Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Tirta Mandira Hudhi tampak serius menatap sepasang sepatu berwarna merah di tangannya. Perlahan ia membolak-balik sneaker ukuran 43 itu sambil melihat detail sisi-sisinya. Di dalam video berdurasi 29 menit tersebut, dia mengulas segala hal soal Compass, sneaker lokal asal Bandung.
Sneaker yang sedang naik daun itu membuat Tirta terkesan. Dalam video Youtube-nya, pria yang biasa disapa dr. Tirta itu mengaku diundang oleh Compass untuk membahas soal heritage and history dari sneaker tersebut.
“Terlahirlah sepatu Compass pada tahun 1998,” ujar pria yang berprofesi sebagai dokter itu di akun YouTube-nya.
Tirta merupakan influencer yang getol mengampanyekan produk lokal, baik yang baru lahir maupun yang sedang berkembang. Salah satu merek yang ia kampanyekan adalah Compass.
Bagi Tirta, meski berat, sneaker lokal sebenarnya memiliki peluang untuk bersaing dengan merek raksasa nan mainstream macam Adidas maupun Nike. Ia memiliki analogi sendiri menyoal sneaker lokal.
"Makan nasi goreng Rp 100 ribu di restoran sama makan nasi goreng di warteg Rp 15 ribu atau warung dokdok pinggir jalan enak mana? Tetap kaki lima," ujar Tirta.
"Kenapa kok kita enggak bisa (menerapkan) itu ke sepatu atau merek lokal? Bahannya sama, harganya sama," ujar Tirta kepada kumparan di Sage Tradecamp, Kuningan City, Jumat (13/9).
Lewat kampanye #localpride, Tirta berupaya mengerek produk-produk lokal termasuk sneaker ke permukaan. Dengan hestek itu, ia mengenalkan berbagai merek sneaker lokal. Salah satu alasannya, karena warga Indonesia seharusnya memiliki empat hal dalam hidup.
“Sepatunya Vans satu, Converse satu, sepatu formal satu, minimal sepatu running-nya satu, dan harusnya sepatu lokalnya juga satu,” kata Tirta setengah bercanda.
Wartawan kumparan, Tio Ridwan menjumpai Tirta di Sage Tradecamp, Kuningan City, Jumat (13/9). Tirta membagikan pandangannya mengenai dunia sneaker lokal. Mulai dari sejarah bangkitnya sneaker lokal, soal kreativitas dan bagaimana pertarungan sneaker lokal dengan merek luar negeri.
Selain itu, Tirta juga berbicara soal penyebab kematian sebuah merek lokal. Berikut wawancara lengkap kumparan dengan dr. Tirta.
Sejak kapan tren sepatu lokal mulai bangkit?
Untuk sneaker lokal sendiri itu sudah naik dari sejak lama. Apa yang terjadi sekarang itu sebenarnya cuma gunung es doang. Sneaker lokal sendiri sudah ada sejak tahun 90-an, ketika saya masih kecil, saya pakai sepatu Compass, Kasogi, kadang Eagle, kadang Piero yang warna putih atau warna item.
Masuklah merek-merek luar. merek luar juga sudah masuk, cuma lagi booming, booming-nya dari sneaker. Sneaker mulai booming sejak si Kanye West pindah ke Adidas. Terus Adidas Yeezy mulai dijual sama Goods Dept, salah satu retailer merek lokal yang tiba-tiba jual Yeezy, akhirnya viral.
Akhirnya mulailah naik dunia sneaker. Awal mula naik ketika Piero merilis Piero Burgundy tahun 2016. Piero Jogger Burgundy selaku terobosan ketika pada waktu itu ASICS merilis sepatu running-nya yang sama Ronnie Fieg, Gel Lyte III. Lalu Piero mulai merilis Jogger Burgundy, itu viral di mana-mana. Akhirnya semua memakai Piero Burgundy. Si League nggak mau kalah, League juga merilis. Akhirnya mulailah sepatu-sepatu lokal seperti St Barkley naik, FYC naik juga, akhirnya naik juga sepatu lokal yang lain.
Emang yang mendominasi pada waktu itu Piero dan kawan-kawan, ditambah Brodo. Brodo dengan ownernya Yukka dan Uta, membicarakan boots pasti nggak jauh dari Brodo. Itu sebenarnya sudah naik, udah puncak, ketika Brodo kolaborasi sama Timnas, terus akhirnya ketika Brodo ada di mana-mana.
Berikutnya yang mulai naik ketika Word Division. Word Division itu sepatu yang mirip Vans Old School, mirip Revenge Storm. Tapi jazz stripenya ada petirnya. Tahun 2016-2017 Word Division naik. Gara-gara apa? Gara-gara ownernya Revenge Storm, Ian Connor. Ian Connor itu fashion director-nya Kardashian Family, itu hate speech ke seorang influencer dari Bandung, dia pakai Word Division. Karena masuk explore, Ian Connor komen di dia. Timbullah rasa nasionalisme, karena Word Division itu duluan pakai logo petir. Akhirnya naiklah sepatu lokal.
