news-card-video
14 Ramadhan 1446 HJumat, 14 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Katastrofi Ekologis: Harga dari Demokrasi yang Ugal Ugalan

Miftahul Arifin
Koordinator Nasional Kawal Pemilu dan Demokrasi (KPD)
13 Maret 2025 11:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Miftahul Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto : ANTARA /Bayu Pratama S/tom.
zoom-in-whitePerbesar
Foto : ANTARA /Bayu Pratama S/tom.
ADVERTISEMENT
Wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Karawang) mengalami banjir besar. Dalam perspektif filosofis dan ekologis, banjir mencerminkan mekanisme kosmik yang terusik akibat ulah manusia yang tidak selaras dengan alam.
ADVERTISEMENT
Dalam literatur budaya dan kepercayaan, air merupakan simbol pembersihan dan pembaruan. Sedangkan banjir sering kali dipahami sebagai peringatan bahwa manusia telah melampaui batas keseimbangan, alam sedang mencari cara untuk mengembalikan harmoninya.
Karena kejadian itu, empat wisata di kawasan Puncak Bogor disegel pemerintah karena dianggap melanggar ketentuan lingkungan hingga menyebabkan kerusakan dan biang banjir di Jabodetabek. Keempat bangunan wisata yang disegel antara lain, pabrik teh atau PT Perusahaan Perkebunan Sumber Sari Bumi Pakuan (PPSSBP), PTPN I Regional 2 Gunung Mas, PT Jaswita Jabar (Hibiscus Park), dan jembatan gantung Eiger Adventure Land, Megamendung.
Aktifitas ekstraktif telah menyebabkan rusaknya ekologi, hutan menyusut sehingga mengganggu keseimbangan alam yang telah terbentuk selama ribuan tahun. Hal ini tentu menjadi ancaman bagi kehidupan manusia. Ekosistem yang rusak akan membawa dampak semakin luas, dari krisis iklim hingga bencana alam.
ADVERTISEMENT
Disadari atau tidak, saat ini sistem ekonomi Indonesia masih mengikuti model lama dan sudah usang “business as usual” yang dibangun berdasarkan pola ekstraktif dengan mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan keseimbangan ekologis, dengan memberikan prioritas pada keuntungan ekonomi jangka pendek.
Demokrasi memberikan kebebasan kepada individu dan kelompok untuk melakukan berbagai aktivitas ekonomi, namun ketidaktegasan regulasi dalam sistem demokrasi acapkali merusak lingkungan sehingga merugikan masyarakat dan mempercepat kepunahan spesies alam.
Demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan, idealnya menjadi instrumen untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan.
Namun dalam praktiknya, demokrasi sering kali gagal mencegah katastrofi ekologis akibat dominasi kepentingan ekonomi, eksploitasi sumber daya alam, dan lemahnya penegakan hukum lingkungan.
ADVERTISEMENT
Merujuk data IPBES (Intergovernmental Platform on Biodiversity and Ecosystem Services) 2018 sebuah badan antar pemerintah independen yang berfokus pada keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem. Menyebutkan Indonesia setiap tahunnya kehilangan hutan seluas 680 ribu hektar, dan merupakan terbesar di region asia tenggara.
Data lain menunjukkan selama periode 2017 hingga 2018, telah terjadi peningkatan jumlah korban bencana, dari yang sebelumnya sebanyak 3.49 juta orang menjadi 9.88 juta orang, jumlah itu naik hampir tiga kali lipat. Ini fakta dari praktik ekosida penghancurann lingkungan yang mengabaikan tata ruang dan lingkungan hidup. Segelintir korporasi yang menguasai jutaan hektar lahan terbukti memperparah intensitas bencana di Indonesia.
Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 4 menyebutkan secara jelas bahwa, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
ADVERTISEMENT
Pasal 33 Ayat 4 ini menjadi landasan konstitusional untuk mencegah katastrofi ekologis jika diterapkan secara konsisten dalam kebijakan ekonomi nasional. Dengan prinsip keberlanjutan dan wawasan lingkungan. Setiap kebijakan ekonomi yang diambil harus memperhitungkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan, tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi jangka pendek.
Sebuah tawaran peta jalan demokrasi ideal yang berisi keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan keseimbangan ekologis untuk menghadirkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi ditengah masyarakat. Di sini demokrasi diletakkan untuk memproduksi dan menghasilkan kebijakan pembangunan yang seimbang dan berkelanjutan.
Sistem demokrasi semacam ini sesungguhnya menempatkan kepentingan manusia (antroposentrisme) untuk bersanding dan selaras dengan kepentingan lingkungan (non-antroposentrime). Dengan demikian, sistem demokrasi diharapkan dapat mendukung sekaligus berorientasi pada kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup.
ADVERTISEMENT
Karena persoalan lingkungan tidak ansih sekadar problem intrinsik lingkungan, namun juga berkelindan dengan politik dan demokrasi. Politik memiliki peran krusial dalam mencegah atau memperburuk katastrofi ekologi. Prinsipnya adalah bagaimana membingkai lingkungan hidup dalam teleologis berdemokrasi.
Menurut Pickering et.al, konsep demokrasi ekologi dan lingkungan berupaya untuk mendamaikan dua cita-cita normatif, yakni memastikan kelestarian lingkungan sekaligus menjaga demokrasi. Dalam studi Pickering, Bäckstrand, Schlosberg dikenal dengan istilah planetary democracy (demokrasi planet).
Demokrasi tidak hanya soal mekanisme politik, tetapi juga soal nilai dan arah yang ingin diwujudkan dalam kehidupan bernegara. Demokrasi bukan hanya sekadar prosedur politik seperti pemilu dan pergantian kekuasaan, tetapi memiliki arah dan tujuan tertentu yang ingin dicapai, seperti keadilan, kesejahteraan, kebebasan, atau keberlanjutan ekologi.
ADVERTISEMENT