Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Sepatumu jebol. Warnanya memang sudah lusuh, yang barunya biru malih rupa jadi abu-abu. Ia kena terik, kena hujan, kena panas trotoar, sesekali mencium tahi di jalanan. Apesnya, dalam demonstrasi menentang pasal sesat di Senayan kemarin, ia kerja keras. Ia terinjak-injak, diajak berlari-lari, buat menendang selongsong gas air mata yang kedaluwarsa, diajak jatuh, diinjak-injak lagi, terus-menerus. Kalau sepatu bisa menangis, gas air mata hanya jadi pemborosan. Kanvasnya robek dan lem pada solnya angkat tangan.
Sepatumu jebol. Padahal ia adalah teman tempurmu satu-satunya. Kau berpikir untuk beli lagi. Versi barunya mahal, Rp 900 ribu tak masuk bujet bulananmu. Kau gulirkan layar gawai di Instagram, kau lihat sebuah sneaker merek lokal. Sepatu Compass, namanya. Bahannya terlihat bagus, warnanya semlehoi, dan desainnya pun merdu. Kece.
Di akun Instagramnya, terpampang harga resmi yang cuma Rp 278 ribu buat yang pendek dan Rp 318 ribu untuk potongan tinggi. Murah. Kau putuskan akan beli di website-nya, tapi stok kosong. Di penjual resmi, habis pula. Kau beralih ke marketplace dan kebingungan saat menemukan sepatu dengan merek dan model yang sama dijual sampai Rp 700 ribu.
Sebentar, sebentar. Kau pikir pasti ada yang salah. Nyatanya tidak. Saat menelusuri hashtag #jualsepatucompass, kau menemukan angka yang sama. Harga sepatu Compass selalu dijual rata-rata dua kali lipat dari harga asli. Biasanya, rentang harganya ada di angka Rp 650-750 ribu.
Bahkan, untuk yang bekas pun, sepatu Compass yang dideskripsikan si penjual dengan kondisi “80%” bisa terjual Rp 500 ribu. Itu semua membuatmu separuh kagum separuh heran bukan kepalang: kenapa harga resale sepatu Compass mahal sekali?
Mungkin, sudah jadi rumus semesta bahwa kesusahan satu orang adalah kesempatan bagi orang lain. Kalau orang lain kesusahan, kau menawarkan bantuan buat meredakan kesusahannya. Kau bisa memberikan bantuan itu secara cuma-cuma (yang disebut ‘pertolongan’) atau kau bisa memungut biaya (yang dalam riwayat manusia dinamakan ‘penawaran jasa’).
Dalam perihal kesusahan mendapat sepatu Compass, akun macam Rassvetzy atau Sikatakisyou menjadi jawabannya. Mereka menyediakan sepatu Compass, bahkan saat penjual resmi dan website sepatu Compass sendiri telah kehabisan stok. Tentu saja dengan harga yang berbeda—cuan, cuan, cuan.
Putra, satu dari dua pemilik akun reseller sepatu Rassvetzy, telah berjualan sepatu compass sejak awal 2019. Awal berjualan dulu, mengambil untung Rp 50 ribu dari sepatu Compass masih amat sulit. “Sekarang harga Rp 200 (ribu), saya jual Rp 500 (ribu) aja rebutan.”
Putra mengaku selalu mengikuti harga pasar saat menjual lagi Compass yang dibelinya. “Lihat seller lain. Kalau ada yang jual Rp 600, misalnya saya dapet, ya jualnya Rp 600 ribu juga,” ujarnya kepada kumparan, Kamis (26/9). Dengan harga tersebut, Putra bisa mendapatkan keuntungan Rp 300-350 ribu per sepatu yang ia jual.
Namun, Putra kini mengalami kesusahan yang sama untuk mendapatkan sepatu Compass. Ia dan temannya harus rela secara obsesif menjenguk website sepatu Compass untuk mengecek apakah mereka sudah mengeluarkan artikel terbaru. “Temen saya yang sering standby. Saya kalau pas ada waktu aja, saya buka, ngecek-ngecek,” katanya. “Kalau di website Compass, satu menit juga abis itu. Hoki-hokian aja.”
