Konten dari Pengguna

Feminisme dan Kaitannya dengan Toxic Maskulinitas di Indonesia

Mikorizki Saputra
Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Pamulang
13 Oktober 2022 21:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mikorizki Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
pict by pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
pict by pixabay.com
ADVERTISEMENT
Di tengah maraknya gerakan feminisme, terdengar pula suara terkait gerakan anti toxic maskulinitas. Kata Toxic sendiri berasal dari bahasa Inggris yang berarti racun. Sementara kata maskulinitas merupakan istilah yang juga berasal dari bahasa Inggris yang memiliki arti kejantanan. Toxic maskulinitas merupakan suatu tekanan atau budaya yang harus dimiliki oleh kaum pria sebagai bentuk standard berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Seorang psikolog bernama Sheperd Bliss mengemukakan bahwa maskulinitas terbagi menjadi dua aspek, yaitu aspek positif dan negatif. Aspek negatif inilah yang disebut sebagai toxic maskulinitas. Dimana seorang laki-laki dituntut harus kuat, pantang mengeluh, dan tidak boleh menunjukkan ekspresi emosionalnya. Toxic maskulinitas ini yang hendak dilawan oleh gerakan feminisme di Indonesia.
Pada budaya masyarakat Indonesia khususnya, toxic maskulinitas sudah ditanamkan sejak dini. Konsep tersebut terdiri dari beberapa karakter yang harus dimiliki. Pertama, menjauhi sikap feminim, atau secara istilah yang berarti “lembut”, seorang lelaki dituntut harus agresif, dan keras. Kedua, lelaki harus tabah, artinya tidak mudah menerima bantuan orang lain, segala sesuatu harus mampu dihadapi dan diselesaikan sendiri. Ketiga, lelaki harus kuat, kuat yang dimaksud yaitu bukan hanya secara fisik, lelaki dituntut untuk mampu kuat secara batin atau paling tidak, haram hukumnya bagi lelaki untuk menangis. Tindakan diatas merupakan gambaran negatif akibat perasaan yang timbul dari toxic maskulinitas.
ADVERTISEMENT
Dampak dari perilaku diatas dapat membuat korban toxic maskulinitas mendapat tekanan baik dari kaum laki-laki itu sendiri ataupun masyarakat. Selain itu, laki-laki menjadi lebih rentan stress akibat seringnya menahan sendiri banyaknya tuntutan dari masyarakat. Padahal seharusnya kunci kesehatan mental adalah pentingnya mengomunikasikan pikiran dan perasaan secara tepat.
Dilansir dari katadata.co.id, laporan Bank Dunia mencatat rasio 2,4 per 100.000 penduduk Indonesia melakukan bunuh diri setiap tahunnya. Rasio ini bahkan cenderung stabil sejak tahun 2014 hingga 2019. Bahkan pada tahun 2020 tingkat bunuh diri mencapai 3,5 per 100.000 penduduk. Berdasarkan fakta di lapangan, tingkat bunuh diri oleh laki-laki di Indonesia lebih tinggi dibanding perempuan yakni mencapai 3,7 per 100.000 penduduk, jauh lebih tinggi dari tingkat bunuh diri perempuan yang hanya sebesar 1,1 per 100.000 penduduk.
ADVERTISEMENT
Benny Prawira Siauw selaku pendiri Into The Light Indonesia menjelaskan bahwa umumnya tindakan bunuh diri dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti biologis, psikologis, bahkan sosial. Faktor biologis dan psikologis biasanya dipengaruhi oleh kondisi genetik, struktur otak, serta ketidakmampuan mengatur perasaan stress. Sedangkan faktor sosial berasal dari pengalaman perundungan (bullying), diskriminasi, kondisi keluarga, serta ketidakmampuan untuk bercerita atau menyampaikan perasaan secara tepat.
Selain dampak negatif terhadap laki-laki, toxic maskulinitas juga mengancam keselamatan dan kesejahteraan perempuan. Akibat adanya toxic maskulinitas yang mengharuskan laki-laki bersifat kuat, hal tersebut secara tidak langsung dapat menumbuhkan rasa dominan pada laki-laki terhadap perempuan.
Hal tersebut jelas tidak bisa dibenarkan, apalagi baik laki-laki ataupun perempuan kita sama-sama memiliki hak yang setara dalam mengekspresikan diri, baik itu dalam berkarakter ataupun dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana yang sedang hangat dibicarakan oleh masyarakat Indonesia belakangan ini. Mulai dari isu perselingkuhan, hingga KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang terjadi di kalangan artis Ibu kota. Dari permasalahan KDRT misalnya, terlihat jelas masih terdapat produk toxic maskulinitas yang diterapkan. Pihak suami yang seharusnya dapat memberikan kebahagiaan dan perlindungan kepada istri dan keluarganya, justru menjadi pelaku tindak kekerasan. Hal ini menggambarkan dengan jelas bahwa masih banyak orang yang tidak mampu dan menyalahgunakan wewenang sebagai kepala keluarga untuk tindakan yang menyimpang.
Perilaku diatas jelas tidak dapat dibenarkan, apapun alasannya. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan dan pemahaman terkait tugas seorang suami yang tugasnya sebagai “kepala keluarga” yang sikap dan perilakunya harus dapat memberikan contoh dan tuntunan bagi istri serta anaknya. Bukan malah menyalahgunakan sikap dominan tersebut untuk melakukan tindakan yang justru membahayakan keluarganya.
ADVERTISEMENT
Untuk menumpas kebudayaan toxic maskulinitas, menurut Nur Hasyim ada beberapa hal yang harus diusut, yaitu keyakinan dan praktek toxic maskulinitas, relasi patriarkis/seksis, rezim institusi sosial patriarkis/seksis, dan tatanan sosial patriarkis/seksis.
Pertama, Keyakinan dan praktik toxic maskulinitas. Kita sebagai masyarakat pada umumnya harus diberikan pengetahuan lebih terkait bahaya toxic maskulinitas, dan mulai mencegah secara bertahap terkait bahaya perilaku toxic maskulinitas sejak dini.
Kedua, Relasi Patriarki/Seksis. Patriarki sendiri merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai otoritas utama dalam penempatan kehidupan sosial. Sementara Seksis adalah prasangka atau anggapan bahwa salah satu jenis kelamin lebih tinggi atau lebih baik kedudukannya. Relasi keduanya haruslah mulai dibenahi secara berkala hingga ke akarnya. Semua manusia memiliki kedudukan yang sama untuk memperoleh hak kehidupan yang setara, dan hal tersebut tidak ditentukan oleh jenis kelamin.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Rezim institusi sosial patriarki/seksis. Hal ini berkaitan perlunya ruang bicara antara masyarakat dengan institusi sosial terkait yang menangani secara langsung. Sebab di masa sekarang masih banyak tindakan patriarki yang justru turut “didukung” oleh pihak institusi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Keempat, Tatanan sosial patriarki/seksis. Tatanan sosial ini jelas yang paling sulit untuk diubah. Apalagi budaya patriarki di masyarakat Indonesia sudah turut mengakar sejak nenek moyang. Sehingga, diperlukan kesadaran dari dalam diri masyarakat sendiri agar tatanana sosial terkait budaya ini bisa hilang atau paling tidak bisa berkurang. Hal ini jelas sangat penting, mengingat keselamatan masa depan 84,4 juta anak Indonesia dari stigma budaya patriarki/seksis, termasuk didalamnya toxic maskulinitas yang jika dibiarkan maka secara tidak langsung akan merusak generasi yang akan datang.
ADVERTISEMENT