Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Dai Gaul, Gelombang Terkini Tren Muslim Milenial
18 Juni 2018 13:39 WIB
Diperbarui 21 Januari 2021 11:25 WIB
ADVERTISEMENT
Tahun 2010 bisa dibilang jadi momen lepas landas bagi generasi muslim baru di Indonesia. Agama kian dapat tempat penting dalam hati kaum muda. Tanda paling mudah bisa dilihat dari tren hijab yang meledak di panggung fesyen nasional.
ADVERTISEMENT
Menyusul setelahnya, tren hijrah oleh banyak artis dan muda-mudi lain. Mereka ingin mendekatkan diri kepada Tuhan. Maka, hijrah yang dimaknai sebagai ‘perubahan ke arah lebih baik’ pun jadi gaya hidup kekinian.
Belakangan, yang terkini dan tak kalah penting: kemunculan imam-imam muda atau dai gaul dari kalangan milenial. Menggunakan bahasa yang mudah dicerna, mengenakan pakaian kasual yang jauh dari sosok ustaz, dan memilih topik dakwah yang sehari-hari dekat dengan anak muda, membuat mereka jadi primadona baru generasi milenial.
Istilahnya, meminjam bahasa Ustaz Evie Effendie , ‘gapleh’ alias ‘gaul tapi saleh’.
Semua itu jadi bukti bahwa Islam bisa jadi bagian dari gaya hidup kekinian anak muda. Dan hal tersebut sudah diprediksi oleh Yuswohady, penulis buku #GenerationMuslim.
ADVERTISEMENT
Berikut petikan perbincangan kumparan dengan Yuswohady di Jakarta, Rabu (6/6).
Siapa yang masuk kategori muslim kekinian?
Muslim zaman kekinian itu yang universalis, (area) abu-abu antara universalis dengan konformis. Begitu juga kira-kira (dengan) ustaz(nya).
Konformis itu yang penting sesuai Islam, kebalikan rasionalis yang mementingkan kemanfaatan dan kualitas ketimbang keagamaan. Kalau universalis itu dua-duanya--kualitas mesti bagus tapi juga harus sesuai syariah.
Universalis itu gabungan antara rasionalitas dan ketaatan, mengadopsi globalisasi, pengetahuan, digital. Kalau konformis cenderung menutup diri.
Sejak 2010, terjadi ‘gempa tektonik’ dalam dunia keislaman di Indonesia. Perubahan sangat besar yang dampaknya ke bidang bisnis.
Pada 2010 itu, tiba-tiba religiositas yang awalnya cuma ke atas (manusia dengan Tuhan), tiba-tiba masuk ke ranah horizontal (manusia dengan manusia). Itu yang menyebabkan industri hijab tumbuh.
ADVERTISEMENT
Horizontal itu menciptakan kebutuhan baru yang kemudian memunculkan industri-industri. Contohnya, dulu orang nggak peduli pakai hijab, tetapi sekarang orang pada pakai hijab. Dulu makanan halal nggak begitu penting, sekarang menjadi penting.
Mulai dari bisnis hijab, bank, asuransi, pendidikan Islam, hotel syariah, semua tumbuh.
Saya meramalkan muslim di Indonesia menjadi mainstream market di Indonesia. (Sebab) arus religiositas yang horizontal makin tinggi.
Konteksnya ke ustaz zaman now, yang saya lihat salah satu yang menonjol, adalah mereka itu horizontal, nggak hanya vertikal. Horizontal itu menjadi kekinian. Misalnya Felix Siauw itu ngomong bagaimana pacaran, bagaimana berpakaian, berhijab, hijrah.
Itu isu-isu yang memang kaum muda muslimin butuhkan. Kalau dulu diisi oleh psikolog dan motivator, kini tiba-tiba diisi oleh para ustaz.
ADVERTISEMENT
Saya menyebutnya, (ustaz yang) ke atas itu cenderung tekstual, horizontal itu kontekstual.
Kebetulan ustaz muda itu mengerti dunianya milenial, sehingga isi konten ceramah itu lebih ke horizontal.
Perubahan dari vertikal jadi horizontal itu mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal dakwah.
Sejak kapan dakwah kekinian menyebar di Indonesia?
Revolusi pasar muslim di Indonesia starting-nya sebelum dan setelah 2010-an. Itu ditandai oleh revolusi hijab. Yang menyebabkan itu bukan karena ustaz atau MUI menganjurkan hijab, tapi melalui kekuatan peer to peer.
Melalui kekuatan sosial media yang (lihat) orang pakai hijab kok tambah cantik. Fotonya (berhijab) pasang di IG, temannya melihat, temannya banyak, jadi pengin ikut.
