Konten dari Pengguna

Revisi UU Pemilu dan Urgensi E-Vote

Miftahul Arifin
Koordinator Nasional Kawal Pemilu dan Demokrasi (KPD)
9 April 2025 9:43 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Miftahul Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
zoom-in-whitePerbesar
ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
ADVERTISEMENT
Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Revisi ini bertujuan mencari solusi terhadap pelaksanaan pemilu yang rumit dan memakan biaya cukup tinggi, serta banyaknya gugatan hukum yang muncul setelah pemilu.
ADVERTISEMENT
Selama ini kompleksitas aturan yang ada seringkali membuat proses demokrasi membingungkan sehingga dalam pelaksanaannya sangat rumit. Revisi ini sangat diperlukan untuk memastikan pemilu lebih efisien, transparan, adil dan modern. Revisi ini diharapkan dapat mempertegas aturan pelaksanaan pemilu serta operasionalnya untuk memulihkan kredibilitas dan integritas proses pemilu.
Oleh karena itu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku mandatoris rakyat untuk membuat undang-undang harus didorong dan berani melakukan reformasi pemilu, termasuk didalamnya mulai beralih menggunakan teknologi digital (e-vote). Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia sudah saatnya Indonesia mulai beralih dari sistem konvensional ke sistem digital.
Jika dunia bisnis mampu dan adaptif terhadap perubahan teknologi dalam mendukung tumbuh kembang bisnisnya. Maka bukan tidak mungkin juga dalam perkembangan sistem pemilu di Indonesia mulai beralih menggunkan teknologi. Proses digitalisasi merupakan salah satu keharusan yang perlu dilakukan dalam rangka menguraikan proses pemilu yang rumit.
ADVERTISEMENT
Teknologi e-vote sendiri adalah teknologi pemilu yang langsung, umum, bebas, jujur, dan adil (Luber Jurdil). Mulai dari pembuatan surat suara, pemungutan suara, penghitungan, rekapitulasi, dan penayangan hasil otomatis secara elektronik. E-vote Sudah tidak tergantung pada kotak suara, kertas, tinta, dan penghitungan manual.
Profesor I Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa, dalam orasi ilmiahnya yang berjudul "Kedaulatan Rakyat dan Pemilu Antara Legitimasi dengan Digitalisasi", menyebut tantangan dalam sistem pemilu saat ini, salah satunya terkait masalah biaya yang tinggi serta potensi kecurangan seperti politik uang. Atas permasalahan ini, ia mengusulkan penggunaan sistem e-vote sebagai solusi untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pemilu.
Para pegiat demokrasi dan pemilu menilai, sistem pemilu yang ada saat ini tentunya banyak kekurangan dan celah-celah yang sangat memungkinkan untuk dapat dimemanfaatkan oleh banyak pihak, misalnya seperti penggelembungan suara atau politik uang. Memang pelaksanaan pemilu yang kita rasakan bersama agak rumit dan menyita waktu lama serta memakan pembiayaan yang mahal.
ADVERTISEMENT
Namun jika pemilu menggunakan e-vote peluang manipulasi akan semakin sulit karena sistemnya lebih transparan dan otomatis, dan hasil bisa langsung diketahui dalam hitungan jam atau real time.
Urgensi Pemilu Digital
Pemanfaatan teknologi dalam sisten pemilu merupakan bagian dari upaya meningkatkan mutu dari demokrasi, karena ini akan meminimalisir berbagai macam kekurangan dalam sistem pemilu konvensional, seperti kecurangan dan biaya politik yang sangat tinggi. Pemilu digital akan meminimalisir manipulasi suara, dan kesalahan dalam rekapitulasi. Serta ditopang proses penghitungan suara yang cepat, akurat, transparan dan mudah diaudit.
Yang tak kalah penting jika menggunakan sistem pemilu digital atau e-vote akan lebih meningkatkan partisipasi pemilih karena dapat memudahkan pemilih di luar negeri atau daerah terpencil untuk memberikan suara tanpa harus hadir secara fisik. Serta dapat mengurangi beban kerja dan risiko kelelahan berlebihan.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini pemerintah bisa menerapkan teknologi blockchain dalam sistem pemilu. Teknologi ini diyakini mampu mengurangi potensi kecurangan dan memperkuat sistem keamanan dalam sistem pemilihan umum. Salah satu keunggulan utama blockchain adalah sifatnya yang desentralisasi dan tidak mudah diubah, sehingga setiap suara yang masuk akan terekam dengan jelas dan tidak bisa dimanipulasi.
Negara seperti India dan Brasil, telah menerapkan sistem e-vote dengan berbagai model. Di India menggunakan Electronic Voting Machine (EVM) menggantikan kertas. India membuktikan bahwa e-vote bisa diterapkan dalam skala besar, terbukti efisien dan sulit dimanipulasi. Sementara Brazil menggunakan sistem e-vote berbasis Direct Recording Electronic (DRE) di seluruh pemilu, dengan adanya sistem ini pemilu di Brazil dalam hitungan jam sudah bisa diketahui hasilnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu jika menggunakan e-vote dinilai akan menekan atau menghemat biaya penyelenggaraan pemilu. Data menunjukkan bahwa anggaran pemilu setiap tahunnya terus meningkat. Pemilu 2014: Rp 21,7 triliun, Pemilu 2019: Rp 24,8 triliun, dan Pemilu 2024: Rp 71,3 triliun.
