereka untuk bersekolah. Hal ini memperkuat struktur patriarki dengan membatasi perempuan. Dampaknya tidak hanya hilang harapan, tetapi juga trauma psikologis karena penyangkalan identitas dan potensi mereka.
Walaupun kenyataanya anak-anak yang berusia dibawah 12 tahun masih diizinkan untuk bersekolah akan tetapi, setelah mereka berusia diatas 12 Tahun mereka sudah tidak diperbolehkan untuk mengakses pendidikan yang lebih tinggi. Oleh sebab itu murid yang mendaftar untuk bersekolah mengalami penurunan drastis pada tahun 2022 yang diperkirakan sekitar 5.7 juta anak laki-laki dan perempuan yang ada pada sekolah dasar, dibandingkan pada tahun 2019 sekitar 6.8 juta.
ADVERTISEMENT
Krisis ekonomi dan pendidikan memperparah subordinasi perempuan sehingga mendorong praktik pernikahan dini yang dapat merenggut masa depan mereka. Karena dengan adanya pernikahan dini pihak keluarga akan diberikan mahar, maka mahar tersebut dapat menunjang kehidupan mereka secara sementara. Namun, dari pernikahan dini ini dapat meningkatkan resiko terjadinya seperti kekerasan dalam rumah tangga sebagai dampak dari pernikahan dini pada anak. Tentunya jika hal ini terjadi akan ada trauma yang dapat membekas lama.
Taliban melarang bagi perempuan untuk bekerja di LSM dan di bagian pemerintahan terutama jabatan tingkat tinggi. Namun, untuk beberapa sektor tetap diperbolehkan dengan syarat-syarat yang ketat. Secara implisit kebijakan Taliban ini menguak sistem partriarki lebih dalam. Dalam pandangan Feminisme, larangan ini bukan hanya sebagai pembatas perempuan untuk bekerja mencari uang, tetapi juga simbolik mempertahankan struktur dimana perempuan ini dibuat untuk memiliki ketergantungan terhadap peran laki-laki. Sistem patriarki memanfaatkan hal ini sebagai alat memperkuat kontrol mereka terhadap perempuan dan memastikan agar perempuan ini terkurung didalam ranah mereka. Patriarki ini tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga menghambat kemajuan Afghanistan.
ADVERTISEMENT
Padahal jika Taliban mengizinkan perempuan untuk bekerja di sektor pemerintahan, Afghanistan berpeluang meningkatkan ekonominya dan mengurangi tingkat krisis pangan.
Tentunya dari tekanan-tekanan ini membuat perempuan disana seolah-olah tidak bisa bergerak. Kebijakan Taliban menciptakan tekanan psikologis mendalam bagi perempuan. Dengan gejala seperti depresi, kecemasan, hingga adanya dorongan untuk bunuh diri akibat dari hilangnya harapan akan masa depan. Dari sudut pandang feminisme, dampak ini mencerminkan bagaimana sistem patriarki dapat mengontrol tubuh dan pikiran perempuan melalui larangan pendidikan, pembatasan sektor kerja, dan menjadikan perempuan ini seperti tahanan yang ada dalam sistem yang sudah dirancang oleh Taliban untuk membungkam suara dan hak mereka.
Melihat kebijakan-kebijakan yang merugikan bagi perempuan ini, para aktivis perempuan di Afghanistan tidak tinggal diam, mereka berunjuk rasa menuntut pangan, pekerjaan, serta kebebasan. Alih-alih memenuhi semua tuntutan itu respon Taliban malah dengan cara kekerasan, penyiksaan, dan ancaman penyitaan harta keluarga untuk membungkam jika para aktivis ini ingin melakukan unjuk rasa lagi. Respon Taliban ini menegaskan upaya mereka untuk mempertahankan dominasi.
ADVERTISEMENT
Melihat kondisi-kondisi terhadap perempuan dan anak disana sangat memprihatinkan, banyak bantuan dari luar Afghanistan untuk mereka. Salah satunya adalah bantuan dari Medecins Sans Frontieres berupa penyediaan layanan kesehatan ibu dan bayi yang baru lahir, pengobatan malanutrisi, serta perawatan trauma.
Dalam pandangan feminisme setelah melihat kebijakan-kebijakan dan dampaknya adalah bahwa kekuasaan yang ada ini berlaku tidak adil terhadap perempuan, Taliban dan para laki-laki di Afghanistan seolah-olah memakai kondisi ini sebagai alat untuk memperkuat sistem subordinasi perempuan, yang tidak hanya membuat perempuan merasa dinomorduakan melainkan juga dapat berbuat sewenang-wenang terhadap perempuan.
Masyarakat tidak memperhatikan akar permasalahan yaitu, dimana pola yang selalu menempatkan perempuan diposisi yang lemah, siapapun yang memerintah sering kali melakukan pola ini. Bantuan kemanusiaan dari luar tidaklah cukup, tetapi juga harus mendesak Taliban agar perempuan diberi kesempatan. Tanpa tindak tegas, tidak akan mengubah keadaan perempuan Afghanistan.
ADVERTISEMENT