Jadi mediumnya itu lifestyle yang digerakkan oleh komunikasi peer to peer. Bukan ustaz yang ngomong (menyuruh). Kalau ustaz ngomong hanya di kalangan kecil aja, nggak akan bisa jadi mass. Dia akan menjadi mass ketika sesuatu menjadi gaya hidup.
ADVERTISEMENT
Lifestyle itu harus keren. Kalau nggak keren, nggak akan bisa tren massa.
Bagaimana dakwah bisa jadi tren muslim terkini?
Ketika yang menyampaikan (dakwah) ini milenial, artinya otentik, nggak perlu dibikin-bikin. Ustaz-ustaz yang baru kan milenial, jadi dia nggak perlu akting karena sepantaran (dengan pendengarnya).
Ketika sesuatu yang baru ini lebih relevan dengan target market-nya, maka otomatis akan nyambung. Yang generasi X mendengarkan ustaz zaman now itu nggak connect.
Yang lama pun tetap punya massa, tapi kan makin menua, akhirnya menghilang. Akhirnya muncul yang baru-baru, mengambil segmen umat yang baru.
ADVERTISEMENT
Masing-masing ada positioning-nya. Misalnya kayak Hanan Attaki atau Evie Effendie, lebih fokus mengenai hijrah. Cara penyampaiannya beda dengan Yusuf Mansur atau Gus Mus (KH Ahmad Mustofa Bisri) atau Cak Nun (Emha Ainun Najib) yang mungkin bagi zaman saya itu lucu, bagus, agak nyastra. Tapi muslim zaman now itu nggak masuk.
Saya ramalkan nanti banyak muncul yang baru-baru. Sekarang orang dengerin ustaz ngomong itu pun sudah menjadi lifestyle. Orang kadang dengerin ustaz ngomong, dengerin pengajian, itu bukan karena kontennya. Tapi karena mendengarkan (dakwah) itu keren. Ini budaya massa. Itulah yang menyebabkan ceramah ustaz itu menjadi mainstream.
Apa yang membuat ustaz kekinian cepat punya massa banyak?
Dia punya life cycle dengan adanya sosial media. Ada masa turunnya, ada masa hilangnya. Dan ciri lifestyle itu life cycle-nya makin pendek, makin pendek.
ADVERTISEMENT
Saya prediksikan, ustaz (muda) itu nanti makin (pendek siklusnya). Kalau Zainudin MZ, Aa Gym, itu cukup lama. Tapi munculnya gelombang ustaz baru dan kekinian ini life cycle-nya nanti mungkin 3 tahun atau 5 tahun.
Jika basisnya nggak kuat, kalau cuma mengandalkan tampilan, delivery, konten, dan konteks, dia akan lebih cepat hilang.
Di antara para ustaz, ada segmen-segmen tersendiri. Yang muncul baru-baru ini (muda) mengambil segmen baru. Apakah ia dikagumi audiensnya nggak tergantung pada kualitas. Evie dan Hanan secara konten nggak sedalam Abdul Somad, tapi tetap punya pasar sendiri.
Fragmentasi terbentuk karena para ustaz punya positioning, punya keahlian masing-masing. Terus mereka membentuk market sendiri-sendiri.
Bagaimana menurut Anda model pengemasan dan pemasaran para ustaz kekinian?
ADVERTISEMENT
Ada fragmentasi, ada offering—konten dan konteks. Konten itu bahan dakwahnya, konteks itu cara menyampaikannya. (Kemudian) ketemu pasarnya.
Konten itu lebih ke horizontal, dan horizontallah yang menohok anak muda. Kan dunianya anak muda, kalau lagi SMA ya pacaran, kalau lagi mau nikah ya berarti hubungan suami istri. Yang kekinian, dia membutuhkan jawaban dari Al-Quran atau dari hadis.
Makanya semua kegiatan kita, keseharian kita—berpakaian, ngurus anak, berhubungan suami istri, parenting (dibahas dalam dakwah kekinian). Parenting dulu nggak pernah direferensikan ke Al-Quran, tapi sekarang kaum muslim kita memerlukan (jawaban) parenting menurut Al-Quran itu bagaimana.
ADVERTISEMENT
Nah, untuk menjembatani ini, ustaz berperan. Ia diminta untuk menerjemahkan day to day activity ke dalam referensi di Al-Quran.
Jadi sebenarnya ustaz kekinian itu mau repot. Dia berinovasi—pakai medium YouTube, Twitter, dan inovasi itu kemudian menjadi obat bagi muslim yang makin religi.
------------------------
Ikuti jejak Pemuda Mencari Surga di Liputan Khusus kumparan.