Orang mulai jenuh sama sepatu bentuk Vans. 2018, si Brodo mengeluarkan divisi baru sneaker yaitu NAH Project. Si NAH Project mulai naik gara-gara dia satu-satunya sneaker lokal yang membedah harga jualnya.
Lagi-lagi ke saya lagi, saya ngereview, viral, sold out satu jam, lalu saya buat event di Jogja, Sole Vacation. Waktu itu Kaesang dan Gibran dateng, dia bilangnya mau beli sepatu NAH Project size 44. Ujung-ujungnya ternyata dikirim ke Istana Bogor. Diantarkan sama temen saya, Rezki yang pada waktu itu mengurus NAH. Ternyata Pak Jokowi masukin NAH Project di vlog. Yaudah, ketika Pak Jokowi 2018 masukin NAH ke vlog. Semua akan keranjingan mengenai sepatu lokal. Tiba-tiba habis itu ada Exodos.
Jadi kalau ditanya naiknya sejak kapan, jauh sebelum ada media sosial sebenarnya udah naik. Sepatu Compass itu sudah ada sejak tahun 1998. Enggak, udah lama. Kalau kita bicara sepatu lokal, dari dulu udah naik terus. Dulu orang tahunya pakainya Kasogi, Homyped.
Apakah ada faktor lain penyebab bangkitnya sepatu lokal?
Benang merahnya satu, harga merek luar semakin mahal. Kita sekarang lagi campaign mengurangi pembajakan. Indonesia sebenarnya bisa besar dari dulu. Tapi kita nggak pernah respect sama merek kita sendiri. Kita selalu respect hanya merek luar. Bahkan kita selalu respect sama merek bajakan yang dari luar. Padahal di Indonesia banyak merek lokal yang jauh lebih bagus dari merek luar, even dari merek aslinya sendiri.
Anda pernah menyebut beberapa merek memiliki kemiripan dengan merek lain?
There is nothing new under the sun. Itu adalah sebuah caption enggak ada yang baru kalau kita berjuang di dunia merek. Loh kok bisa begitu? Kita bicara soal merek besar. Kalau anda tahu Nike, Nike itu terbentuk dari sebuah merek bernama Blue Ribbon Sports. Sejarahnya itu adalah Onitsuka itu di import, lalu si beres ini membuat merek sendiri yang mirip sama Onitsuka, diganti shoes jadilah Nike. Enggak ada yang new di sini. Bentuk mirip. Puma pernah bermasalah sama Adidas, Puma kan yang buat kakaknya sendiri. merek luar boleh mirip-miripan, lah kok merek lokal nggak boleh?
Kemiripan antara Word Division dan Revenge Storm pernah menjadi perbincangan?
Nggak masalah kalau aku. Karena di dalam industri seperti ini itu adalah yang pertama amati, tiru, modifikasi. Ada yang namanya hak desain industri, ketika dalam sepatu itu jahitannya sudah beda, logonya sudah beda, sudah beda urusannya, sudah nggak bisa dipatenkan itu nggak bisa.
Anda bisa cek hak desain industri, yang terdaftar bentuknya kaya apa, begitu beda ya beda, sudah beda urusannya dan namanya orang di Indonesia ketika membuat sepatu itu molding itu mahal. Satu molding itu 3,5 juta. Itu para netizen nggak ada yang tahu, kalau orang luar sudah tahu, mereka edukasi. Satu molding itu Rp 3,5 juta per bentuk, per size, kalau kita mau menciptakan 7 size berarti Rp 3,5 juta kali 7 buah. Itu belum material, belum outsole, otomatis orang-orang Indonesia kalau mau cari duit, pakailah molding yang sudah ada. Yang notabene molding yang terbaik di Indonesia ada dua, like old school atau like Converse chuck taylor.
Ya udah dari situ mereka mengembangkan sendiri, ketika mereka mempunyai duit baru mereka research and development. Kecuali kalau perusahaannya sebesar Piero atau League. Kalau mereka sudah punya budget riset and development yang besarannya bukan puluhan juta tapi miliaran. Sepatu yang teknologinya paling bagus itu terletak pada midsole. Jadi kalau kita mau punya sepatu bagus, teknologinya ada dimana? Midsole dan outsole bukan upper, upper tinggal beli kain, pakai laminating, lasting, selesai press.
Anda salah satu penggagas kampanye #localpride di media sosial, bagaimana ceritanya?
Iya. Dari lama sebenarnya gerakan itu sudah ada, dari generasi sebelumnya, sebelum saya, sebelum tahun lalu sudah ada. Dari forum Darahku Biru, Kaskus, Futurama, banyak anak muda menggerakan namanya Local Pride dari event-event Brightspot, Jakcloth, Kickfest, semuanya sudah. Cuma, kita butuh regenerasi dengan cara yang berbeda. Lalu saya sebagai salah satu orang mempunyai basis massa di media sosial kuat, saya menggerakkan campaign itu lagi, Local Pride. At least, kalau kita tuh memakai baju, paling nggak ada satu atau dua merek lokal yang saya pakai.
#Localpride tidak hanya fokus untuk sneaker?