Maka tak heran, dengan upaya yang demikian, mereka mematok harga tinggi. Lagipula tak ada aturan yang melarang, kesetimbangan supply and demand kembali berkuasa. Mau dijual berapapun, kalau kau mampu beli, ya silakan. Tak mampu beli? Ya tak usah. Begitulah kira-kira situasinya.
Permintaan pasar akan sepatu Compass dalam, setidaknya, satu tahun terakhir selalu tinggi. Terlebih setelah rilisnya seri kolaborasi Compass dengan Bryant Notodihardjo (influencer sekaligus social media manager LOC) yang menghasilkan sepatu Compass dengan seri Bravo 001.
Dirilis saat Jakarta Sneaker Day 2019 awal Februari lalu, Compass X Bryant yang hanya dicetak 100 pasang tersebut ludes terjual dalam 90 menit saja. Hanya beberapa minggu kemudian, untuk membeli sepatu yang sama dari tangan kedua, kau sudah harus merogoh kocek Rp 1-1,5 juta. Sekarang? Jangan harap.
Dari situ, popularitas sepatu Compass terus meningkat, bergulir macam bola salju. Tak hanya edisi khusus macam Bravo 001 atau pun Gazelle Proto 001 yang muncul belakangan, model-model general release sepatu Compass pun turut jadi incaran masyarakat. Sementara popularitasnya tak pernah surut, produksi sepatu Compass tetap terbatas di kisaran angka yang sama.
Yang kemudian kau tanyakan: seberapa terbatas? Terbatas oleh keadaan, atau memang sengaja dibatasi agar tercipta kelangkaan?
dr. Tirta Mandira, influencer di bidang fesyen khususnya sneaker dan penggerak #LocalPrideIndonesia yang mendorong penggunaan barang fesyen lokal Indonesia, punya jawaban untuk pertanyaan tersebut.
Sepatu gaib. Beberapa sneakers lokal di Indonesia sering disamakan dengan gawai-gawai milik Xiaomi, yang punya spesifikasi kemampuan bagus tapi barangnya sold out melulu. Akibatnya, tuduhan terhadap sepatu Compass tak terbendung. Tak sedikit yang mengira sepatu Compass melakukan pembatasan produksi seperti yang kerap dilakukan produk kenamaan macam Off White, Supreme, Fear of God, dan segala bentuk kolaborasi yang dilakukannya.
Oke, dalam kasus Bravo 001 dan Gazelle Proto 001 produksi memang dilakukan secara terbatas oleh Compass. Namun, mengapa kelangkaan juga terjadi di seri Gazelle general release mereka?
Menurut Tirta, produksi sepatu Compass memang mentok pada angka 3.000 pasang sepatu per bulannya. “Produksi sekarang mereka memang mentok segitu. Dan itu sesuai teoriku, mereka nggak mau buru-buru naik, scaling up-nya bertahap,” ujar dr. Tirta saat diwawancara kumparan di Kuningan City, Jumat (13/9). “Akhirnya ya supply and demand aja.”
Tirta bercerita soal bagaimana selain produk yang bagus dengan harga resmi yang dipatok, ikatan antara pegawai dan Compass sebagai brand juga patut diapresiasi. “Kita kalau mau viralkan sesuatu, tergantung brand-nya. Compass tuh selain bagus, ikatan antara pegawai dan brand-nya tuh kuat,” ujarnya.
“Compass sebenarnya legacy dari bapaknya Pak (Kahar) Gunawan, owner-nya. Dia pengin sepatu Compass menghidupi pegawainya. Gazelle itu brand lokal yang rilis tahun 1972, bapaknya yang buat, sebelum dia buat Kappa dan Nike. Itu yang di-rebrand sekarang,” kata Tirta.
Dalam meledaknya popularitas sepatu Compass setahunan terakhir, Tirta mengaku telah terlibat dari awal. Ia, bersama Boim Lenno dan Bryant, membantu ‘mem-viralkan’ sepatu Compass dengan cara melakukan review di laman media sosialnya masing-masing.
