Anak Skena Memang Eksklusif, tapi Gak Harus Pakai Kaos Band Melulu

1 Juli 2023 13:15 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pegiat skena musik independen di Indonesia. Foto:  Dok: Anggik Yoga Prayudha/Temarram
zoom-in-whitePerbesar
Pegiat skena musik independen di Indonesia. Foto: Dok: Anggik Yoga Prayudha/Temarram
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat kita mendengar skena apa yang kalian pikirkan? seseorang dengan gaya berambut pendek untuk perempuan, pakai kaos band, celana baggy, pakai sepatu docmart atau new balance? Bisa jadi memang itu anak skena musik independen. Tapi, belum tentu juga lho!
ADVERTISEMENT
Kata Sherina, penikmat musik independen dan sekaligus pelaku, dia gak selalu berpenampilan seperti itu. Baik saat sekadar nonton musik (gigs) ataupun manggung bareng Temarram nama band indie-nya.
"Gua pribadi cenderung bodo amat soal stereotipe anak-anak skena. 'Oh outfit lu anak skena banget', tapi gua nanggepinnya kaya as long as gua nyaman, pakai lifestyle gua kaya gitu, gua gak peduli. Mungkin mereka memang bukan jadi pelaku atau penikmat musik itu sendiri. Mungkin baru meraba di awal aja," jelas Sherina kepada kumparan, Selasa (26/7).
Pegiat skena musik independen di Indonesia. Foto: Dok: Anggik Yoga Prayudha/Temarram
Meski begitu, dia memang punya brand-brand fashion tertentu yang dipakai buat mendukung aksi panggungnya bersama Temarram, seperti sepatu Docmart atau baju-baju dari Sonderlab.
Gak cuma Sherina, penikmat skena musik indie seperti Iqbal, juga gak melulu pakai outfit seperti apa yang dilabelkan oleh banyak masyarakat belakangan ini. Namun, ada masanya Iqbal terpengaruh dengan style berpakaian band-band indie, seperti Blink yang pakai MacBeth Footwear sampai Skandal yang pakai Adidas Samba.
ADVERTISEMENT
"Dulu itu ada Macbeth brand Footwear gitu karena Blink sih. Itu dulu mahal banget waktu gua SMP. Ini sepatu sekarang Adidas Samba. Ini gara-gara band indie juga, Skandal. Vokalisnya pakai, keren juga ya," kata Iqbal.
Pegiat skena musik independen di Indonesia. Foto: Dok: Anggik Yoga Prayudha/Temarram
Sementara itu, Reki mengaku mulai aktif mendatangi festival musik sejak tahun 2012 atau ketika masih kuliah di Yogyakarta. Ia pun mengkoleksi baju-baju band. Satu kaos biasanya ia beli sekitar Rp 150 ribu.
"Sebenarnya agak malu juga sih kayak apa pakai kaos band saat dan yang manggung karena kan, ngerasa huh sih paling Morfem paling The Upstair gitu misalnya. Jadi malah dipakai main aja, main keluar nongkrong gitu," katanya.

"Labelling" Anak Skena dan Ekslusivitasnya

Istilah skena kian populer lantaran akhir-akhir ini muncul di fyp TikTok hingga reels Instagram.Pembahasannya mulai dari cara berpakaian hingga lifestyle mereka. Anak-anak skena yang dimaksud khususnya merujuk pada mereka pegiat di kancah musik band independen.
ADVERTISEMENT
Berbagai stereotipe memang seringkali pada komunitas tersebut. Bahkan ada yang menuding penyuka band indie adalah orang-orang hobi nongkrong dengan pekerjaan yang tak jelas.
Pengamat musik David Tarigan pun tak membantah soal labelling terhadap anak skena yang tengah ramai tersebut. Menurutnya, penikmat musik di ranah band independen awalnya memang ramai oleh para pengangguran yang tak jelas hidupnya.
"Anak muda yang belum menghasilkan macem-macem, pengangguran, hal-hal kayak gitu. Jadi yang dengerin ya memang begajulan sama aja kan. Jadi kalau ada kaya gitu scenester-nya (pegiat skena), ya memang scenester-nya kaya gitu yang dia yakini. Mau dia ga kerja, mau dia gak sekolah, mau dia gak ngapa-ngapain, dia ada di situ, karena dirinya diwakili. Dia ada di situ, karena dia harus ada di situ," kata David kepada kumparan, Rabu (28/6).
David Tarigan. Foto: Giovanni/kumparan
Sementara, terkait komunitas skena musik indie yang kerap dinilai terlalu eksklusif, David melihat fenomena sebagai hal yang lumrah. Apalagi di kalangan anak muda, sebab keinginannya yang masih menggebu-gebu dan ingin merasa spesial. Keinginan ini menjadi proses yang natural, terutama pada fase anak-anak muda.
ADVERTISEMENT
"(Skena) dari dulu memang seperti itu (eksklusif), mau di negeri mana pun pasti ada eksklusivitasnya. Kadang-kadang kan kaya bikin secret society, bikin seperti geng. Ini musik kita, itu musik kalian," tuturnya.
Hal senada juga disampaikan oleh seorang akademisi di bidang Filsafat yang juga memiliki ketertarikan terhadap musik, Syarif Maulana. Menurutnya, salah satu ciri khas dari komunitas adalah tertutup. Mereka dipersatukan dengan satu kesamaan.
Dosen Filsafat Unpar, Syarif Maulana. Foto: Instagram/@syarafmaulini
"Nomor satu ciri khas komunitas itu sebenarnya juga memang tertutup. Sebuah komunitas dipersatukan oleh suatu kesamaan, kesamaan apa pun yang biasanya lebih spesifik. Jadi memang komunitas itu pada hakekatnya tertutup. Dia pasti hanya ditunjukkan oleh segelintir orang yang punya satu kesamaan kesukaan terhadap sesuatu," jelas Syarif kepada kumparan, Rabu (28/6).
ADVERTISEMENT
"Nah jadi itu lumrah ketika ada orang yang merasa eksklusif dari skena atau merasa skena itu eksklusif. Karena memang begitu natural skena (sebagai komunitas), mereka harus menguatkan diri mereka sebagai kelompok, ya biar enggak banyak orang juga, mereka (yang ingin gabung) difilterisasi," sambungnya.