Nggak. Semuanya. Dan itu bukan khusus sneaker. Kebetulan aja merambah ke sneaker.
Berbicara soal persaingan. Apakah sneaker lokal memiliki pasar yang berbeda dengan sneaker merek luar negeri?
Nggak, emang saingan. Di Indonesia itu jujur Nike dan Adidas emang terlalu superior, jujur banget. Kayak Converse dan kawan-kawannya. Merek lokal saling membunuh satu sama lain, bahkan ada yang rela membajak sesama merek lokal.
Harga sneaker lokal bisa dibilang terjangkau. Tapi ada anggapan soal harga murah identik dengan kualitas yang buruk?
Berarti nasi goreng warteg sama nasi goreng hotel enak mana? Kita bandinginnya simpel kan. Buat temen-temen para netizen, kalau kita bandingin merek lokal sama merek luar, makan nasi goreng 100 ribu di restoran sama makan nasi goreng di warteg 15 ribu atau warung dokdok pinggir jalan enak mana? Tetep kaki lima.
Kenapa kok kita enggak bisa (menerapkan) itu ke sepatu atau merek lokal? Bahannya sama, harganya sama, kualitasnya memang harus standar, cuma emang ada merek-merek lokal yang kualitasnya abal. Cuma yang kualitasnya bagus juga lebih banyak.
Jadi maksud Anda kualitas sneaker lokal enggak kalah ya?
Nggak kalah. Ada produk yang melalang buana sampai Inggris. Cari yang namanya, sepatu jalan Sriwijaya Fortuna shoes, dari tahun 70-an ada sampai Inggris, itu sepatunya formal shoes, wingtip, british oxford style. Sriwijaya Fortuna shoes, nggak ada yang tahu itu dari Bandung. Emang ada diangkat? Nggak ada. Padahal dipake sama pejabat-pejabat luar negeri.
Kualitas tidak bermasalah. Desain tidak bermasalah. Apakah pemasarannya yang bermasalah?
Marketing itu benar, tapi sekarang kan ada e-commerce, e-commerce yang ada di Indonesia itu mewadahi merek lokal, Bukalapak, Tokopedia, Shoope, Lazada, Kaskus, OLX itu sudah lebih dari cukup untuk merek marketing. Ada shop Instagram juga, itu bisa.
Ada fenomena mati sebelum berkembang di dunia sneaker. Menurut Anda kenapa?
Karena nggak kreatif. Mereka sudah mentok mau produksi apalagi. Ketika kaya Nokia, Nokia sebesar itu kenapa bangkrut? Karena kalah sama Android. Sama kaya sepatu, kita itu bergerak di industri kreatif, yang bahkan kita industri kaya gini dua hari lagi udah beda, kita nggak boleh berhenti berpikir, ketika kita di atas, kita harus mikir terus, enggak boleh terjebak zona nyaman di atas.
Mereka mati bukan karena manajemennya yang buruk?
Enggak. Emang karena dia nggak ada ide. Siapa yang mau beli sepatu Loafer sekarang? Ada yang pake sepatu Loafer kalau kerja? Enggak. Kalau enggak sneaker ya boots. Kenapa? Ya karena lagi musimnya. Siapa yang musimin? Ya orang-orang US sama Italia. (secara bisnis) Mateng mereka. Mereka karena hanya nggak kreatif. Cuma karena pasar kebetulan enggak ke arah mereka. Pasar itu selalu berubah-ubah (dan) kita yang ngikutin, bukan pasar yang ngikutin kita. Pasarnya, kalau angin enggak berhembus ke mereka yaudah mampuslah, kita harus ngikutin.
Kalau di dunia sneaker, sebuah merek bisa bertahan berapa lama?
Kalau dia jago bisa tiga tahun, lima tahun, kalau super jago 10 tahun. Merek lokal dikatakan survive kalau dia bisa survive di atas 10 tahun, itu dari ajaran temen-teman saya. Yukka Brodo, Mas Dendi Unkl347, sama Screamous.
Ada merek lokal yang bisa bertahan selama itu?
Mereka ada 12 dan 15 tahun. Merek dikatakan sukses kalau sudah di atas 10 tahun. At least, mereka udah punya jatah financial planning sampai derajat D lah. Ada namanya back up plan A,B,C,D, nah mereka sudah sampai D, sudah sampai diversifikasi. Di sneaker ada League, Piero, Eagle, Buccheri, Ando, Ardiles.
Soal kolaborasi yang kerap dilakukan sneaker lokal. Apakah itu berpengaruh cukup signifikan?
Enggak. Merek itu nggak boleh kolaborasi kalau belum besar. Itu sama seperti kita itu punya anak, belum besar lu kawinin. Wajar nggak lu kawinin di bawah umur? Sama seperti kita punya merek. Ketika kalian buat merek, anggap merek itu sebagai anak. Gimana kalian mendidik anak itu supaya jadi besar dan menghadapi dunia. Sama, kayak merek. Belum besar, setahun kolaborasi. Yang besar kolaborasinya lah, bukan kita. Yang ada nanti kalau kita buru-buru kolaborasi, yang laris kolaborasinya, merek GR, merek general release-nya malah nggak laris.