Kenapa Cowok Memilih Perkelahian sebagai Cara Menyelesaikan Masalah?

1 Desember 2018 13:09 WIB
clock
Diperbarui 21 Januari 2021 11:20 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Warisan Belajar Menghajar. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Warisan Belajar Menghajar. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Selain tawuran, tarung gladiator menjadi salah satu bentuk perkelahian antarpelajar SMA. Tarung gladiator merupakan duel satu lawan satu, yang hanya bermodalkan tangan kosong, tanpa senjata tajam.
ADVERTISEMENT
Tarung gladiator ini sudah menjadi fenomena di sejumlah SMA daerah Jabodetabek. Pemicu dan alasannya beragam. Ada yang dilakukan karena masalah sepele, masalah pribadi, atau karena ingin membela nama baik sekolah.
Seperti Jabrix (nama samaran), salah satu pelaku tarung gladiator dari SMA di Jakarta yang mengaku, seringnya melakukan tarung gladiator atas alasan personal. Karena itu, ia enggak terlalu peduli soal menang atau kalah.
"Argumen sendiri saja. Yang penting gue menunjukkan gue cowok, dan gue bertarung," ucap Jabrix kepada kumparan.
Pertarungan gladiator ini memang hanya dilakukan oleh pelajar cowok. Tapi mengapa demikian?
Psikolog Anak dan Remaja, Vera Itabiliana, mengatakan alasannya karena pengaruh dari lingkungan budaya.
"Ketika cowok emosi, mereka memang lebih mudah melakukan aksi fisik. Kalau perempuan, kan, menangis. Jadi memang ada pengaruh nilai asuhan yang dulu," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Vera menjelaskan, seorang cowok sudah dididik sejak kecil untuk menahan emosinya dan enggak boleh menangis. Sehingga mereka enggak tahu cara lain untuk mengekspresikan emosinya, selain berkelahi.
"Jadi mungkin untuk cowok, membicarakan masalahnya itu (dianggap) cewek banget. Padahal enggak. Cowok pun bisa melakukan hal itu, dan bukan sesuatu hal yang cengeng atau cemen," tegas Vera.
Ia pun menyarankan, ada baiknya pelajar SMA menggunakan otak dan bukan ototnya jika ada masalah. Sebab ia menilai, kekerasan adalah cara penyelesaian masalah yang paling rendah dan paling mudah.
Kasus kekerasan pelajar di Indonesia. (Foto: Anggoro Fajar/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kasus kekerasan pelajar di Indonesia. (Foto: Anggoro Fajar/kumparan)
Mengedepankan emosi
Selain itu menurut Vera, di usia remaja perkembangan emosi di otak terjadi lebih dulu, sehingga banyak perilakunya yang dilakukan tanpa pikir panjang, atau impulsif. Sebagai contoh, remaja tahu berkelahi bukan hal yang baik. Tapi ketika diejek teman dan disebut pengecut, emosinya akan tersentil.
ADVERTISEMENT
"Begitu hal itu terjadi, ya, sudah, dia akan lebih terpengaruh untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya dia tahu itu enggak baik. Jadi, ya segala pertimbangan rasio tertutup emosi," terang dia.
Vera menyarankan, orang tua dan pihak sekolah harus turut andil dalam menghapus kekerasan dari duel gladiator ini. Bentuknya bisa dalam pengawasan dan komunikasi yang baik.
Misalnya, orang tua harus tahu apa yang dilakukan anaknya sehabis pulang sekolah. Begitu pula dengan pihak sekolah yang harus mengawasi muridnya yang kerap berkumpul di tempat-tempat tertentu.
"Ketika jam pulang sekolah selesai, mereka harus langsung pulang, enggak ada nongkrong. Meski dari fisiknya (pelajar SMA) sudah bukan anak-anak, tetapi harus ada pengawasan. Perlu juga adanya komunikasi yang baik," tutup Vera.
ADVERTISEMENT
-------------------------------------------------
Simak ulasan lengkapnya di kumparan dalam topik Warisan Belajar Menghajar.