Politisi Partai Golkar Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan digitalisasi pemilu merupakan salah satu solusi untuk menghemat anggaran pemilu. Menurutnya Kunci menghemat anggaran pelaksanaan pemilu dan pilkada adalah digitalisasi. Semua kegiatan perlu menggunakan cara digital baik persiapan, tahapan, pelaksanaan, pemungutan maupun rekapitulasi.
Sebenarnya adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 147/PUU-VII/2009 telah memperbolehkan penggunaan e-vote, asalkan memenuhi sejumlah syarat, seperti tetap menjaga asas langsung, umum, bebas, jujur, dan adil (luber-jurdil).
Melalui putusan ini Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sejak 2010 telah mengembangkan aplikasi untuk pemilu elektronik atau e-vote. Dari tahun 2013 hingga 2023 praktik e-vote sudah pernah dilakukan pada beberapa wilayah di Indonesia dalam lingkup kecil. e-vote telah diimplementasikan untuk pilkades lebih dari 1.700 desa yang tersebar di 27 kabupaten dan 15 provinsi serta melibatkan 4 juta pemilih.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya secara bertahap sudah sangat memungkinan Indonesia merealisasikan e-vote dalam sistem pemilu. Penerapan e-vote bisa dengan metode hybrid, dapat dilaksanakan untuk daerah ibu kota Provinsi yang dari segi Sumber Daya Manusia (SDM) dan Infrastruktur telah memadai. Sedangkan pada daerah yang belum memadai secara infrastruktur, dapat menggunakan metode konvensional. Hal ini juga dapat menjadi masa transisi dari pemilu konvensional ke digital.
Disini tinggal bagaimana negara berperan aktif dalam memberikan panduan, regulasi, dan infrastruktur yang mendukung pemilu digital. Penerapan pemilu digital bisa menjadi langkah maju dalam sistem demokrasi Indonesia.
Tantangan Pemilu Digital
Dunia senantiasa bergerak secara dinamis, khususnya dalam hal teknologi. Semua proses mekanik yang menandai awal revolusi industri, saat ini bergerak menuju proses otomatisasi berbasis internet dan siber. Hal ini yang kemudian menandai era yang dinamakan era revolusi 4.0, yang ditandai dengan berbagai hal, seperti: keterhubungan dan kesesuaian antara mesin, sensor dan manusia melalui internet untuk segala hal (Internet of Things), keputusan mandiri dari sistem dengan perkembangan sistem cerdas, keterbukaan informasi dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Transformasi digital ini melaju begitu cepat di semua sektor, berbagai negara telah beralih ke sistem digital untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi, termasuk juga dalam sistem Pemilu. Proses digitalisasi merupakan salah suatu keharusan yang perlu dilakukan dalam rangka mempersiapkan pemilu yang lebih demokratis dan modern. Menuntut adanya inovasi proses pemilu berbasis digital dan internet sehingga bisa berjalan efektif dan efisien.
Namun menghadirkan pemilu digital memiliki tantangan dan konsekuensi tersendiri, baik ditinjau dari segi politik maupun non politik. Dari sisi politik, mungkin beberapa partai politik atau kelompok tertentu menolak sistem e-vote karena bisa merubah landskap politik dan elektoral.
Mereka yang diuntungkan oleh sistem konvensional mungkin merasa e-vote bisa merugikan karena memungkinkan terjadinya perubahan peta elektotral. Memungkinkan partisipasi politik yang lebih inklusif dan memperkuat suara masyarakat dari berbagai latar belakang.
ADVERTISEMENT
Sedangkan aspek non politik, hingga kini belum semua wilayah di Indonesia tersentuh oleh jaringan internet. Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sebanyak 40 persen wilayah Indonesia, belum terkoneksi jaringan internet. Data tersebut didapat dari adanya pengukuran Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) tahun 2024.
Sementara Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengungkap bahwa jumlah penduduk Indonesia yang masih belum tersentuh internet pada 2024 ada sebanyak 57 juta jiwa. Hal tersebut terungkap dalam laporan 'Survei Penetrasi Internet Indonesia 2024' yang rilis Rabu (31/1/2024).
Tantangan berikutnya, manakala sistem e-vote diterapkan, ia bukan hanya harus mampu memenuhi kebutuhan efisiensi, tetapi juga tuntutan jaminan keamanan sehingga keandalan sistem tidak terganggu. Kuncinya disini adalah keseimbangan antara inovasi teknologi dan jaminan integritas pemilu.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari itu semua, demokrasi itu harus beradaptasi dengan perkembangan zaman. Pemilu digital bisa jadi langkah awal menuju sistem politik yang lebih terbuka, inklusif, dan berbasis data. Sebab itu Indonesia sudah harus berani beralih dari sistem pemilu konvensional ke sistem pemilu digital. Karena secara SDM Indonesia sudah cukup mumpuni untuk melakukan perubahan itu, tinggal bagamana political will pemerintah untuk mewujudkannya.