Saat itu, menurut pengakuan Tirta, Aji Handoko sebagai Creative Director Compass sendiri yang mengajaknya menyukseskan rebranding Sepatu Compass. Bagi influencer dengan puluhan ribu follower macam ketiganya, sepatu Compass melejit tanpa butuh waktu lama.
“Kenapa kita (mau) review enggak dibayar? Karena sepatu ini kece, harganya Rp 200 ribu, bentuknya keren, murah jadi bisa dipake seluruh Indonesia. Eh, ternyata viralnya kebangetan, jadinya sejutaan,” kata Tirta.
Tirta melihat harga resale yang tinggi tersebut merupakan ekses strategi Compass mengembangkan brand-nya.
“Jadi sebulan tetep bikin 3.000. Teoriku, mereka tuh nggak mau buru-buru naik. Compass tuh masih bayi, scaling up-nya bertahap. Dia nggak serakah. Brand lokal Indonesia tuh rata-rata gini kesalahannya: begitu laris, mereka scaling up langsung 2000 persen. Yang terjadi apa? Over supply,” ujar Tirta yang mendapat gelar dr.-nya dari Universitas Gadjah Mada 2013 lalu.
Meski strategi tersebut menimbulkan harga yang amat tinggi, Tirta melihat strategi Compass ini memberikan berkah buat brand lainnya. “Kalau misalnya mampu beli harga resale, ya udah kamu beli resale. Toh itu membuka kesempatan buat brand lokal lain. Kalau misalkan dia nggak dapet Compass, dia akan mencoba brand lokal lain kan,” katanya.
Menurut Tirta, Compass sengaja membiarkan keadaan over-demand bertahan bukan karena mereka ingin menciptakan kelangkaan terhadap barangnya, melainkan untuk pelan-pelan mengembangkan kemampuan produksi mereka.
“Nah kalau yang ini kan dibiarkan over-demand terus. Dia scaling up bertahan, 10%, 20%, sampai akhirnya stabil. Cuma nggak tahu titik (stabilnya) berapa per tahun,” ujar Tirta. “Itu sengaja, karena mereka udah perhitungan nggak mau gagal kayak yang sudah-sudah.”
“Makanya,” kata Tirta, “mereka sama sekali nggak mau diliput. Tanpa eksposure aja mereka udah gini, apalagi pakai eksposure?”
Aji Handoko sendiri menolak anggapan Tirta yang menyebut Compass tengah menghindari eksposure. Permintaan peliputan dari kumparan memang ditolaknya, tapi bukan gara-gara agar Compass tak buru-buru naik. “Kita ada agenda sampai akhir tahun, dan agendanya bukan branding sama marketing lagi. Kita agendanya mau fokus di produksi dulu, selain itu nggak kita oke-in,” kata Aji melalui pesan WhatsApp, Selasa (17/9).
“Saya emang set Compass sebagai brand. Dia nggak ada ikon, tapi lebih ke ekosistem. Siapa ekosistemnya? Ya teman Compass dan keluarga Compass, kayak Bryant, Isser, Tirta. Nggak ada simbol, Compass itu untuk semua,” tambah Aji. Sementara, saat kumparan bertanya responsnya terhadap harga resale yang amat tinggi, Aji tak menjawab.
Soal harga resale yang tinggi, dr. Tirta, yang kini tengah mengembangkan sneaker -nya bersama SAGE, menilai fenomena secondary market tersebut agak berbahaya untuk brand itu sendiri.
“Jujur aja, bahaya buat brand-nya. Kalau Compass sendiri janganlah beli di resale, karena membahayakan brand. Sesuatu yang ekspektasinya terlalu tinggi, itu akan menghancurkan value dari brand tersebut,” kata Tirta.
“Alasannya,” menurut Tirta, “karena orang akhirnya membeli brand tersebut bukan untuk dipakai, tapi untuk dijual. Yang menghancurkan sistem retail dan industri retail di Indonesia adalah resaling game. Makanya kalau kita resale jangan mahal-mahal lah, dua kali lipat nggak apa-apa, tapi jangan sepatu Rp 300 ribu dijual Rp 3 juta.”
Tapi, kan, dr. Tirta, kalau sudah pengin mau apalagi? Kau akhirnya beli juga.